Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
pengalaman dan kesadaran tentang-Nya dan tentang ciptaan-Nya.
Hakikat Tuhan yang dipahami dalam Islām tidaklah sama dengan konsepsi-konsepsi tentang Tuhan yang dipahami dalam berbagai tradisi keagamaan dunia; dan tidak sama dengan konsepsi tentang Tuhan yang dipahami dalam tradisi filsafat Yunani dan Helenistik; tidak pula sama dengan konsepsi tentang Tuhan yang dipahami dalam tradisi filsafat atau sains Barat; ataupun dalam tradisi mistik Timur maupun Barat. Kemiripan-kemiripan lahiriah yang mungkin ditemukan antara berbagai konsepsi mereka tentang Tuhan dengan hakikat Tuhan yang dipahami dalam Islām tidak dapat ditafsirkan sebagai bukti identitas Tuhan Universal Yang Esa dalam berbagai konsepsi mereka tentang hakikat Tuhan; sebab masing-masing dari konsepsi itu melayani dan termasuk dalam sistem konseptual yang berbeda, yang niscaya menjadikan keseluruhan konsepsi atau sistem supernya berbeda satu sama lain.
Tidak ada pula yang disebut ‘kesatuan transenden agama-agama’, jika dengan ‘kesatuan’ yang dimaksud adalah ‘keesaan’ atau ‘kesamaan’; dan jika dengan ‘kesatuan’ tidak dimaksudkan ‘keesaan’ atau ‘kesamaan’, maka yang ada adalah kemajemukan atau perbedaan agama-agama bahkan pada tingkat transendensi. Jika diakui bahwa terdapat kemajemukan atau perbedaan pada tingkat itu, dan bahwa yang dimaksud dengan ‘kesatuan’ adalah ‘keterhubungan bagian-bagian yang membentuk sebuah keseluruhan’, sehingga kesatuan itu adalah keterhubungan dari kemajemukan atau perbedaan agama-agama sebagai bagian-bagian yang membentuk keseluruhan, maka konsekuensinya pada tingkat eksistensi biasa, di mana manusia tunduk pada keterbatasan kemanusiaan dan alam semesta material, setiap agama adalah tidak lengkap pada dirinya sendiri, pada dirinya sendiri tidak memadai untuk mewujudkan tujuannya, dan hanya dapat mewujudkan tujuannya — yaitu penyerahan diri yang benar kepada Tuhan Universal Yang Esa tanpa menyekutukan-Nya dengan mitra, pesaing, atau yang serupa — pada tingkat transendensi. Namun agama justru dimaksudkan untuk mewujudkan tujuannya tepat pada tingkat eksistensi, di mana manusia tunduk pada keterbatasan kemanusiaan dan alam semesta material, dan bukan ketika manusia tidak tunduk pada keterbatasan-keterbatasan ini sebagaimana istilah ‘transenden’ dipahami.
Jika ‘transenden’ dimaksudkan merujuk pada kondisi ontologis yang tidak termasuk dalam salah satu dari sepuluh kategori, Tuhan
id) oleh admin pada 20 September 2025 - 09:12:34.pengalaman dan kesadaran tentang-Nya dan tentang ciptaan-Nya.
Hakikat Tuhan yang dipahami dalam Islām tidaklah sama dengan konsepsi-konsepsi tentang Tuhan yang dipahami dalam berbagai tradisi keagamaan dunia; dan tidak sama dengan konsepsi tentang Tuhan yang dipahami dalam tradisi filsafat Yunani dan Helenistik; tidak pula sama dengan konsepsi tentang Tuhan yang dipahami dalam tradisi filsafat atau sains Barat; ataupun dalam tradisi mistik Timur maupun Barat. Kemiripan-kemiripan lahiriah yang mungkin ditemukan antara berbagai konsepsi mereka tentang Tuhan dengan hakikat Tuhan yang dipahami dalam Islām tidak dapat ditafsirkan sebagai bukti identitas Tuhan Universal Yang Esa dalam berbagai konsepsi mereka tentang hakikat Tuhan; sebab masing-masing dari konsepsi itu melayani dan termasuk dalam sistem konseptual yang berbeda, yang niscaya menjadikan keseluruhan konsepsi atau sistem supernya berbeda satu sama lain.
Tidak ada pula yang disebut ‘kesatuan transenden agama-agama’, jika dengan ‘kesatuan’ yang dimaksud adalah ‘keesaan’ atau ‘kesamaan’; dan jika dengan ‘kesatuan’ tidak dimaksudkan ‘keesaan’ atau ‘kesamaan’, maka yang ada adalah kemajemukan atau perbedaan agama-agama bahkan pada tingkat transendensi. Jika diakui bahwa terdapat kemajemukan atau perbedaan pada tingkat itu, dan bahwa yang dimaksud dengan ‘kesatuan’ adalah ‘keterhubungan bagian-bagian yang membentuk sebuah keseluruhan’, sehingga kesatuan itu adalah keterhubungan dari kemajemukan atau perbedaan agama-agama sebagai bagian-bagian yang membentuk keseluruhan, maka konsekuensinya pada tingkat eksistensi biasa, di mana manusia tunduk pada keterbatasan kemanusiaan dan alam semesta material, setiap agama adalah tidak lengkap pada dirinya sendiri, pada dirinya sendiri tidak memadai untuk mewujudkan tujuannya, dan hanya dapat mewujudkan tujuannya — yaitu penyerahan diri yang benar kepada Tuhan Universal Yang Esa tanpa menyekutukan-Nya dengan mitra, pesaing, atau yang serupa — pada tingkat transendensi. Namun agama justru dimaksudkan untuk mewujudkan tujuannya tepat pada tingkat eksistensi, di mana manusia tunduk pada keterbatasan kemanusiaan dan alam semesta material, dan bukan ketika manusia tidak tunduk pada keterbatasan-keterbatasan ini sebagaimana istilah ‘transenden’ dipahami.
Jika ‘transenden’ dimaksudkan merujuk pada kondisi ontologis yang tidak termasuk dalam salah satu dari sepuluh kategori, Tuhan
| ID | Waktu | Bahasa | Penerjemah | Status | Aksi |
|---|---|---|---|---|---|
| #11 | 20 Sep 2025, 09:12:34 | id | admin | Tervalidasi | — |
pengalaman dan kesadaran tentang-Nya dan tentang ciptaan-Nya. Hakikat Tuhan yang dipahami dalam Islām tidaklah sama dengan konsepsi-konsepsi tentang Tuhan yang dipahami dalam berbagai tradisi keagamaan dunia; dan tidak sama dengan konsepsi tentang Tuhan yang dipahami dalam tradisi filsafat Yunani dan Helenistik; tidak pula sama dengan konsepsi tentang Tuhan yang dipahami dalam tradisi filsafat atau sains Barat; ataupun dalam tradisi mistik Timur maupun Barat. Kemiripan-kemiripan lahiriah yang mungkin ditemukan antara berbagai konsepsi mereka tentang Tuhan dengan hakikat Tuhan yang dipahami dalam Islām tidak dapat ditafsirkan sebagai bukti identitas Tuhan Universal Yang Esa dalam berbagai konsepsi mereka tentang hakikat Tuhan; sebab masing-masing dari konsepsi itu melayani dan termasuk dalam sistem konseptual yang berbeda, yang niscaya menjadikan keseluruhan konsepsi atau sistem supernya berbeda satu sama lain. Tidak ada pula yang disebut ‘kesatuan transenden agama-agama’, jika dengan ‘kesatuan’ yang dimaksud adalah ‘keesaan’ atau ‘kesamaan’; dan jika dengan ‘kesatuan’ tidak dimaksudkan ‘keesaan’ atau ‘kesamaan’, maka yang ada adalah kemajemukan atau perbedaan agama-agama bahkan pada tingkat transendensi. Jika diakui bahwa terdapat kemajemukan atau perbedaan pada tingkat itu, dan bahwa yang dimaksud dengan ‘kesatuan’ adalah ‘keterhubungan bagian-bagian yang membentuk sebuah keseluruhan’, sehingga kesatuan itu adalah keterhubungan dari kemajemukan atau perbedaan agama-agama sebagai bagian-bagian yang membentuk keseluruhan, maka konsekuensinya pada tingkat eksistensi biasa, di mana manusia tunduk pada keterbatasan kemanusiaan dan alam semesta material, setiap agama adalah tidak lengkap pada dirinya sendiri, pada dirinya sendiri tidak memadai untuk mewujudkan tujuannya, dan hanya dapat mewujudkan tujuannya — yaitu penyerahan diri yang benar kepada Tuhan Universal Yang Esa tanpa menyekutukan-Nya dengan mitra, pesaing, atau yang serupa — pada tingkat transendensi. Namun agama justru dimaksudkan untuk mewujudkan tujuannya tepat pada tingkat eksistensi, di mana manusia tunduk pada keterbatasan kemanusiaan dan alam semesta material, dan bukan ketika manusia tidak tunduk pada keterbatasan-keterbatasan ini sebagaimana istilah ‘transenden’ dipahami. Jika ‘transenden’ dimaksudkan merujuk pada kondisi ontologis yang tidak termasuk dalam salah satu dari sepuluh kategori, Tuhan | |||||