Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
— secara ketat — bukanlah Tuhan agama (yakni ilāh) dalam arti bahwa bisa ada yang disebut ‘kesatuan’ agama-agama pada tingkat itu. Pada tingkat itu Tuhan dikenal sebagai rabb, bukan sebagai ilāh; dan pengakuan terhadap-Nya sebagai rabb tidak serta-merta menyiratkan keesaan atau kesamaan dalam pengakuan yang benar terhadap kebenaran yang diakui, sebab Iblīs pun mengakui Tuhan sebagai rabb namun tidak benar-benar mengakui-Nya. Sesungguhnya semua keturunan Adam sudah mengakui-Nya sebagai rabb pada tingkat itu. Akan tetapi pengakuan manusia terhadap-Nya demikian tidaklah benar kecuali diikuti dengan pengakuan yang benar pada tingkat di mana Dia dikenal sebagai ilāh. Dan pengakuan yang benar pada tingkat di mana Dia dikenal sebagai ilāh terdiri dari tidak menyekutukan-Nya dengan mitra, pesaing, atau yang serupa, serta tunduk kepada-Nya dalam cara dan bentuk yang Dia ridai dan yang ditunjukkan oleh para Nabi yang Dia utus.
Jika ‘transenden’ dimaksudkan merujuk pada kondisi psikologis pada tingkat pengalaman dan kesadaran yang ‘unggul’ atau ‘melampaui’ keadaan orang kebanyakan, maka ‘kesatuan’ yang dialami dan disadari pada tingkat transendensi bukanlah kesatuan agama-agama, melainkan kesatuan pengalaman dan kesadaran keagamaan, yang hanya dicapai oleh segelintir individu saja di antara umat manusia. Namun agama dimaksudkan untuk mewujudkan tujuannya bagi umat manusia secara umum; dan umat manusia sebagai keseluruhan tidak mungkin berada pada tingkat transendensi sehingga ada kesatuan agama-agama pada tingkat itu.
Kemudian, jika ditolak bahwa kesatuan pada tingkat itu adalah keterhubungan dari kemajemukan atau perbedaan agama-agama sebagai bagian-bagian yang membentuk sebuah keseluruhan, melainkan bahwa setiap agama pada tingkat eksistensi biasa bukanlah bagian dari keseluruhan, tetapi keseluruhan itu sendiri — maka ‘kesatuan’ yang dimaksud adalah ‘keesaan’ atau ‘kesamaan’ bukanlah benar-benar kesatuan agama-agama, melainkan kesatuan Tuhan dari agama-agama pada tingkat transendensi (yakni esoteris), yang menyiratkan bahwa pada tingkat eksistensi biasa (yakni eksoteris), dan meskipun terdapat kemajemukan dan keragaman agama-agama, masing-masing agama dianggap memadai dan sah dalam cara terbatasnya sendiri, masing-masing autentik dan menyampaikan kebenaran yang terbatas tetapi setara. Gagasan tentang kemajemukan kebenaran dengan kesahihan yang sama dalam kemajemukan dan keragaman reli-
id) oleh admin pada 20 September 2025 - 09:13:56.— secara ketat — bukanlah Tuhan agama (yakni ilāh) dalam arti bahwa bisa ada yang disebut ‘kesatuan’ agama-agama pada tingkat itu. Pada tingkat itu Tuhan dikenal sebagai rabb, bukan sebagai ilāh; dan pengakuan terhadap-Nya sebagai rabb tidak serta-merta menyiratkan keesaan atau kesamaan dalam pengakuan yang benar terhadap kebenaran yang diakui, sebab Iblīs pun mengakui Tuhan sebagai rabb namun tidak benar-benar mengakui-Nya. Sesungguhnya semua keturunan Adam sudah mengakui-Nya sebagai rabb pada tingkat itu. Akan tetapi pengakuan manusia terhadap-Nya demikian tidaklah benar kecuali diikuti dengan pengakuan yang benar pada tingkat di mana Dia dikenal sebagai ilāh. Dan pengakuan yang benar pada tingkat di mana Dia dikenal sebagai ilāh terdiri dari tidak menyekutukan-Nya dengan mitra, pesaing, atau yang serupa, serta tunduk kepada-Nya dalam cara dan bentuk yang Dia ridai dan yang ditunjukkan oleh para Nabi yang Dia utus.
Jika ‘transenden’ dimaksudkan merujuk pada kondisi psikologis pada tingkat pengalaman dan kesadaran yang ‘unggul’ atau ‘melampaui’ keadaan orang kebanyakan, maka ‘kesatuan’ yang dialami dan disadari pada tingkat transendensi bukanlah kesatuan agama-agama, melainkan kesatuan pengalaman dan kesadaran keagamaan, yang hanya dicapai oleh segelintir individu saja di antara umat manusia. Namun agama dimaksudkan untuk mewujudkan tujuannya bagi umat manusia secara umum; dan umat manusia sebagai keseluruhan tidak mungkin berada pada tingkat transendensi sehingga ada kesatuan agama-agama pada tingkat itu.
Kemudian, jika ditolak bahwa kesatuan pada tingkat itu adalah keterhubungan dari kemajemukan atau perbedaan agama-agama sebagai bagian-bagian yang membentuk sebuah keseluruhan, melainkan bahwa setiap agama pada tingkat eksistensi biasa bukanlah bagian dari keseluruhan, tetapi keseluruhan itu sendiri — maka ‘kesatuan’ yang dimaksud adalah ‘keesaan’ atau ‘kesamaan’ bukanlah benar-benar kesatuan agama-agama, melainkan kesatuan Tuhan dari agama-agama pada tingkat transendensi (yakni esoteris), yang menyiratkan bahwa pada tingkat eksistensi biasa (yakni eksoteris), dan meskipun terdapat kemajemukan dan keragaman agama-agama, masing-masing agama dianggap memadai dan sah dalam cara terbatasnya sendiri, masing-masing autentik dan menyampaikan kebenaran yang terbatas tetapi setara. Gagasan tentang kemajemukan kebenaran dengan kesahihan yang sama dalam kemajemukan dan keragaman reli-
| ID | Waktu | Bahasa | Penerjemah | Status | Aksi |
|---|---|---|---|---|---|
| #12 | 20 Sep 2025, 09:13:56 | id | admin | Tervalidasi | — |
— secara ketat — bukanlah Tuhan agama (yakni ilāh) dalam arti bahwa bisa ada yang disebut ‘kesatuan’ agama-agama pada tingkat itu. Pada tingkat itu Tuhan dikenal sebagai rabb, bukan sebagai ilāh; dan pengakuan terhadap-Nya sebagai rabb tidak serta-merta menyiratkan keesaan atau kesamaan dalam pengakuan yang benar terhadap kebenaran yang diakui, sebab Iblīs pun mengakui Tuhan sebagai rabb namun tidak benar-benar mengakui-Nya. Sesungguhnya semua keturunan Adam sudah mengakui-Nya sebagai rabb pada tingkat itu. Akan tetapi pengakuan manusia terhadap-Nya demikian tidaklah benar kecuali diikuti dengan pengakuan yang benar pada tingkat di mana Dia dikenal sebagai ilāh. Dan pengakuan yang benar pada tingkat di mana Dia dikenal sebagai ilāh terdiri dari tidak menyekutukan-Nya dengan mitra, pesaing, atau yang serupa, serta tunduk kepada-Nya dalam cara dan bentuk yang Dia ridai dan yang ditunjukkan oleh para Nabi yang Dia utus. Jika ‘transenden’ dimaksudkan merujuk pada kondisi psikologis pada tingkat pengalaman dan kesadaran yang ‘unggul’ atau ‘melampaui’ keadaan orang kebanyakan, maka ‘kesatuan’ yang dialami dan disadari pada tingkat transendensi bukanlah kesatuan agama-agama, melainkan kesatuan pengalaman dan kesadaran keagamaan, yang hanya dicapai oleh segelintir individu saja di antara umat manusia. Namun agama dimaksudkan untuk mewujudkan tujuannya bagi umat manusia secara umum; dan umat manusia sebagai keseluruhan tidak mungkin berada pada tingkat transendensi sehingga ada kesatuan agama-agama pada tingkat itu. Kemudian, jika ditolak bahwa kesatuan pada tingkat itu adalah keterhubungan dari kemajemukan atau perbedaan agama-agama sebagai bagian-bagian yang membentuk sebuah keseluruhan, melainkan bahwa setiap agama pada tingkat eksistensi biasa bukanlah bagian dari keseluruhan, tetapi keseluruhan itu sendiri — maka ‘kesatuan’ yang dimaksud adalah ‘keesaan’ atau ‘kesamaan’ bukanlah benar-benar kesatuan agama-agama, melainkan kesatuan Tuhan dari agama-agama pada tingkat transendensi (yakni esoteris), yang menyiratkan bahwa pada tingkat eksistensi biasa (yakni eksoteris), dan meskipun terdapat kemajemukan dan keragaman agama-agama, masing-masing agama dianggap memadai dan sah dalam cara terbatasnya sendiri, masing-masing autentik dan menyampaikan kebenaran yang terbatas tetapi setara. Gagasan tentang kemajemukan kebenaran dengan kesahihan yang sama dalam kemajemukan dan keragaman reli- | |||||