Loading...

Maktabah Reza Ervani

15%

Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000



Judul Kitab : Prolegomena to the Metaphysics of Islam - Detail Buku
Halaman Ke : 11
Jumlah yang dimuat : 22
« Sebelumnya Halaman 11 dari 22 Berikutnya » Daftar Isi
English published

is, strictly speaking, not the God of religion (i.e. ilāh) in the sense that there could be such a thing as a ‘unity’ of religions at that level. At that level God is recognized as rabb, not as ilāh; and recognizing Him as rabb does not necessarily imply oneness or sameness in the proper acknowledgement of the truth that is recognized, since Iblīs also recognized God as rabb and yet did not properly acknowledge Him. Indeed, all of Adam’s progeny have already recognized Him as rabb at that level. But mankind’s recognition of Him as such is not true unless followed by proper acknowledgement at the level in which He is known as ilāh. And proper acknowledgement at the level in which He is known as ilāh consists in not associating Him with any partner, rival, or like, and in submitting to Him in the manner and form approved by Him and shown by His sent Prophets. If ‘transcendent’ is meant to refer to a psychological condition at the level of experience and consciousness which ‘excels’ or ‘surpasses’ that of the masses among mankind, then the ‘unity’ that is experienced and made conscious of at the level of transcendence is not of religions, but of religious experience and consciousness, which is arrived at by the relatively few individuals only among mankind. But religion is meant to realize its purpose for the generality of mankind; and mankind as a whole can never be at the level of transcendence for there to be a unity of religions at that level. Then if it is denied that the unity at that level is the interconnection of the plurality or dissimilarity of religions as of parts constituting a whole, rather that every one of the religions at the level of ordinary existence is not a part of a whole, but is a whole in itself — then the ‘unity’ that is meant is ‘oneness’ or ‘sameness’ not really of religions, but of the God of religions at the level of transcendence (i.e. esoteric), implying thereby that at the level of ordinary existence (i.e. exoteric), and despite the plurality and diversity of religions, each religion is adequate and valid in its own limited way, each authentic and conveying limited though equal truth. The notion of a plurality of truth of equal validity in the plurality and diversity of reli-

Bahasa Indonesia Translation

— secara ketat — bukanlah Tuhan agama (yakni ilāh) dalam arti bahwa bisa ada yang disebut ‘kesatuan’ agama-agama pada tingkat itu. Pada tingkat itu Tuhan dikenal sebagai rabb, bukan sebagai ilāh; dan pengakuan terhadap-Nya sebagai rabb tidak serta-merta menyiratkan keesaan atau kesamaan dalam pengakuan yang benar terhadap kebenaran yang diakui, sebab Iblīs pun mengakui Tuhan sebagai rabb namun tidak benar-benar mengakui-Nya. Sesungguhnya semua keturunan Adam sudah mengakui-Nya sebagai rabb pada tingkat itu. Akan tetapi pengakuan manusia terhadap-Nya demikian tidaklah benar kecuali diikuti dengan pengakuan yang benar pada tingkat di mana Dia dikenal sebagai ilāh. Dan pengakuan yang benar pada tingkat di mana Dia dikenal sebagai ilāh terdiri dari tidak menyekutukan-Nya dengan mitra, pesaing, atau yang serupa, serta tunduk kepada-Nya dalam cara dan bentuk yang Dia ridai dan yang ditunjukkan oleh para Nabi yang Dia utus.

Jika ‘transenden’ dimaksudkan merujuk pada kondisi psikologis pada tingkat pengalaman dan kesadaran yang ‘unggul’ atau ‘melampaui’ keadaan orang kebanyakan, maka ‘kesatuan’ yang dialami dan disadari pada tingkat transendensi bukanlah kesatuan agama-agama, melainkan kesatuan pengalaman dan kesadaran keagamaan, yang hanya dicapai oleh segelintir individu saja di antara umat manusia. Namun agama dimaksudkan untuk mewujudkan tujuannya bagi umat manusia secara umum; dan umat manusia sebagai keseluruhan tidak mungkin berada pada tingkat transendensi sehingga ada kesatuan agama-agama pada tingkat itu.

Kemudian, jika ditolak bahwa kesatuan pada tingkat itu adalah keterhubungan dari kemajemukan atau perbedaan agama-agama sebagai bagian-bagian yang membentuk sebuah keseluruhan, melainkan bahwa setiap agama pada tingkat eksistensi biasa bukanlah bagian dari keseluruhan, tetapi keseluruhan itu sendiri — maka ‘kesatuan’ yang dimaksud adalah ‘keesaan’ atau ‘kesamaan’ bukanlah benar-benar kesatuan agama-agama, melainkan kesatuan Tuhan dari agama-agama pada tingkat transendensi (yakni esoteris), yang menyiratkan bahwa pada tingkat eksistensi biasa (yakni eksoteris), dan meskipun terdapat kemajemukan dan keragaman agama-agama, masing-masing agama dianggap memadai dan sah dalam cara terbatasnya sendiri, masing-masing autentik dan menyampaikan kebenaran yang terbatas tetapi setara. Gagasan tentang kemajemukan kebenaran dengan kesahihan yang sama dalam kemajemukan dan keragaman reli-

IDWaktuBahasaPenerjemahStatusAksi
#1220 Sep 2025, 09:13:56idadminTervalidasi

— secara ketat — bukanlah Tuhan agama (yakni ilāh) dalam arti bahwa bisa ada yang disebut ‘kesatuan’ agama-agama pada tingkat itu. Pada tingkat itu Tuhan dikenal sebagai rabb, bukan sebagai ilāh; dan pengakuan terhadap-Nya sebagai rabb tidak serta-merta menyiratkan keesaan atau kesamaan dalam pengakuan yang benar terhadap kebenaran yang diakui, sebab Iblīs pun mengakui Tuhan sebagai rabb namun tidak benar-benar mengakui-Nya. Sesungguhnya semua keturunan Adam sudah mengakui-Nya sebagai rabb pada tingkat itu. Akan tetapi pengakuan manusia terhadap-Nya demikian tidaklah benar kecuali diikuti dengan pengakuan yang benar pada tingkat di mana Dia dikenal sebagai ilāh. Dan pengakuan yang benar pada tingkat di mana Dia dikenal sebagai ilāh terdiri dari tidak menyekutukan-Nya dengan mitra, pesaing, atau yang serupa, serta tunduk kepada-Nya dalam cara dan bentuk yang Dia ridai dan yang ditunjukkan oleh para Nabi yang Dia utus.

Jika ‘transenden’ dimaksudkan merujuk pada kondisi psikologis pada tingkat pengalaman dan kesadaran yang ‘unggul’ atau ‘melampaui’ keadaan orang kebanyakan, maka ‘kesatuan’ yang dialami dan disadari pada tingkat transendensi bukanlah kesatuan agama-agama, melainkan kesatuan pengalaman dan kesadaran keagamaan, yang hanya dicapai oleh segelintir individu saja di antara umat manusia. Namun agama dimaksudkan untuk mewujudkan tujuannya bagi umat manusia secara umum; dan umat manusia sebagai keseluruhan tidak mungkin berada pada tingkat transendensi sehingga ada kesatuan agama-agama pada tingkat itu.

Kemudian, jika ditolak bahwa kesatuan pada tingkat itu adalah keterhubungan dari kemajemukan atau perbedaan agama-agama sebagai bagian-bagian yang membentuk sebuah keseluruhan, melainkan bahwa setiap agama pada tingkat eksistensi biasa bukanlah bagian dari keseluruhan, tetapi keseluruhan itu sendiri — maka ‘kesatuan’ yang dimaksud adalah ‘keesaan’ atau ‘kesamaan’ bukanlah benar-benar kesatuan agama-agama, melainkan kesatuan Tuhan dari agama-agama pada tingkat transendensi (yakni esoteris), yang menyiratkan bahwa pada tingkat eksistensi biasa (yakni eksoteris), dan meskipun terdapat kemajemukan dan keragaman agama-agama, masing-masing agama dianggap memadai dan sah dalam cara terbatasnya sendiri, masing-masing autentik dan menyampaikan kebenaran yang terbatas tetapi setara. Gagasan tentang kemajemukan kebenaran dengan kesahihan yang sama dalam kemajemukan dan keragaman reli-


Beberapa bagian dari Terjemahan di-generate menggunakan Artificial Intelligence secara otomatis, dan belum melalui proses pengeditan

Untuk Teks dari Buku Berbahasa Indonesia atau Inggris, banyak bagian yang merupakan hasil OCR dan belum diedit


Belum ada terjemahan untuk halaman ini atau ada terjemahan yang kurang tepat ?

« Sebelumnya Halaman 11 dari 22 Berikutnya » Daftar Isi