Loading...

Maktabah Reza Ervani

15%

Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000



Judul Kitab : Prolegomena to the Metaphysics of Islam - Detail Buku
Halaman Ke : 12
Jumlah yang dimuat : 22
« Sebelumnya Halaman 12 dari 22 Berikutnya » Daftar Isi
English published

gions is perhaps aligned to the statements and general con­ clusions of modern philosophy and science arising from the discovery of a plurality and diversity of laws governing the universe having equal validity each in its own cosmological system. The trend to align modern scientific discovery con­ cerning the systems of the universe with corresponding statements applied to human society, cultural traditions, and values is one of the characteristic features of modernity. The position of those who advocate the theory of the transcen­ dent unity of religions is based upon the assumption that all religions, or the major religions of mankind, are revealed reli­ gions. They assume that the universality and transcendence of esoterism validates their theory, which they ‘discovered’ after having acquainted themselves with the metaphysics of Islām. In their understanding of this metaphysics of the trans­ cendent unity of existence, they further assume that the transcendent unity of religions is already implied. There is grave error in all their assumptions, and the phrase ‘tran­ scendent unity of religions’ is misleading and perhaps meant to be so for motives other than the truth. Their claim to belief in the transcendent unity of religions is something suggested to them inductively by the imagination and is derived from intellectual speculation and not from actual experience. If this is denied, and their claim is derived from the experience of others, then again we say that the sense of ‘unity’ experienced is not of religions, but of varying degrees of individual religious experience which does not of necessity lead to the assumption that the religions of indi­ viduals who experienced such ‘unity’, have truth of equal validity as revealed religions at the level of ordinary existence. Moreover, as already pointed out, the God of that experi­ ence is recognized as the rabb, not the ilāh of revealed reli­ gion. And recognizing Him as the rabb does not necessarily mean that acknowledging Him in true submission follows from that recognition, for rebellion, arrogance, and false­ hood have their origin in that very realm of transcendence. There is only one revealed religion. It was the religion con-

Bahasa Indonesia Translation

agama-agama mungkin diselaraskan dengan pernyataan dan kesimpulan umum filsafat dan sains modern yang muncul dari penemuan tentang kemajemukan dan keragaman hukum yang mengatur alam semesta yang masing-masing memiliki validitas yang sama dalam sistem kosmologinya sendiri. Tren untuk menyelaraskan penemuan ilmiah modern tentang sistem-sistem alam semesta dengan pernyataan-pernyataan yang diterapkan pada masyarakat manusia, tradisi budaya, dan nilai-nilai adalah salah satu ciri khas modernitas.

Posisi mereka yang menganjurkan teori ‘kesatuan transenden agama-agama’ didasarkan pada asumsi bahwa semua agama, atau agama-agama besar umat manusia, adalah agama wahyu. Mereka berasumsi bahwa universalitas dan transendensi esoterisme membenarkan teori mereka, yang mereka ‘temukan’ setelah mengenal metafisika Islām. Dalam pemahaman mereka tentang metafisika kesatuan transenden eksistensi, mereka lebih jauh berasumsi bahwa kesatuan transenden agama-agama sudah tersirat di dalamnya.

Ada kesalahan besar dalam semua asumsi mereka, dan ungkapan ‘kesatuan transenden agama-agama’ itu menyesatkan dan barangkali memang dimaksudkan demikian karena motif selain kebenaran. Klaim mereka tentang keyakinan pada kesatuan transenden agama-agama hanyalah sesuatu yang disarankan kepada mereka secara induktif oleh imajinasi dan berasal dari spekulasi intelektual, bukan dari pengalaman nyata. Jika hal ini disangkal, dan klaim mereka berasal dari pengalaman orang lain, maka sekali lagi kami katakan bahwa rasa ‘kesatuan’ yang dialami itu bukanlah kesatuan agama-agama, melainkan tingkat-tingkat yang berbeda dari pengalaman keagamaan individu, yang tidak dengan sendirinya mengarah pada asumsi bahwa agama-agama dari individu yang mengalami ‘kesatuan’ itu memiliki kebenaran dengan validitas yang sama sebagai agama wahyu pada tingkat eksistensi biasa.

Lebih jauh lagi, sebagaimana telah ditunjukkan, Tuhan dari pengalaman itu dikenal sebagai rabb, bukan ilāh dari agama wahyu. Dan mengenali-Nya sebagai rabb tidak serta-merta berarti bahwa pengakuan kepada-Nya dalam penyerahan diri yang benar mengikuti pengakuan tersebut, sebab pemberontakan, kesombongan, dan kebatilan justru berakar dari ranah transendensi itu sendiri. Hanya ada satu agama wahyu. Itu adalah agama yang di-

IDWaktuBahasaPenerjemahStatusAksi
#1320 Sep 2025, 09:14:59idadminTervalidasi

agama-agama mungkin diselaraskan dengan pernyataan dan kesimpulan umum filsafat dan sains modern yang muncul dari penemuan tentang kemajemukan dan keragaman hukum yang mengatur alam semesta yang masing-masing memiliki validitas yang sama dalam sistem kosmologinya sendiri. Tren untuk menyelaraskan penemuan ilmiah modern tentang sistem-sistem alam semesta dengan pernyataan-pernyataan yang diterapkan pada masyarakat manusia, tradisi budaya, dan nilai-nilai adalah salah satu ciri khas modernitas.

Posisi mereka yang menganjurkan teori ‘kesatuan transenden agama-agama’ didasarkan pada asumsi bahwa semua agama, atau agama-agama besar umat manusia, adalah agama wahyu. Mereka berasumsi bahwa universalitas dan transendensi esoterisme membenarkan teori mereka, yang mereka ‘temukan’ setelah mengenal metafisika Islām. Dalam pemahaman mereka tentang metafisika kesatuan transenden eksistensi, mereka lebih jauh berasumsi bahwa kesatuan transenden agama-agama sudah tersirat di dalamnya.

Ada kesalahan besar dalam semua asumsi mereka, dan ungkapan ‘kesatuan transenden agama-agama’ itu menyesatkan dan barangkali memang dimaksudkan demikian karena motif selain kebenaran. Klaim mereka tentang keyakinan pada kesatuan transenden agama-agama hanyalah sesuatu yang disarankan kepada mereka secara induktif oleh imajinasi dan berasal dari spekulasi intelektual, bukan dari pengalaman nyata. Jika hal ini disangkal, dan klaim mereka berasal dari pengalaman orang lain, maka sekali lagi kami katakan bahwa rasa ‘kesatuan’ yang dialami itu bukanlah kesatuan agama-agama, melainkan tingkat-tingkat yang berbeda dari pengalaman keagamaan individu, yang tidak dengan sendirinya mengarah pada asumsi bahwa agama-agama dari individu yang mengalami ‘kesatuan’ itu memiliki kebenaran dengan validitas yang sama sebagai agama wahyu pada tingkat eksistensi biasa.

Lebih jauh lagi, sebagaimana telah ditunjukkan, Tuhan dari pengalaman itu dikenal sebagai rabb, bukan ilāh dari agama wahyu. Dan mengenali-Nya sebagai rabb tidak serta-merta berarti bahwa pengakuan kepada-Nya dalam penyerahan diri yang benar mengikuti pengakuan tersebut, sebab pemberontakan, kesombongan, dan kebatilan justru berakar dari ranah transendensi itu sendiri. Hanya ada satu agama wahyu. Itu adalah agama yang di-


Beberapa bagian dari Terjemahan di-generate menggunakan Artificial Intelligence secara otomatis, dan belum melalui proses pengeditan

Untuk Teks dari Buku Berbahasa Indonesia atau Inggris, banyak bagian yang merupakan hasil OCR dan belum diedit


Belum ada terjemahan untuk halaman ini atau ada terjemahan yang kurang tepat ?

« Sebelumnya Halaman 12 dari 22 Berikutnya » Daftar Isi