Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
sejarah tradisi kultural, religius, dan intelektual Barat. Dalam sejarah tradisi kultural, religius, dan intelektual Islām tidak pernah ada zaman-zaman yang ditandai oleh dominasi suatu sistem pemikiran yang didasarkan pada materialisme atau idealisme, yang didukung oleh pendekatan metodologis dan posisi yang menyertainya seperti empirisme, rasionalisme, realisme, nominalisme, pragmatisme, positivisme, positivisme logis, maupun kritisisme, yang berayun dari abad ke abad dan muncul satu demi satu hingga masa kini. Para wakil pemikiran Islām — para teolog, filsuf, dan ahli metafisika — semuanya, secara individual, menerapkan berbagai metode dalam penyelidikan mereka tanpa mendominasi pada satu metode tertentu. Mereka menggabungkan dalam penyelidikan mereka, sekaligus dalam diri mereka, metode empiris dan rasional, metode deduktif dan induktif, serta tidak mengakui adanya dikotomi antara yang subjektif² dan yang objektif, sehingga semuanya menghasilkan apa yang saya sebut sebagai metode tawḥīd dalam pengetahuan.
Dalam Islām juga tidak pernah ada periode sejarah yang bisa dicirikan sebagai ‘klasik’, lalu ‘pertengahan’, kemudian ‘modern’, dan kini konon bergeser lagi menjadi ‘pasca-modern’; tidak pula ada peristiwa-peristiwa krusial antara zaman pertengahan dan modern yang dialami sebagai sebuah ‘renaissance’ dan ‘pencerahan’. Para pendukung pergeseran sistem pemikiran yang melibatkan perubahan unsur-unsur fundamental dari pandangan dunia dan sistem nilai mungkin akan berkata bahwa semua bentuk kebudayaan harus mengalami pergeseran semacam itu, kalau tidak maka dalam proses interaksi dengan perubahan keadaan mereka akan kehabisan energi
id) oleh admin pada 20 September 2025 - 08:18:31.sejarah tradisi kultural, religius, dan intelektual Barat. Dalam sejarah tradisi kultural, religius, dan intelektual Islām tidak pernah ada zaman-zaman yang ditandai oleh dominasi suatu sistem pemikiran yang didasarkan pada materialisme atau idealisme, yang didukung oleh pendekatan metodologis dan posisi yang menyertainya seperti empirisme, rasionalisme, realisme, nominalisme, pragmatisme, positivisme, positivisme logis, maupun kritisisme, yang berayun dari abad ke abad dan muncul satu demi satu hingga masa kini. Para wakil pemikiran Islām — para teolog, filsuf, dan ahli metafisika — semuanya, secara individual, menerapkan berbagai metode dalam penyelidikan mereka tanpa mendominasi pada satu metode tertentu. Mereka menggabungkan dalam penyelidikan mereka, sekaligus dalam diri mereka, metode empiris dan rasional, metode deduktif dan induktif, serta tidak mengakui adanya dikotomi antara yang subjektif² dan yang objektif, sehingga semuanya menghasilkan apa yang saya sebut sebagai metode tawḥīd dalam pengetahuan.
Dalam Islām juga tidak pernah ada periode sejarah yang bisa dicirikan sebagai ‘klasik’, lalu ‘pertengahan’, kemudian ‘modern’, dan kini konon bergeser lagi menjadi ‘pasca-modern’; tidak pula ada peristiwa-peristiwa krusial antara zaman pertengahan dan modern yang dialami sebagai sebuah ‘renaissance’ dan ‘pencerahan’. Para pendukung pergeseran sistem pemikiran yang melibatkan perubahan unsur-unsur fundamental dari pandangan dunia dan sistem nilai mungkin akan berkata bahwa semua bentuk kebudayaan harus mengalami pergeseran semacam itu, kalau tidak maka dalam proses interaksi dengan perubahan keadaan mereka akan kehabisan energi.
| ID | Waktu | Bahasa | Penerjemah | Status | Aksi |
|---|---|---|---|---|---|
| #3 | 20 Sep 2025, 08:18:31 | id | admin | Tervalidasi | — |
sejarah tradisi kultural, religius, dan intelektual Barat. Dalam sejarah tradisi kultural, religius, dan intelektual Islām tidak pernah ada zaman-zaman yang ditandai oleh dominasi suatu sistem pemikiran yang didasarkan pada materialisme atau idealisme, yang didukung oleh pendekatan metodologis dan posisi yang menyertainya seperti empirisme, rasionalisme, realisme, nominalisme, pragmatisme, positivisme, positivisme logis, maupun kritisisme, yang berayun dari abad ke abad dan muncul satu demi satu hingga masa kini. Para wakil pemikiran Islām — para teolog, filsuf, dan ahli metafisika — semuanya, secara individual, menerapkan berbagai metode dalam penyelidikan mereka tanpa mendominasi pada satu metode tertentu. Mereka menggabungkan dalam penyelidikan mereka, sekaligus dalam diri mereka, metode empiris dan rasional, metode deduktif dan induktif, serta tidak mengakui adanya dikotomi antara yang subjektif² dan yang objektif, sehingga semuanya menghasilkan apa yang saya sebut sebagai metode tawḥīd dalam pengetahuan. Dalam Islām juga tidak pernah ada periode sejarah yang bisa dicirikan sebagai ‘klasik’, lalu ‘pertengahan’, kemudian ‘modern’, dan kini konon bergeser lagi menjadi ‘pasca-modern’; tidak pula ada peristiwa-peristiwa krusial antara zaman pertengahan dan modern yang dialami sebagai sebuah ‘renaissance’ dan ‘pencerahan’. Para pendukung pergeseran sistem pemikiran yang melibatkan perubahan unsur-unsur fundamental dari pandangan dunia dan sistem nilai mungkin akan berkata bahwa semua bentuk kebudayaan harus mengalami pergeseran semacam itu, kalau tidak maka dalam proses interaksi dengan perubahan keadaan mereka akan kehabisan energi. Catatan Kaki
| |||||