Loading...

Maktabah Reza Ervani

15%

Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000



Judul Kitab : Prolegomena to the Metaphysics of Islam - Detail Buku
Halaman Ke : 6
Jumlah yang dimuat : 22
« Sebelumnya Halaman 6 dari 22 Berikutnya » Daftar Isi
English published

history of the cultural, religious and intellectual tradition of the West. There have not been in the history of the cultural, religious and intellectual tradition of Islām distinct ages characterized by a preponderance of a system of thought based upon materialism or idealism, supported by attendant methodological approaches and positions like empiricism, rationalism, realism, nominalism, pragmatism, positivism, logical positivism, criticism, oscillating between centuries and emerging one after another right down to our time. The representatives of Islamic thought — theologians, philosophers, metaphysicians — have all and individually applied various methods in their investigations without preponderating on any one particular method. They combined in their investigations, and at the same time in their persons, the empirical and the rational, the deductive and the inductive methods and affirmed no dichotomy between the subjective² and the objective, so that they all affected what I would call the tawḥīd method of knowledge. Nor have there been in Islām historical periods that can be characterized as ‘classical’, then ‘medieval’, then ‘modern’ and now purportedly shifting again to ‘post-modern’; nor critical events between the medieval and the modern experienced as a ‘renaissance’ and an ‘enlightenment’. Proponents of shifts in systems of thought involving changes in the fundamental elements of the worldview and value system may say that all forms of cultures must experience such shifts, otherwise in the process of interaction with changing circumstances they exhaust


² By ‘subjective’ I mean not the popular understanding of the word. The human soul is creative; by means of perception, imagination, and intelligence it participates in the ‘creation’ and interpretation of the worlds of sense and sensible experience, of images, and of intelligible forms. ‘Subjective’ here is something not opposed to what is objective, but complementary to it.

Bahasa Indonesia Translation

sejarah tradisi kultural, religius, dan intelektual Barat. Dalam sejarah tradisi kultural, religius, dan intelektual Islām tidak pernah ada zaman-zaman yang ditandai oleh dominasi suatu sistem pemikiran yang didasarkan pada materialisme atau idealisme, yang didukung oleh pendekatan metodologis dan posisi yang menyertainya seperti empirisme, rasionalisme, realisme, nominalisme, pragmatisme, positivisme, positivisme logis, maupun kritisisme, yang berayun dari abad ke abad dan muncul satu demi satu hingga masa kini. Para wakil pemikiran Islām — para teolog, filsuf, dan ahli metafisika — semuanya, secara individual, menerapkan berbagai metode dalam penyelidikan mereka tanpa mendominasi pada satu metode tertentu. Mereka menggabungkan dalam penyelidikan mereka, sekaligus dalam diri mereka, metode empiris dan rasional, metode deduktif dan induktif, serta tidak mengakui adanya dikotomi antara yang subjektif² dan yang objektif, sehingga semuanya menghasilkan apa yang saya sebut sebagai metode tawḥīd dalam pengetahuan.

Dalam Islām juga tidak pernah ada periode sejarah yang bisa dicirikan sebagai ‘klasik’, lalu ‘pertengahan’, kemudian ‘modern’, dan kini konon bergeser lagi menjadi ‘pasca-modern’; tidak pula ada peristiwa-peristiwa krusial antara zaman pertengahan dan modern yang dialami sebagai sebuah ‘renaissance’ dan ‘pencerahan’. Para pendukung pergeseran sistem pemikiran yang melibatkan perubahan unsur-unsur fundamental dari pandangan dunia dan sistem nilai mungkin akan berkata bahwa semua bentuk kebudayaan harus mengalami pergeseran semacam itu, kalau tidak maka dalam proses interaksi dengan perubahan keadaan mereka akan kehabisan energi

Catatan Kaki

  1. Dengan ‘subjektif’ yang saya maksud bukanlah pengertian populer dari kata tersebut. Jiwa manusia itu kreatif; melalui persepsi, imajinasi, dan akal budi ia turut serta dalam ‘penciptaan’ dan penafsiran dunia indra dan pengalaman inderawi, dunia citra, dan bentuk-bentuk intelektual. ‘Subjektif’ di sini bukanlah sesuatu yang berlawanan dengan yang objektif, melainkan sesuatu yang melengkapinya.
IDWaktuBahasaPenerjemahStatusAksi
#320 Sep 2025, 08:18:31idadminTervalidasi

sejarah tradisi kultural, religius, dan intelektual Barat. Dalam sejarah tradisi kultural, religius, dan intelektual Islām tidak pernah ada zaman-zaman yang ditandai oleh dominasi suatu sistem pemikiran yang didasarkan pada materialisme atau idealisme, yang didukung oleh pendekatan metodologis dan posisi yang menyertainya seperti empirisme, rasionalisme, realisme, nominalisme, pragmatisme, positivisme, positivisme logis, maupun kritisisme, yang berayun dari abad ke abad dan muncul satu demi satu hingga masa kini. Para wakil pemikiran Islām — para teolog, filsuf, dan ahli metafisika — semuanya, secara individual, menerapkan berbagai metode dalam penyelidikan mereka tanpa mendominasi pada satu metode tertentu. Mereka menggabungkan dalam penyelidikan mereka, sekaligus dalam diri mereka, metode empiris dan rasional, metode deduktif dan induktif, serta tidak mengakui adanya dikotomi antara yang subjektif² dan yang objektif, sehingga semuanya menghasilkan apa yang saya sebut sebagai metode tawḥīd dalam pengetahuan.

Dalam Islām juga tidak pernah ada periode sejarah yang bisa dicirikan sebagai ‘klasik’, lalu ‘pertengahan’, kemudian ‘modern’, dan kini konon bergeser lagi menjadi ‘pasca-modern’; tidak pula ada peristiwa-peristiwa krusial antara zaman pertengahan dan modern yang dialami sebagai sebuah ‘renaissance’ dan ‘pencerahan’. Para pendukung pergeseran sistem pemikiran yang melibatkan perubahan unsur-unsur fundamental dari pandangan dunia dan sistem nilai mungkin akan berkata bahwa semua bentuk kebudayaan harus mengalami pergeseran semacam itu, kalau tidak maka dalam proses interaksi dengan perubahan keadaan mereka akan kehabisan energi.

Catatan Kaki

  1. Dengan ‘subjektif’ yang saya maksud bukanlah pengertian populer dari kata tersebut. Jiwa manusia itu kreatif; melalui persepsi, imajinasi, dan akal budi ia turut serta dalam ‘penciptaan’ dan penafsiran dunia indra dan pengalaman inderawi, dunia citra, dan bentuk-bentuk intelektual. ‘Subjektif’ di sini bukanlah sesuatu yang berlawanan dengan yang objektif, melainkan sesuatu yang melengkapinya.

Beberapa bagian dari Terjemahan di-generate menggunakan Artificial Intelligence secara otomatis, dan belum melalui proses pengeditan

Untuk Teks dari Buku Berbahasa Indonesia atau Inggris, banyak bagian yang merupakan hasil OCR dan belum diedit


Belum ada terjemahan untuk halaman ini atau ada terjemahan yang kurang tepat ?

« Sebelumnya Halaman 6 dari 22 Berikutnya » Daftar Isi