Loading...

Maktabah Reza Ervani

15%

Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000



Judul Kitab : Prolegomena to the Metaphysics of Islam - Detail Buku
Halaman Ke : 7
Jumlah yang dimuat : 22
« Sebelumnya Halaman 7 dari 22 Berikutnya » Daftar Isi
English published

themselves and become uncreative and petrified. But this is true only in the experience and consciousness of civilizations whose systems of thought and value have been derived from cultural and philosophical elements aided by the science of their times. Islām is not a form of culture, and its system of thought projecting its vision of reality and truth and the system of value derived from it are not merely derived from cultural and philosophical elements aided by science, but one whose original source is Revelation, confirmed by religion, affirmed by intellectual and intuitive principles. Islām ascribes to itself the truth of being a truly revealed religion, perfected from the very beginning, requiring no historical explanation and evaluation in terms of the place it occupied and the role it played within a process of development. All the essentials of the religion: the name, the faith and practice, the rituals, the creed and system of belief were given by Revelation and interpreted and demonstrated by the Prophet in his words and model actions, not from cultural tradition which necessarily must flow in the stream of historicism. The religion of Islām was conscious of its own identity from the time of its revelation. When it appeared on the stage of world history Islām was already ‘mature’, needing no process of ‘growing up’ to maturity. Revealed religion can only be that which knows itself from the very beginning; and that self-knowledge comes from the Revelation itself, not from history. The so called ‘development’ in the religious traditions of mankind cannot be applied to Islām, for what is assumed to be a developmental process is in the case of Islām only a process of interpretation and elaboration which must of necessity occur in alternating generations of believers of different nations, and which refer back to the unchanging Source.³ As such the worldview of Islām is characterized by an authenticity and a finality that points to what


³ Cf. al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur, 1978, ch.II.

Bahasa Indonesia Translation

mereka sendiri dan akhirnya menjadi tidak kreatif serta membatu. Namun hal ini hanya benar dalam pengalaman dan kesadaran peradaban yang sistem pemikiran dan nilai-nilainya berasal dari unsur-unsur kultural dan filosofis yang dibantu oleh ilmu pengetahuan pada zamannya. Islām bukanlah bentuk kebudayaan, dan sistem pemikirannya yang memproyeksikan visi tentang realitas dan kebenaran serta sistem nilai yang diturunkannya bukanlah semata-mata berasal dari unsur kultural dan filosofis yang dibantu oleh ilmu pengetahuan, melainkan berasal dari sumber aslinya yaitu Wahyu, yang dikukuhkan oleh agama, diteguhkan oleh prinsip intelektual dan intuitif.

Islām menisbatkan kepada dirinya kebenaran sebagai agama wahyu sejati yang sempurna sejak awal, yang tidak memerlukan penjelasan dan penilaian historis dalam hal posisi yang ditempatinya atau peran yang dimainkannya dalam suatu proses perkembangan. Semua hal pokok agama ini — nama, iman dan amal, ibadah, akidah, dan sistem keyakinan — diberikan oleh Wahyu dan ditafsirkan serta ditunjukkan oleh Nabi melalui ucapan dan teladan perbuatannya, bukan dari tradisi kultural yang niscaya harus mengalir dalam arus historisisme. Agama Islām sadar akan identitasnya sendiri sejak saat ia diwahyukan. Ketika muncul di panggung sejarah dunia, Islām sudah ‘matang’, tidak membutuhkan proses ‘beranjak dewasa’ menuju kematangan.

Agama wahyu hanya dapat berupa agama yang mengenali dirinya sendiri sejak awal; dan pengetahuan diri itu berasal dari Wahyu itu sendiri, bukan dari sejarah. Apa yang disebut sebagai ‘perkembangan’ dalam tradisi keagamaan umat manusia tidak dapat diterapkan pada Islām, karena apa yang diasumsikan sebagai suatu proses perkembangan dalam kasus Islām hanyalah proses penafsiran dan elaborasi yang niscaya terjadi dalam pergiliran generasi kaum beriman dari berbagai bangsa, dan yang merujuk kembali kepada Sumber yang tidak berubah.³ Dengan demikian, pandangan dunia Islām ditandai oleh keaslian dan finalitas yang menunjuk pada apa

Catatan Kaki

  1. ³ Lihat: al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur, 1978, Bab II.

Versi terbaru (bahasa: id) oleh admin pada 20 September 2025 - 13:02:55.
IDWaktuBahasaPenerjemahStatusAksi
#2720 Sep 2025, 13:02:55idadminSiap Validasi

mereka sendiri dan akhirnya menjadi tidak kreatif serta membatu. Namun hal ini hanya benar dalam pengalaman dan kesadaran peradaban yang sistem pemikiran dan nilai-nilainya berasal dari unsur-unsur kultural dan filosofis yang dibantu oleh ilmu pengetahuan pada zamannya. Islām bukanlah bentuk kebudayaan, dan sistem pemikirannya yang memproyeksikan visi tentang realitas dan kebenaran serta sistem nilai yang diturunkannya bukanlah semata-mata berasal dari unsur kultural dan filosofis yang dibantu oleh ilmu pengetahuan, melainkan berasal dari sumber aslinya yaitu Wahyu, yang dikukuhkan oleh agama, diteguhkan oleh prinsip intelektual dan intuitif.

Islām menisbatkan kepada dirinya kebenaran sebagai agama wahyu sejati yang sempurna sejak awal, yang tidak memerlukan penjelasan dan penilaian historis dalam hal posisi yang ditempatinya atau peran yang dimainkannya dalam suatu proses perkembangan. Semua hal pokok agama ini — nama, iman dan amal, ibadah, akidah, dan sistem keyakinan — diberikan oleh Wahyu dan ditafsirkan serta ditunjukkan oleh Nabi melalui ucapan dan teladan perbuatannya, bukan dari tradisi kultural yang niscaya harus mengalir dalam arus historisisme. Agama Islām sadar akan identitasnya sendiri sejak saat ia diwahyukan. Ketika muncul di panggung sejarah dunia, Islām sudah ‘matang’, tidak membutuhkan proses ‘beranjak dewasa’ menuju kematangan.

Agama wahyu hanya dapat berupa agama yang mengenali dirinya sendiri sejak awal; dan pengetahuan diri itu berasal dari Wahyu itu sendiri, bukan dari sejarah. Apa yang disebut sebagai ‘perkembangan’ dalam tradisi keagamaan umat manusia tidak dapat diterapkan pada Islām, karena apa yang diasumsikan sebagai suatu proses perkembangan dalam kasus Islām hanyalah proses penafsiran dan elaborasi yang niscaya terjadi dalam pergiliran generasi kaum beriman dari berbagai bangsa, dan yang merujuk kembali kepada Sumber yang tidak berubah.³ Dengan demikian, pandangan dunia Islām ditandai oleh keaslian dan finalitas yang menunjuk pada apa

Catatan Kaki

  1. ³ Lihat: al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur, 1978, Bab II.
#520 Sep 2025, 08:59:51idadminTervalidasi

mereka sendiri dan akhirnya menjadi tidak kreatif serta membatu. Namun hal ini hanya benar dalam pengalaman dan kesadaran peradaban yang sistem pemikiran dan nilai-nilainya berasal dari unsur-unsur kultural dan filosofis yang dibantu oleh ilmu pengetahuan pada zamannya. Islām bukanlah bentuk kebudayaan, dan sistem pemikirannya yang memproyeksikan visi tentang realitas dan kebenaran serta sistem nilai yang diturunkannya bukanlah semata-mata berasal dari unsur kultural dan filosofis yang dibantu oleh ilmu pengetahuan, melainkan berasal dari sumber aslinya yaitu Wahyu, yang dikukuhkan oleh agama, diteguhkan oleh prinsip intelektual dan intuitif.

Islām menisbatkan kepada dirinya kebenaran sebagai agama wahyu sejati yang sempurna sejak awal, yang tidak memerlukan penjelasan dan penilaian historis dalam hal posisi yang ditempatinya atau peran yang dimainkannya dalam suatu proses perkembangan. Semua hal pokok agama ini — nama, iman dan amal, ibadah, akidah, dan sistem keyakinan — diberikan oleh Wahyu dan ditafsirkan serta ditunjukkan oleh Nabi melalui ucapan dan teladan perbuatannya, bukan dari tradisi kultural yang niscaya harus mengalir dalam arus historisisme. Agama Islām sadar akan identitasnya sendiri sejak saat ia diwahyukan. Ketika muncul di panggung sejarah dunia, Islām sudah ‘matang’, tidak membutuhkan proses ‘beranjak dewasa’ menuju kematangan.

Agama wahyu hanya dapat berupa agama yang mengenali dirinya sendiri sejak awal; dan pengetahuan diri itu berasal dari Wahyu itu sendiri, bukan dari sejarah. Apa yang disebut sebagai ‘perkembangan’ dalam tradisi keagamaan umat manusia tidak dapat diterapkan pada Islām, karena apa yang diasumsikan sebagai suatu proses perkembangan dalam kasus Islām hanyalah proses penafsiran dan elaborasi yang niscaya terjadi dalam pergiliran generasi kaum beriman dari berbagai bangsa, dan yang merujuk kembali kepada Sumber yang tidak berubah.³ Dengan demikian, pandangan dunia Islām ditandai oleh keaslian dan finalitas yang menunjuk pada apa

Catatan Kaki

  1. ³ Lihat: al-Attas, Islam and Secularism, Kuala Lumpur, 1978, Bab II.

Beberapa bagian dari Terjemahan di-generate menggunakan Artificial Intelligence secara otomatis, dan belum melalui proses pengeditan

Untuk Teks dari Buku Berbahasa Indonesia atau Inggris, banyak bagian yang merupakan hasil OCR dan belum diedit


Belum ada terjemahan untuk halaman ini atau ada terjemahan yang kurang tepat ?

« Sebelumnya Halaman 7 dari 22 Berikutnya » Daftar Isi