Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Lalu para malaikat bertanya kepada-Nya dengan nada takjub, seraya berkata: “Bagaimana mungkin mereka akan durhaka kepada-Mu, wahai Tuhan kami, padahal Engkaulah Pencipta mereka?” Maka Allah menjawab mereka: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” Maksudnya, hal itu memang akan terjadi dari sebagian mereka, walaupun kalian (wahai para malaikat) tidak mengetahuinya, bahkan dari orang-orang yang tampaknya taat kepada-Ku sekalipun.
Sebagian dari mereka berkata bahwa perkataan malaikat ini adalah bentuk permintaan petunjuk terhadap hal yang belum mereka ketahui, seakan-akan mereka berkata: “Wahai Tuhan kami, beritahulah kami.” Jadi, ini adalah pertanyaan dalam rangka mencari penjelasan, bukan bentuk penolakan — dan inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Sa‘id meriwayatkan dari Qatadah tentang firman Allah Ta‘ala: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” — beliau berkata: “Allah mengajak para malaikat bermusyawarah dalam penciptaan Adam.” Mereka lalu berkata: “Apakah Engkau hendak menjadikan di dalamnya makhluk yang akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah?” — Para malaikat tahu dari ilmu yang Allah ajarkan kepada mereka bahwa tidak ada sesuatu yang paling dibenci oleh Allah selain pertumpahan darah dan kerusakan di bumi.
Firman-Nya: “Dan kami bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu.” Maka Allah menjawab: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” Artinya: dalam ilmu Allah, akan muncul dari khalifah itu para nabi, para rasul, orang-orang saleh, dan para penghuni surga.
Disebutkan pula bahwa Ibnu ‘Abbas pernah berkata: “Ketika Allah mulai menciptakan Adam, para malaikat berkata: ‘Allah tidak akan menciptakan makhluk yang lebih mulia dari kami, dan tidak pula yang lebih berilmu dari kami.’ Maka mereka pun diuji dengan penciptaan Adam. Setiap makhluk pasti diuji, sebagaimana langit dan bumi juga diuji untuk taat, lalu Allah berfirman: ‘Datanglah kamu berdua dengan suka hati atau terpaksa.’ Maka keduanya menjawab: ‘Kami datang dengan suka hati.’ (Fushshilat: 11).”
Tentang firman-Nya: “Dan kami bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu,” — ‘Abdurrazzaq meriwayatkan dari Ma‘mar, dari Qatadah — beliau berkata: “Tasbih adalah tasbih, dan taqdis adalah shalat.”
As-Suddi meriwayatkan dari Abu Malik, dari Abu Shalih, dari Ibnu ‘Abbas, dari Murrah dari Ibnu Mas‘ud dan sejumlah sahabat, bahwa maksud firman Allah: “Kami bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu,” adalah: “Kami shalat kepada-Mu.”
Mujahid berkata: “Kami mengagungkan dan membesarkan-Mu.”
Adh-Dhahhak berkata: “Taqdis berarti penyucian.”
Muhammad bin Ishaq berkata: “Kami tidak durhaka kepada-Mu dan tidak melakukan sesuatu yang Engkau benci.”
Ibnu Jarir berkata: “Taqdis adalah pengagungan dan penyucian. Termasuk dalam pengertian ini adalah ucapan mereka: ‘Subbūhun Quddūs’ — artinya: ‘Subbūh’ berarti mensucikan Allah, dan ‘Quddūs’ berarti pengagungan dan penyucian untuk-Nya. Begitu pula disebut ‘bumi yang muqaddasah’ (suci), maksudnya adalah bumi yang disucikan.”
Maka makna firman para malaikat: “Kami bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu” — maksudnya adalah: “Kami menyucikan-Mu dan membersihkan-Mu dari segala apa yang disandarkan oleh orang-orang musyrik kepada-Mu, dan kami menetapkan bagi-Mu sifat-sifat yang pantas berupa kesucian dari segala kekotoran dan dari semua yang disandarkan oleh orang-orang kafir kepada-Mu.”