Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Dan dalam Shahih Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ ditanya: “Ucapan apa yang paling utama?” Beliau menjawab: “(Ucapan) yang dipilih Allah untuk para malaikat-Nya, yaitu: ‘Subhānallāh wa biḥamdih.’”
Dan Al-Baihaqi meriwayatkan dari Abdurrahman bin Qurth bahwa Rasulullah ﷺ pada malam Isra’ mendengar tasbih di langit-langit yang tinggi: “Subhān al-‘Aliyy al-A‘lā, subḥānahu wa ta‘ālā.”
Firman Allah: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” — Qatadah berkata: “Maksudnya, Allah mengetahui bahwa dari kalangan khalifah itu akan muncul para nabi, para rasul, orang-orang saleh, dan para penghuni surga.”
Akan datang pula riwayat dari Ibnu Mas‘ud, Ibnu ‘Abbas, dan banyak sahabat serta tabi‘in mengenai hikmah dari firman Allah tersebut: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.”
Al-Qurṭubī dan para ulama lainnya menjadikan ayat ini sebagai dalil wajibnya mengangkat seorang khalifah (pemimpin) yang akan menyelesaikan perselisihan di tengah masyarakat, memutus konflik mereka, menolong yang teraniaya dari penindasnya, menegakkan hukum-hukum syariat, serta mencegah perbuatan keji dan maksiat. Semua hal penting ini tidak akan bisa ditegakkan kecuali dengan keberadaan seorang imam (khalifah). Maka apa pun yang kewajiban itu tidak akan sempurna kecuali dengannya, maka ia pun menjadi wajib.
Khilafah dapat ditetapkan dengan berbagai cara:
Melalui penunjukan langsung (nash), sebagaimana dikatakan oleh sebagian Ahlus Sunnah tentang pengangkatan Abu Bakar.
Melalui isyarat (imā’), sebagaimana pendapat kelompok lain dari Ahlus Sunnah.
Melalui pengangkatan oleh khalifah sebelumnya, seperti dilakukan Abu Bakar kepada ‘Umar bin al-Khaṭṭāb.
Melalui musyawarah dalam majelis syūrā yang dihadiri orang-orang saleh, sebagaimana dilakukan oleh ‘Umar bin al-Khaṭṭāb.
Melalui kesepakatan Ahlul ḥalli wal ‘aqdi (orang-orang yang berkompeten).
Melalui bai‘at satu orang yang kemudian diikuti oleh masyarakat, dan menurut mayoritas ulama itu sah dan wajib ditaati.
Imam al-Ḥaramayn bahkan menyatakan bahwa ijma‘ (kesepakatan) telah terjadi dalam hal ini. Dan Allah-lah yang Maha Mengetahui.
Khilafah juga dianggap sah jika ada seseorang yang menguasai masyarakat secara paksa dan ditaati, demi mencegah perpecahan dan konflik — dan hal ini ditegaskan oleh Imam Syāfi‘ī.
Tentang apakah akad kepemimpinan harus disaksikan?
Masih terdapat perbedaan pendapat:
Ada yang mengatakan tidak disyaratkan adanya saksi.
Ada yang mengatakan cukup dua saksi.
Al-Jubbā’ī mengatakan harus ada empat orang saksi, serta satu yang mengakadkan dan satu yang diakadkan kepadanya.
Contohnya adalah apa yang dilakukan ‘Umar radhiyallāhu ‘anhu saat menyerahkan urusan kepemimpinan kepada enam orang dalam syūrā. Maka terjadilah pengangkatan yang dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin ‘Auf (sebagai pengakad) kepada ‘Utsmān bin ‘Affān (sebagai pemimpin), sedangkan empat orang sisanya dianggap sebagai saksi. Namun, dalam hal ini masih terdapat tinjauan kritis, dan Allah-lah yang Maha Mengetahui.
Syarat-syarat khalifah menurut pendapat yang paling sahih adalah:
Laki-laki,
Merdeka,
Baligh,
Berakal,
Muslim,
Adil,
Mujtahid (memiliki kemampuan istinbāṭ hukum),
Waspada,
Sehat secara fisik,
Memahami strategi perang dan kebijakan,
Dari kalangan Quraisy (menurut pendapat yang paling kuat),
Tidak disyaratkan harus dari Bani Hasyim,
Tidak disyaratkan ma‘ṣūm (terjaga dari dosa), berbeda dengan keyakinan golongan Rafidhah ekstrem.
Jika seorang khalifah melakukan kefasikan (fasik), apakah ia otomatis harus dicopot?
Ini juga diperselisihkan, namun pendapat yang benar adalah: tidak otomatis harus dicopot, berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:
“Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang nyata, yang kalian miliki bukti dari Allah tentang hal itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Apakah dia boleh mengundurkan diri (mengalihkan kekuasaan)?