Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Adh Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas:
"Shirathalladzina an'amta 'alayhim"
artinya:
"Jalan orang-orang yang Engkau anugerahkan kepada mereka berupa ketaatan dan ibadah kepada-Mu,
dari kalangan para malaikat, para nabi, para shiddiqin, para syuhada, dan orang-orang shalih."
Dan ini sesuai dengan firman Allah Ta'ala:
"Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul, maka mereka itu bersama-sama dengan orang-orang yang Allah beri nikmat kepada mereka." (an Nisa': 69)
Abu Ja'far ar Razi meriwayatkan dari ar Rabi' bin Anas:
"Shirathalladzina an'amta 'alayhim"
artinya:
"Mereka adalah para nabi."
Dan Ibnu Juraij meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas:
"Mereka adalah orang-orang beriman."
Demikian pula yang dikatakan oleh Mujahid.
Waki' berkata:
"Mereka adalah kaum Muslimin."
'Abdurrahman bin Zayd bin Aslam berkata:
"Mereka adalah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang bersamanya."
Dan tafsir yang disebutkan sebelumnya dari Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma
lebih umum dan lebih mencakup — wallahu a'lam.
Firman Allah Ta'ala:
"Ghairil maghdhubi 'alayhim wala adh dhallin."
Mayoritas qari' membaca (ghairi) dengan kasrah (dengan harakat jer) sebagai sifat.
Az Zamakhsyari berkata:
_"Telah diriwayatkan juga bacaannya dengan nashab (fathah),
sebagai keadaan (hal), dan itu adalah bacaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan Umar bin al Khattab,
dan diriwayatkan juga dari Ibnu Katsir." 【1】
Dalam bacaan ini, pemilik keadaan adalah dhamir (kata ganti) dalam kata "alayhim",
dan yang menjadi pengaruhnya adalah kata "an'amta".
Maka maknanya:
"Tunjukilah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka,
yaitu mereka yang telah disebutkan dan dijelaskan sifat-sifat mereka:
yaitu orang-orang yang mendapatkan petunjuk, istiqamah, taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
melaksanakan perintah-perintah-Nya, dan meninggalkan larangan-larangan-Nya."
Bukan jalan:
Orang-orang yang dimurkai (al maghdhubi 'alayhim),
yaitu mereka yang rusak kehendaknya,
mengetahui kebenaran namun berpaling darinya.
Dan bukan pula jalan orang-orang yang tersesat (adh dhallin),
yaitu mereka yang kehilangan ilmu,
sehingga mereka tersesat dalam kesesatan dan tidak mampu menemukan jalan kebenaran.
Penggunaan kata "wala" (dan tidak) memberikan penegasan bahwa ada dua jalan yang rusak,
yaitu jalan Yahudi dan jalan Nasrani.
Sebagian ahli nahwu mengklaim bahwa kata "ghaira" di sini adalah istitsna'iyyah (kata istisna'),
sehingga maknanya menjadi terputus (munqathi'),
yakni mereka yang dikecualikan dari golongan orang yang diberi nikmat — dan mereka bukan bagian dari mereka.
Namun apa yang telah kami sebutkan sebelumnya lebih utama, berdasarkan syair Arab dari Bahr Wafir:
(Bahr Wafir)
"Seakan-akan engkau adalah unta dari unta Bani Uqaisy,
yang gemerincing di kakinya karena bejana air."
Yakni: Seakan-akan engkau seekor unta dari unta Bani Uqaisy.
Maka ia menghilangkan kata sifat yang seharusnya disebutkan dan mencukupkan dengan penyifatan.
Begitu pula dalam firman-Nya:
"Ghairil maghdhubi 'alayhim,"
yakni:
"Bukan jalan orang-orang yang dimurkai."
Allah mencukupkan dengan mudhaf ilaih (bagian yang diidhafahkan) dari penyebutan mudhaf (yang seharusnya didahulukan),
karena telah dijelaskan dalam susunan kalimat sebelumnya:
"Ihdinas shirathal mustaqim, shirathalladzina an'amta 'alayhim..."
lalu diikuti dengan:
"ghairil maghdhubi 'alayhim."
Sebagian lagi berpendapat bahwa huruf "la" dalam firman-Nya:
"Wala adh dhallin"
adalah tambahan (zaidah).
Sehingga takdir kalimat menurut mereka adalah:
"Ghairil maghdhubi 'alayhim wal adh dhallin."
Mereka berdalil dengan syair al 'Ajjaj dalam Bahr Rajaz:
(Bahr Rajaz)
"Fī bi'rin lā ḥūrin sarā wa mā sya'ara."
Artinya:
"Dalam sebuah sumur yang tidak ada air jernihnya, ia berjalan tanpa sadar."