Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Dan firman Allah Ta‘ālā:
“Sungguh Kami telah mengutus dalam setiap umat seorang rasul...” (an-Naḥl: 36)
Kata ‘ummah juga digunakan dan dimaksudkan sebagai “suatu waktu tertentu dalam zaman” sebagaimana firman Allah Ta‘ālā:
“Dan orang yang selamat dari keduanya berkata (kepada Firaun), dan ia teringat setelah suatu ummah (masa)...” (Yūsuf: 45)
Yakni: setelah suatu masa, menurut pendapat yang paling sahih dari dua pendapat.
Ia (Ibnu Jarīr) berkata: “Demikian pula hal ini.”
Inilah kesimpulan dari ucapannya, yaitu berupa penafsiran dan penggabungan makna, namun ini berbeda dengan yang disebutkan oleh Abū al-‘Āliyah, karena Abū al-‘Āliyah berpendapat bahwa satu huruf menunjukkan secara bersamaan pada beberapa makna.
Adapun lafaz ‘ummah dan yang serupa dengannya dari kata-kata yang musytarak (memiliki banyak makna secara istilah), maka dalam Al-Qur’an setiap kemunculannya menunjukkan pada satu makna yang ditentukan oleh konteks pembicaraan (siyāq al-kalām).
Adapun menjadikan satu kata mencakup seluruh maknanya apabila memungkinkan, maka itu merupakan masalah khilaf di kalangan ulama uṣūl, dan tempat pembahasannya bukan di sini. Dan Allah lebih mengetahui.
Kemudian, sesungguhnya lafaz ‘ummah menunjukkan semua makna tersebut dalam konteksnya dengan petunjuk dari kebiasaan penggunaan (dalālat al-waḍ‘).
Namun, jika satu huruf saja digunakan untuk menunjukkan satu nama, dan dalam waktu yang sama bisa juga menunjukkan nama lain — tanpa ada salah satu yang lebih utama dalam pengertian atau penghapusan, baik secara kebahasaan maupun tidak — maka hal itu tidak dapat dipahami kecuali melalui tauqīf (penjelasan langsung dari Nabi ﷺ), dan ini termasuk permasalahan yang diperselisihkan serta tidak ada ijma‘ padanya sehingga dapat diputuskan dengannya.
Adapun syahid (saksi syair) yang mereka bacakan untuk mendukung penggunaan satu huruf untuk menggantikan sisa kata, maka dalam konteks kalimat tersebut terdapat penunjuk yang menjelaskan maksud dari bagian yang dihapus, berbeda dengan hal ini (huruf muqatta‘ah), sebagaimana dikatakan oleh penyair:
"Qulnā lahā qifī lanā fa-qālat qāf
Lā taḥsabī annā nasīnā al-ījāf."
("Kami berkata padanya: Berhentilah untuk kami! Maka ia menjawab: ‘Qāf!’
Jangan kira kami telah lupa akan pecutan kuda!")
Maksudnya: ‘qāfat’ (ia telah berhenti). Ia hanya menyebut satu huruf darinya, karena sudah dipahami maksud kalimatnya.
Dan penyair lainnya berkata:
"Mā li al-ẓalīm ‘āla kaifa lā yā
Yanqaddu ‘anhu jilduhu idhā yā"
Ibnu Jarīr berkata: Seakan-akan maksudnya hendak berkata: “Idzā yaf‘alu kadzā wa kadzā”, maka ia mencukupkan diri hanya dengan huruf “yā” dari “yaf‘alu” karena sudah diketahui maksudnya dari konteks.
Dan penyair lainnya berkata:
"Bil-khayr khayrātun wa in sharāfan
Wa lā urīdu ash-sharra illā an tā"
(“Dengan kebaikan, akan datang kebaikan dan juga kemuliaan,
Dan aku tidak menginginkan keburukan kecuali kamu...")
(Maksudnya: “Anta” — engkau. Tapi hanya disebut "tā".)