Dalam hadis Harits bin Malik al-Anshari, semoga Allah meridhai dia, kita dapat melihat gambaran yang cerah tentang iman ini.
Haritsa pernah bertemu dengan Rasulullah, salam dan sejahtera atasnya, dan Rasulullah bertanya padanya, "Bagaimana kabarmu, Haritsa?" Haritsa menjawab, "Saya telah menjadi seorang mukmin yang sejati." Rasulullah kemudian berkata, "Lihatlah apa yang kamu katakan, karena setiap hal memiliki hakikatnya sendiri. Apa hakikat imanmu?" Haritsa menjawab, "Saya telah menjauhkan diri dari dunia, begitu lama hingga larut malam dalam ibadah, saya merasa haus sepanjang hari, dan seakan-akan saya melihat singgasana Tuhanku yang mulia. Saya seolah-olah melihat penghuni surga yang berkumpul di dalamnya, dan juga seakan-akan saya melihat penghuni neraka yang saling berdebat di dalamnya." Rasulullah lalu berkata, "Kamu telah mengerti, Haritsa, maka teruslah seperti ini."
* Penyimpangan dari Metode Para Rasul dan Dampaknya:
Sejak berdirinya negara tauhid di tangan penutup para nabi dan rasul Allah, keyakinan telah mendapatkan kesuciannya dari wahyu Allah dan ajaran langit. Keyakinan ini didasarkan pada Al-Quran dan Sunnah, dengan fokus pertama pada pendidikan moral, pemuliaan fitrah, dan perbaikan perilaku, sehingga manusia bisa mencapai martabat yang sesuai dengan kehormatannya dan menjadi kekuatan positif dalam kehidupan.
Namun, terjadi perselisihan politik, keterlibatan dengan doktrin pemikiran dan agama lain, serta penggunaan akal dalam hal-hal yang sebenarnya diluar kapasitasnya, yang menjadi penyebab penyimpangan dari metode para nabi. Ini juga menyebabkan perubahan iman dari kesederhanaan, kedamaian, dan keagungan menjadi isu-isu filosofis, pemikiran rasional, dan perdebatan berbicara, yang lebih mirip dengan perdebatan Bizantium.