Orang musyrikin sendiripun pernah menyatakan perasaan sebagai
tersebut di dalam surat 25 (al-Furqan) ayat 32. Di dalam ayat itu
disebutkan bahwa kaum musyrikin bertanya-tanya, mengapa al-Qur'an
diturunkan tidak sekaligus (jumlatan wahidatan). Lalu Tuhan
menyatakan sebabnya, yaitu supaya lebih mantap ayat-ayat itu dengan
bacaan yang amat teratur sekali.
Hal ini dapat kita misalkan dengan kejadian di diri kita sehari-
hari di dalam mempelajari ilmu pengetahuan, baik pengetahuan
tentang bahasa atau ilmu yang lain. Walaupun misalnya sesuatu bahasa
telah kita hapal kalimat-kalimatnya satu persatu, sebab kita telah
pelajari sekaligus, barulah dia akan mantap dalam pikiran, apabila
kita telah menghadapi kejadian itu sendiri dan dialami. Itulah sebabnya
maka orang merasa amat penting mengadakan research, yaitu
penyelidikan ilmu pengetahuan dengan seksama, dengan menghadapi
satu kenyataan. Meskipun telah belajar bahasa bertahun-tahun,
barulah akan mantap, kalau tinggal di negeri yang empunya bahasa
itu agak sekian bulan.
Jadi di dalam ayat 32 dari pada surat 25 itu terdapatlah dua
hikmah. Pertama untuk memantapkan tiap-tiap persoalan itu di dalam
hati Nabi, kedua supaya ayat-ayat al-Qur'an itu bisa dibaca dengan
sebenar-benar bacaan. Dan dengan turunnya semasa demi semasa
itu, 13 tahun di Mekkah, 10 tahun di Madinah, amat pentingnya,
karena senantiasa ada hubungan antara Rasul s.a.w. dengan cahaya
dari langit. Sedang kalau datang sekaligus, hanya sekali ketika turun
itu sajalah hubungan beliau dengan langit. Oleh sebab itu maka masa
23 tahun itu benar-benar beliau rasakan selalu adanya hubungan, dan
dirasakan pula oleh sahabat-sahabat Rasulullah, yang setiap ayat turun,
dibacakan dengan seksama oleh Rasul, lalu mereka terima dan mereka
hapalkan dan mereka baca.
Perkara pembacaan al-Qur'an, sehingga al-Qur'an telah menjadi
nama dari seluruh surat itu, amat penting sangkut pautnya dengan
keadaan umat yang didatangi itu sendiri. Terkenallah oleh dunia
keliling pada waktu itu, bahwa umat Arab Hejaz yang didatangi Rasul
itu ialah umat yang ummi, artinya sangat sedikit sekali, hanya agak
seorang di dalam 1.000 orang yang pandai menulis dan membaca.
Tuhanpun telah mentakdirkan pula rupanya, suatu hikmat yang
tertinggi dari sebab keummian mereka ini. Sebab orang yang tak pandai