Loading...

Maktabah Reza Ervani




Judul Kitab : Tafsir Al Azhar Juz 1- Detail Buku
Halaman Ke : 24
Jumlah yang dimuat : 111

dikawinkan terlebih dahulu. Karena pohon kurma itu berjantan berbetina pula.

Lalu beliau beri nasihat, tidak perlu mengawinkan itu. Nasihat beliau itu diterima oleh sahabat yang bersangkutan, lau dia pergi bertanam kurma.

Kemudian ternyata memang kurma yang ditanam dengan tidak perjodohan terlebih dahulu (okulasi), tidak menghasilkan buah. Lalu beliau sendiri Muhammad s.a.w. mengakui bahwa soal demikian bukanlah keahlian beliau, sebab hal itu adalah urusan keduniawian semata-mata, yang ahli masing-masing cabang pekerjaan lebih mengerti daripada beliau dalam urusan itu. Maka setelah dilakukan orang kembali perjodohan sebelum menanam kurma itu, benarlah terjadi sebagaimana biasa, menghasilkan buah yang subur.

Belumlah sampai penyelidikan penafsir ini apakah soal penanaman kurma ini terlebih dahulu kejadian daripada turunnya ayat 22 dalam Surat al-Hijr surat 15, yang menerangkan bahwa Tuhan Allah mengirimkan angin buat menyuburkan (lawaqih) dari pokok kata [qaah, yaitu mencecerkan bibit. Maka di musim angin berhembus sepoi-sepoi basa, angin itulah yang memindahkan bibit kembang yang jantan yang betina. Besar sekali kemungkinan bahwa sahabat Rasulullah menanam kurma itu, kejadian setelah zaman Madinah, dan Surat al Hijr adalah turun di Makkah. Artinya terlebih dahulu turun ayat itu dari sahabat berkebun kurma itu. Sebab setelah terjadi masyarakat Islam di Madinah barulah sahabat-sahabat berkebun-kebun. Maka kedua bukti ini menunjukkan dengan sangat jelas bahwa Nabi kita s.a.w. bukanlah seorang ahli perkebunan, dan tidaklah beliau sendiri mengerti, diukur dengan ilmu perkebunan, bahwa anginpun mempunyai tugas untuk mengawinkan bibit. Sedang maksud ayat 22 dari Surat al-Hijr itu dapatlah difahamkan orang di belakang, setelah orang menyelidiki imu pengetahuan tentang tumbuh-tumbuhan lebih mendalam. Dan sudah dapat pula kita katakan bahwa beliaupun tidaklah mengerti pecahnya sebagian dari matahari lalu menjadi bumi, meskipun ayat itu turun ke atas diri beliau sendiri. Abii imu alamlah kelak yang akan membuka rahasia itu.

Disinilah terletaknya mu‘jizat. Nabi kita s.a.w. tidak pandai menulis, tidak ahli membaca, tidak masuk satu sekolah. Bahkan sesuatu yang patut dinamai sekolah belum ada pada waktu itu. Sesuatu yang agak patut disebut ilmu pada masa itu hanyalah ilmu-ansab, yaitu imu nasab-keturunan, yang diajarkan dari mulut ke mulut. {tupun diakui oleh ahli sejarah bahwa beliau tidak ada ilmu tentang itu. Sahabat setianya Abu Bakar yang ahli dalam ilmu keturunan suku-suku Arab itu, bukan beliau.

Kata orang “lama hidup banyak dirasai, jauh berjalan banyak dilihat.”

Perjalanannya yang jauh selama hidupnya hanya dua kali, keduanya ke tempat yang sama, yaitu Syam. Perjalanan yang pertama dalam usia 12 tahun dibawa pamannya. Perjalanan kedua dalam usia 25 tahun membawa perdagangan Khadijah, yang kemudian menjadi isterinya. Dalam perjalanan yang hanya dua kali itu, keduanya jalan darat, jalan kafilah, secara insaf dan jujur haruslah kita fahami bahwasanya tidak mungkin dalam masa sependek itu dia menemui seorang Profesor atau ahli cendekia dan sarjana untuk menuntut ilmu, sehingga beliau sanggup mengarang al-Quran lalu  mengatakan bahwa langit dan burmi itu dahulunya satu dan kemudian pecah. Pengetahuan tentang inipun belum 


Beberapa bagian dari Terjemahan di-generate menggunakan Artificial Intelligence secara otomatis, dan belum melalui proses pengeditan

Untuk Teks dari Buku Berbahasa Indonesia atau Inggris, banyak bagian yang merupakan hasil OCR dan belum diedit


Belum ada terjemahan untuk halaman ini atau ada terjemahan yang kurang tepat ?