satu bahasa sajapun tidaklah sama di antara satu penterjemah dengan iain penterjemah. Dan bahasa tempat menterjemahkan itupun selalu berkembang, yang kadang-kadang satu patah perkataan 100 tahun yang telah lalu, sudah berbeda dengan yang sekarang ini. Kita misalkan saja kata “pemancar” yang 100 tahun yang lalu artinya ialah pancaran air, sedang arti pada zaman sekarang ialah satu stasiun radio.
Oleh karena itu kita terjemahkan dan kita tatsirkan al-Quran ini ke dalam bahasa Indonesia Moden yang sedang berkembang, dengan berpegang kepada pendapat Imam Abu Hanitah tadi, yaitu untuk membimbing orang yang tidak tahu bahasa Arab tetapi ingin mengetahui isi a)-Quran, dan kita peringatkan bahwa ini adalah terjemah. Sudah lebih daripada 10 macam terjemah al-Quran ke dalam bahasa Indonesia, namun bahasa dan gaya bahasa dari terjemah yang lebih 10 itu tidaklah sama, sebab semua itu adalah pendapat manusia, dan dalam atau dangkalnya pengetahuan manusia, bukanlah dia al-Quran.
Di zaman Islam dan negara-negara Islam dalam puncak kekuatannya, Ulama-ulama Islam berpendapat bahwa naskah al-Quran tidak boleh dibawa ke negeri orang katir dan al-Quran tidak boleh (haram) jika diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Sebab larangan membawa ke negeri yang bukan Islam, ialah karena takut al-Quran itu akan diperhina-hina. Dan larangan terjemah ialah karena sudah nyata bahwa terjemahan tidak akan sama dengan aslinya. Tetapi fatwa-fatwa yang demikian sekarang telah mulai berubah, sebab zamanpun telah berubah, terutama dengan adanya alat-alat pencetak, sehingga al-Quran yang mula-mula dicetak dengan percetakan bukanlah di Mesir, Damaskus atau di Makkah, tetapi di Hamburg Jerman.
Tentang hal terjemah, kian lama, karena kian melihat kenyataan, tidaklah besar lagi jumlah Ulama yang mengharamkannya, sebab telah dirasai betapa terjemah al-Quran ke dalam bahasa bahasa Barat, yang kadang kadang mereka katakan bahwa itulah yang al-Quran dan kadang-kadang terdapat pula terjemahan yang salah. Maka untuk menandingi ini tidak ada lagi jalan lain bagi Ulama-ulama Islam yang bertanggungjawab, melainkan membolehkan penterjemahan. Tetapi sama pula pendapat sekalian Ulama Islam Zaman Modern, bahwa hendaklah ayat-ayatnya yang asli dengan huruf Arabnya dan nomor nomor ayat dicantumkan pula di samping terjemahan itu, supaya dapat dibanding oleh ahli-ahli yang lain benar atau salahnya, tepat atau janggalnya terjemahan itu.
Syukurlah kita kepada Tuhan, sebab baik bacaan al-Quran dengan makhraj dan hurufnya dan tajwid atau perkembangan tulisannya, masih tetap asli menurut naskah yang pertama. Inilah keutamaan al-Quran yang melebihi naskah Taurat dan Injil. Keaslian al-Quran adalah mutawatir, artinya diterima dan dihafal oleh beribu-ribu orang yang mustahil akan sepakat berdusta dan diajarkan turun temurun dari nenek kepada anak dan kepada cucu.
Sekarang kita terjemahkanlah tiap-tiap ayat al-Quran yang 30 Juzu’, 114 Surat dan 6,236 ayat itu, ke dalam bahasa Indonesia atau Melayu, dan di samping terjemah, penulis ini mencantumkan pula bunyi ayat aslinya dengan huruf Arabnya. Tidak ada salinan bacaan-bacaan bahasa Arab al-Quran itu ke