Menafsirkan Al-Quran
T afsir yang utama dan yang pertama dari al-Quran, tidak lain, ialah Sunnah. Yaitu perkataan (aqwal) dan perbuatan (af aal) Nabi dan perbuatan orang lain. Yaitu sahabat-sahabatnya, yang mereka kerjakan di hadapan beliau, lalu dibiarkannya saja tidak dicegahnya (taqrir). Itulah Tafsir Al-Quran yang pertama. Ini dijelaskan oleh Tuhan di dalam Surat an-Nahl, Surat 16, ayat 44 (ujung ayat).
“Dan telah Kami turunkan kepada engkau peringatan, supaya engkau jelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka, supaya mereka semuanya berfikir.” (an-Nahl: 44)
Zikir artinya peringatan atau ingatan atau ingat. Artinya segala perbuatan Rasulullah yang kita namai Sunnah itu adalah beliau kerjakan dengan sadar, supaya Sunnah beliau menjadi keterangan dan penjelasan daripada al-Quran itu. Sehingga ‘Aisyah seketika ditanya orang bagaimanakah akhlak Rasululiah s.a.w. itu? Isteri beliau itu menjawab: “Akhlaknya ialah al-Quran itu sendiri!”
Oleh sebab itu maka Sunnah Rasulullah adalah penjelasan dari al-Quran, sehingga tidaklah boleh seseorang menafsirkan al-Quran yang berlawan dengan Sunnah. Bahkan wajiblah Sunnah menyoroti tiap-tiap Tafsir yang hendak ditafsirkan oleh seorang Penafsir. Kalau di dalam al-Quran terdapat yang mujmal (secara umum), Sunnahlah yang menjelaskannya (mufashshal) secara terperinci. Al-Quran menyuruh berwudhu’ dan sembahyang, maka Sunnah perbuatan Rasulullah dijadikan teladan bagaimana menjalankan wudhu’ dan sembahyang itu.
Sunnahlah pensyarah, penafsir, penjelasan bagi al-Quran. Sedang al-Quran itu sendiri bila diteropong dari segi Sunnah itu terbagi pada tiga bagian:
Bagian pertama, yaitu dia mengandung hukum-hukum yang bersangkutan dengan halal dan haram, faraidh dan wajibat (suruhan dan perintah yang mesti) atau yang dianjurkan (mandubat), atau yang dilarang dan dihukum siapa yang melanggarnya (mahzhurat). Di samping itu ialah beberapa peraturan, undang-