undang dan hukum yang berkenaan dengan Daulah Islamiyah (kenegeraan Islam), atau lebih jelas lagi. Hal-hal ini dinyatakan dengan tegas tatsirnya oleh Sunnah Nabi, dan akal tidak banyak kesempatan buat menerawang lagi mencari penatsiran yang lain daripada yang telah ditentukan Nabi itu. Karena bagian pertama inilah intipati dari Risalat Muhammadiyah. Nabi telah menjelaskannya dengan perkataan dan perbuatan dan pengakuannya. Kalau Nabi tidak menjelaskannya, maka belumlah sempurna dia menjalankan tugasnya sebagai Rasul. Maka mustahillah Nabi tidak menyampaikan dengan sempurna dan lengkap apa yang dia disuruh menyampaikan kepada kita. Lantaran itu maka segala hukum-hukum Fiqhiyah yang ada dalam al-Quran, baik berkenaan dengan ibadat, ataupun dengan mu‘amalat ataupun untuk menyusun masyarakat kemanusiaan yang dimulai dasar pertamanya dari keluarga (usrah), sampai meningkat kepada berkampung halaman, berkota bernegeri, sampai kepada bernegara dengan wilayah kekuasaannya, dan hubungan di antara yang memerintah dengan diperintah, sampai kepada hubungan kaum Muslimin dengan golongan lain dalam damai atau dalam perang; semuanya itu dijelaskan oleh Sunnah Nabi. Dan syukur Alhamdulillah Sunnah Rasul, sejak dari perkataan-perkataan beliau, sampai perbuatan orang lain yang tidak beliau tegur; dengan kerja keras para ahlinya telah terkumpul menjadi kitab-kitab Hadis, mana yang mustatidh (sangat dikenai), mana yang sahih, mana yang hasan dan mana yang dha‘if.
Kita jelaskan sekali lagi:
Kalau ada orang yang berani menafsir-nafsirkan saja al-Quran yang berkenaan dengan ayat-ayat hukum yang demikian, tidak berpedoman kepada Sunnah Rasul, maka tafsirnya itu telah melampaui, keluar daripada garis yang ditentukan oleh syariat. Sebab itu tidak seyogianya, tidak masuk akal bahwa seorang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul berani-berani saja menafsirkan al-Quran yang berkenaan dengan halal dan haram menurut kehendaknya sendiri, padahal Sunnah Nabi telah ada berkenaan dengan itu. Nabi telah meninggalkan kepada kita jalan yang lurus dan jelas, malamnya sama terang dengan siangnya, dan selama-lamanya kita tidak akan tersesat dari dalam agama ini, atau terpesong keluar dari dalam garisnya, selama kita masih berpegang teguh kepada yang dua itu, yaitu Kitab dan Sunnah. Maka barang-siapa yang hendak mengenal Fiqhil-Quran, tidaklah akan berhasil maksudnya kalau dia tidak mempelajari Sunnah. Seorang yang berani menafsirkan al- Quran yang berkenaan dengan hukum dengan pendapatnya sendiri, padahal Sunnah ada, samalah halnya dengan orang yang masih saja memakai Qiyas, padahal Nash sudah ada dalam hal yang dia tinjau itu. Orang yang bertindak demikian, tidaklah lagi berfikir di dalam garis yang ditentukan oleh Islam.
Pengecualian hal ini hanya satu. Yaitu apabila terdapat Nash al-Quran itu jelas, terang, nyata, sehingga tidak perlu tafsiran lagi, lalu bertemu pula Hadis Aahad, yaitu Hadis Rasulullah s.a.w. yang diberitakan oleh perawi-perawi Hadis dengan jalan yang bukan masyhur, sedang isi makna Hadis itu berlawanan dengan Nash yang shahih (jelas) dan nyata dari al-Quran itu.