sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. yang masih hidup menunjukkan kurang suka kepada cara yang demikian. Setelah Saiyidina Ali menjadi Khalitah yang keempat, satu kali beliau masuk ke dalam mesjid dan dia turut mendengar tukang-tukang ceritera itu. Dengan tegas mulai waktu itu beliau larang, dan beliau beri peringatan bahwa barangsiapa yang hendak memakai juga memberi tabligh cara berkisah itu, hendaklah menurut yang tersebut dalam al-Quran saja, jangan dilebih- lebihi. Yang beliau suruh meneruskan mengajar atau bertabligh di dalam mesjid itu hanya seorang saja, yaitu Imam Hasan al-Bishri yang terkenal, sebab kalau beliau berkisah, tidaklah melebih-lebihi, sehingga maksud kisah sebagai da‘wah tidak bertukar menjadi semacam dongeng-dongeng. Bahkan Saiyidina Ali turut pula mendengarkannya sebentar tanda sukanya, lalu keluar.
Kemudian datanglah Zaman Tab‘in. Kalau mengenai hukum-hukum halal dan haram, sebagian besar mereka tetaplah menuruti saja garis guru mereka, yaitu sahabat-sahabat Rasulullah. Tetapi dalam ayat-ayat yang mengenai ilmu alam tadi, dan mengenai kisah-kisah ummat Yahudi dan Nasrani, atau sengaja diambil oleh penatsir sendiri, ceritera ceritera yang tidak masuk akal atau dongeng-dongeng. Waktu itulah masuk menyelundup misalnya hikayat bahwa bumi kita ini terletak di atas tanduk lembu, dan kalau lembu itu bergerak terjadilah gempa bumi.
Bertambah jauh dari zaman Rasul dan Salat, dan bertambah jauh dunia Islam dari ilmu pengetahuan, bertambah banyaklah dongeng dongeng semacam ini.
Israiliyat itu dapat kita bagi tiga:
Pertama yang sesuai dengan kebenaran, yang ada persetujuannya dengan al-Quran, sebab ada riwayatnya yang shahih dari Nabi s.a.w. Yang semacam itu tentu tidak ditolak. Meskipun kita sadar bahwa bukanlah al-Quran yang dikuatkan oleh ceritera itu melainkan ceritera itulah yang menjadi ada nilainya sebab ada kesaksiannya dari a!-Quran.
Kedua ialah ceritera-ceritera yang terang dustanya, yang berlawanan dengan riwayat yang shahih dan yang ma’tsur dari Nabi s.a.w. atau berlawan dengan maksud ayat, atau tidak sesuai dengan dasar ajaran Islam; seumpamanya ceritera Gharaniq yang terkenal, yang terdapat riwayat bahwa Nabi Muhammad s.a.w. telah berdamai dengan kaum Quraisy, sebab beliau telah sudi mengakui berhala Gharaniq.*
Ketiga ialah yang tidak membawa persoalan baru, tidak bertentangan dengan al-Quran, dan tidak pula membenarkannya, dan kedatangan riwayat itu tidak membawa taedah bagi agama dan kalau ditinggalkan tidak pula merugikan. Yang semacam ini menurut Ibnu Taimiyah tidaklah kita benarkan dan tidak pula kita dustakan. Lain daripada itu riwayat-riwayat semacam ini kadang-kadang ahlul-kitab sendiripun berselisih di dalam membawakan riwayatnya. Misalnya perselisihan ceritera ahlul-kitab tentang beberapa orangkah banyak