nya pemuda-pemuda yang tidur di dalam Gua (ash-habul kahti); setengah mengatakan hanya bertiga, empat dengan anjingnya. Setengah mengatakan beriima, enam dengan anjingnya (al-Kahti ayat 22). Sampai juga pertikaian mereka tentang warna anjing itu. Dan banyak juga Israiliyat tentang tongkat itu bercabang dua. Bahkan ada pula riwayat bahwa tongkat itu ada beberapa tulisan beberapa rajah “isim” dan beberapa huruf, yang disuntingkan pula oleh al-Buni di dalam kitab “perdukunan”nya yang terkenal bernama Syamsul Ma‘arif al-Kubra.
Tatsir kita ini ditulis di zaman moden, di zaman ahli-ahli agama yang berpengetahuan luas telah bertemu dengan ahli-ahli pengetahuan yang mendapat pendidikan moden. Maka kalau tafsir ini dicampur-aduk dengan Israiliyat, niscaya tidaklah ada akan harganya buat menjadi da‘wah kepada orang yang hendak langsung mengetahui isi al-Quran. Israiliyat itu adalah sebagai dinding yang menghambat orang dari kebenaran a!-Quran. Kalau di dalam tafsir ini ada kita bawakan riwayat-riwayat Israiliyat itu, lain tidak ialah buat peringatan saja.
Demikianlah kita uraikan tentang tiga sumber dari penatsiran, mengenai empat bidang dari isi al-Quran yang akan ditafsirkan itu. Penafsiran pertama hendaklah diambil dari sumber Sunnah Rasulullah s.a. w. Kedua dari penafsiran sahabat-sahabat Rasulullah s.a.w. dan ketiga dari penatsiran Tabi‘in. Bolehkah kita menambah pula?
Tadi sudah dikatakan panjang lebar, bahwa mengenai halal haram, cara ibadat, nikah-talak-rujuk, pendeknya yang berkenaan dengan hukum, kita tidak boleh menambah tafsir lain. Sebab tafsiran yang lain bisa membawa bid‘ah dalam agama. Tetapi dalam hal yang iain-lain terdapat pula perlainan pendapat Ulama. Imam Taqiyuddin Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa menatsirkan al Quran dengan ra’yi (pendapat sendiri), dengan tidak berdasar dari sumber yang telah ditentukan itu adalah haram.
Di dalam kitab Tuhfatun-Nazhzhar pengembara Islam yang terkenal di abad keempatbelas, yaitu Ibnu Bathuthah mengatakan bahwa dia mendengar berita yang dapat dipercaya, bahwa Imam lbnu Taimiyah itu selama dalam penjara telah menulis Tafsir al-Quran, tebalnya 45 jilid. Rupanya naskah itu telah hilang atau belum bertemu sampai sekarang, sehingga tafsir Ibnu Taimiyah yang bertemu sekarang hanya Tafsir Surat an-Nur dan beberapa naskah lain yang jauh daripada lengkap untuk dikatakan 45 jilid. Maka di dalam tafsir Ibnu Taimiyah yang ada itu kita melihat bagaimana cara beliau menafsirkan, sehingga tersunyi daripada apa yang beliau beri nama ra’yi.
Mula-mula sekali beliau menafsirkan al-Quran ialah dengan al-Quran sendiri. Kalau kita ragu memahamkan suatu ayat, hendaklah sambungkan fahamnya dengan ayat yang lain. Sebab hal yang kurang nyata di satu ayat, akan ada kenyataannya di ayat yang lain. Misalnya di Surat Thaha kita baca bahwa Nabi Musa merasa takut melihat tali-tali dan tongkat tukang sihir telah menyerupai ular yang hendak menggigit (lihat Surat Thaha ayat 67). Kalau ayat itu saja yang kita baca tentu kesan yang pertama timbul dalam hati kita ialah bahwa Nabi Musa penakut. Maka untuk menghilangkan keraguan karena hanya membaca satu ayat dalam Surat Thaha, hendaklah kita baca ayat 116 Surat al-A‘raf. Di