yang menjunjung kemaslahatan umum setinggi-tingginya itu tidak pernah membawa hal-hal demikian. Landasan syariat sesungguhnya adalah hukum, sekaligus kemaslahatan-kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akhirat. Syariat itu adalah keadilan, rahmat, kemaslahatan, dan sesuatu yang bermanfaat itu sendiri seluruhnya. Setiap hal yang keluar'dari garis keadilan menjadi kesewenang-wenangan, yang keluar dari rahmat menjadi laknat, keluar dari kemaslahatan menjadi perusak, dan keluar dari kemanfaatan menjadi sesuatu yang tidak berarti apa-apa, bukanlah syariat, sekalipun diberi tafsiran-tafsiran. Syariat adalah ke- adilan, rahmat, perlindungan, dan kemanfaatan yang diberikan Tuhan untuk menunjukkan kebenaranNya dan kebenaran RasulNya 5.a.W. se- sempurna-sempurnanya. Dan syariat adalah cahaya dan petunjuk yang diberikan Tuhan kepada orang-orang yang mau melihat dan mau mem- peroleh petunjuk.”! Pendapat di atas merupakan pendapat yang harus kita sebar-luaskan alangan umat manusia, dan tidak boleh ada yang mengatakan yang lain dari itu pada zaman kita ini. Ibnu Oayyim memang benar sekali dengan pendapatnya bahwa yang bisa berubah oleh karena perubahan zaman dan keadaan hanyalah fatwa, bukan hukum agama, artinya pelaksanaan dan penerapan hukum itu ke dalam kenyataanlah yang harus berubah. Syariat dengan demikian tidak berubah, tetapi yang berubah adalah fikih, oleh karena syariat adalah firman Allah sedangkan fikih dan putusan hukum adalah perbuatan manusia. Tindakan Umar r.a. yang tidak bersedia lagi memberi zakat orang- orang muallaf yang masih dibujuk-bujuk pada zaman Rasul, dan mengata- kan bahwa “Tuhan sudah memperkokoh Islam dan tidak memerlukan mereka lagi,” bukanlah berarti bahwa ia mengubah hukum agama dan mengenyampingkan ayat-ayat Ouran, seperti dipahami sebagian Orang. Tetapi ia hanyalah mengubah fatwa sesuai dengan perubahan zaman dan keadaan dari zaman Rasulullah dulu. Lalu Uyainah bin Hishn dan Agra' bin Habis dan lain-lain tidaklah berarti orang-orang rakus yang ingin agar Islam dan negara masih membujuk hati mereka. Rasulullah sendiri tidak pernah menulis surat ketetapan agar mereka itu tetap dipandang muallaf sampai kiamat. Muallaf adalah siapa yang menurut kepala negara harus ditolong. Bila kepala negara berpendapat membujuk-bujuk seseorang atau banyak orang tidak periu atau tidak mutlak perlu lagi, oleh karena tidak perlu lagi dilakukan demikian atau oleh karena dipandang banyak lagi orang yang lebih penting harus diperhatikan, maka hal itu adalah hak kepala negara tersebut. Tetapi tidak pula berarti bahwa hak para muallaf itu dicoret selama-lamanya seperti ditafsirkan oleh sebagian ulama mazhab