Loading...

Maktabah Reza Ervani




Judul Kitab : Agama Jawa- Detail Buku
Halaman Ke : 3
Jumlah yang dimuat : 577

situasi dan struktur kesekarangan masyarakat dan bisa juga menjadikan sejarah sebagai alat untuk menerangkan “mengapa” dan “asal-usul sesuatu”. Ketika penelitian telah diselesaikan, ditulis, dan kemudian dipublikasikan, dinamika dari realitas kehidupan sosial terus juga berjalan. Kalau saja ingatan dilayangkan pada berbagai peristiwa dan suasana kesejarahan yang terpancar setelah penelitian ini diterbitkan, maka tampaklah betapa optimisme akan terciptanya suasana sosial- politik yang diidam-idamkan ternyata hanya menghasilkan kegelisahan. Pemilihan Umum yang demokratis dijalankan, tetapi ternyata tidak berhasil membawa bangsa ke arah kehidupan sosial-politik yang diidam-idamkan. Dalam suasana ini bangsa seperti dengan begitu saja membiarkan dirinya terluluh dalam suasana “revolusi tanpa henti”. Inilah situasi sosial-politik yang menyibukkan diri dalam dinamika revolusioner untuk “membongkar, membangun, retooling, herordening” segala sesuatu. Dalam bayangan kharisma seorang Pemimpin Besar Revolusi apa yang dislogankan sebagai Manipol-USDEK (Manifesto Politik—UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, Kepribadian Nasional) dijadikan sebagai landasan dari perilaku politik yang dikatakan revolusioner. Kesemuanya dijalankan oleh tiga unsur ideologis dari kekuatan sosial-politik yang disebut NASAKOM (Nasionalisme, Agama, Komunisme). Inilah ikatan politik yang sah dan yang ditampilkan sebagai tulang punggung revolusioner dari kehidupan negara-bangsa. Hanya saja bagaimanakah akan membantah fakta sederhana Bahwa dalam suasana yang serba revolusioner ini kehidupan bangsa semakin tergelincir ke jurang krisis ekonomi yang semakin dalam dan menukik juga. Di tengah suasana sosial politik yang ditopang oleh sistem wacana yang bercorak serba hiperbol ini akhirnya negara pun tergelincir ke lembah situasi konflik. Dalam suasana inilah “malam jahanam” itu terjadi. Sejak itu peristiwa yang terjadi di peralihan malam 30 September ke subuh 1 Oktober (1965) itu tidak pernah terlupakan dalam ingatan kolektif bangsa. Di waktu itulah malapetaka besar di tanah air tercinta ini bermula. Seperti spontan saja, sejak itu pula “revolusi (mulai) memakan anaknya”—jika saja ungkapan dari episode Revolusi Prancis boleh dipakai—dan bangsa pun terlarut dalam kekalutan yang teramat tragis dan dahsyat memilukan. Maka bisalah pula dibayangkan betapa kota kecil ini—sebagaimana juga halnya dengan


Beberapa bagian dari Terjemahan di-generate menggunakan Artificial Intelligence secara otomatis, dan belum melalui proses pengeditan

Untuk Teks dari Buku Berbahasa Indonesia atau Inggris, banyak bagian yang merupakan hasil OCR dan belum diedit


Belum ada terjemahan untuk halaman ini atau ada terjemahan yang kurang tepat ?