Loading...

Maktabah Reza Ervani




Judul Kitab : Tafsir al Mishbah Jilid 1- Detail Buku
Halaman Ke : 77
Jumlah yang dimuat : 623

Kelompok II ayat 5 Surah al-Fatihah (1) adanya rasa keagungan dalam jiwa seseseorang terhadap siapa yang kepadanya 12 mengabdi, serta sebagai dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya.” Demikian lebih kurang penjelasan Syekh Muhammmad Abduh. Imam Ja'far ash-Shadiq — sebagaimana dikutip oleh Muhammad alGhazali dalam bukunya Rakd'iz a-lman mengemukakan tiga unsur pokok yang merupakan hakikat ibadah. 1) Si Pengabdi tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman tangannya sebagai miliknya, karena yang dinamai hamba tidak memiliki sesuatu. Apa yang “dimilikinya” adalah milik tuannya. 2) Segala usahanya hanya berkisar pada mengindahkan apa yang diperintahkan oleh siapa yang kepadanya ia mengabdi. 3) Tidak memastikan sesuatu untuk dia laksanakan kecuali mengaitkannya dengan izin dan restu siapa yang kepadanya dia mengabdi. Ketika seorang menyatakan iyydka na'budu maka ketika itu tidak sesuatu apapun, baik dalam diri seseorang maupun yang berkaitan dengannya, kecuali telah dijadikan milik Allah. Memang, segala aktivitas manusia harus berakhir menjadi ibadah kepada-Nya sedang puncak ibadah adalah Ihsan. Wajar sekali, surah yang tema utamanya adalah pengawasan akan kehadiran Allah swt., wajar sekali menjadi bacaan wajib dalam setiap rakaat shalat, dalam arti tidak sah shalat tanpa membacanya, karena substansi shalat adalah menghadap kepada Allah dan merasakan kebesaran-Nya. Kaum sufi menjelaskan bahwa ada perbedaan antara “Gbadah (pengabdian) dan “4biidiyah (penghambaan diri) kepada Allah. Ibadah adalah melakukan hal-hal yang dapat membuat ridha Allah, sedang “4b#diyah adalah meridhai apa yang dilakukan Allah swt. Dengan demikian, perhambaan diri kepada Allah lebih tinggi tingkatannya daripada ibadah itu. Memang Ibn Sing’ misalnya membagi motivasi ibadah menjadi tiga tingkat. Pertama dan yang terendah adalah karena takut akan siksa-Nya. Yang motivasinya demikian diibaratkan oleh pakar itu dengan sseoang hamba sahaya, yang melakukan aktivitas karena dorongan takut dan bila merasa dilihat oleh tuannya. Yang kedua adalah karena mengharap surganya. Ini diibaratkan sebagai pedagang yang tidak melakukan aktivitas kecuali guna meraih keuntungan, dan ketiga karena dorongan cinta, bagaikan ibu terhadap bayinya. Inilah yang dinamai “ubudiyah. Sementara orang menduga bahwa motivasi pertama tidak dibenarkan agama, karena ia bersifat pamrih. Mufassir ar-Razi secara tegas menilainya sebagai motivasi rendah dan tidak bernilai. Pandangan ar-Razi ini berlebihan. Boleh jadi ketika itu ia sangat dipengaruhi oleh pandangan para sufi yang


Beberapa bagian dari Terjemahan di-generate menggunakan Artificial Intelligence secara otomatis, dan belum melalui proses pengeditan

Untuk Teks dari Buku Berbahasa Indonesia atau Inggris, banyak bagian yang merupakan hasil OCR dan belum diedit


Belum ada terjemahan untuk halaman ini atau ada terjemahan yang kurang tepat ?