Loading...

Maktabah Reza Ervani

15%

Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000



Judul Kitab : The Palestinian Exodus in 1948 - Detail Buku
Halaman Ke : 14
Jumlah yang dimuat : 14
« Sebelumnya Halaman 14 dari 14 Berikutnya » Daftar Isi
English published

CONCLUSION

Although the preceding seven criteria have shed some light on our ability to know what happened and to evaluate the works which claim to be able to explain the events, the total picture is still not complete. Although the above standards are useful in weeding out the worst of the biased literature, it is in no way comprehensive. Moreover, even propaganda, though inherently distortive, can be instructive. If nothing else, it provides an idea of what each protagonist is trying to prove, and therefore what is to be read with caution. After reviewing Childers' work, which effectively negates the Zionist argu- ment that the Palestinians were told to leave through radio orders, future historians can look more critically at Zionist sources, aware of what can be regarded as propaganda.

As we have amply demonstrated by now, the Palestinian exodus was a complex affair, not given to easy answers. The many varieties of, and factors in, the exodus have been explored, yet there is no doubt that there is further and more detailed information which still has to come to the surface. Rabin's memoirs are a case in point; his corroboration of the Palestinian expulsion from Lydda and Ramleh endorses the Arab position and what might have been regarded by some as only a piece of the truth now rests on still more solid ground.

Unfortunately, the continuation of the Arab-Israeli conflict necessarily biases our historical view of the events of 1948, as each side pounces on any historical revelation which lends credence to its position. This is tragic for two reasons: from a strictly historical basis, the historian is subjected to pressures and distortions in his work as the present acts on his view of the past. More importantly, failure to resolve the conflict forces the tragedy to continue as the past is used to serve the present. So long as the protagonists refuse to break free of the past, the Palestinians continue to suffer in exile and Israel is condemned to be inevitably regarded as an alien to the Middle East which must be neutralized.

In its most simple, perhaps crudest form, the Palestinian exodus was the result of the establishment of a Zionist state with all that this entailed. The Zionist inability to conceive of a place for the native Arab population in its structure, its view of "the Arabs" as a single, irreconcilable foe and the desire to make the state "as Jewish as England is English" meant that the removal of the Palestinians was seen as a desirable outcome which should be actively or passively pursued. Justice and prudence both insist that Israel must reverse this ideology and attempt to rectify the past if it is ever to gain acceptance into the area. It should be clear to the Israelis that faits accomplis are in the long run self-defeating; Israel can only win peace by accommodating itself to the region and this must surely entail rectification of the continuing injustice and tragedy of the situation stemming from the Palestinian exodus of 1948.

Bahasa Indonesia Translation

KESIMPULAN

Meskipun tujuh kriteria yang telah dibahas memberi beberapa pencerahan tentang apa yang mungkin terjadi dan bagaimana menilai karya-karya yang mengklaim mampu menjelaskan peristiwa itu, gambaran keseluruhan tetap belum lengkap. Standar-standar tersebut berguna untuk menyisihkan literatur yang paling bias, namun sama sekali tidak bersifat komprehensif. Lebih jauh lagi, bahkan propaganda yang bersifat mendistorsikan pun bisa memberikan informasi berguna—setidaknya tentang apa yang ingin dibuktikan masing-masing pihak sehingga kita tahu mana yang harus dibaca dengan kehati-hatian ekstra. Setelah menelaah karya Childers yang secara efektif membantah argumen Zionis bahwa orang Palestina diperintahkan meninggalkan tempat tinggal lewat siaran radio, sejarawan masa depan dapat lebih kritis terhadap sumber-sumber Zionis dan lebih waspada terhadap unsur propaganda di dalamnya.

Seperti telah ditunjukkan, eksodus Palestina adalah peristiwa kompleks yang tidak bisa dijawab dengan jawaban sederhana. Beragam faktor dan varian eksodus telah dikaji, namun jelas masih banyak data rinci yang belum muncul ke permukaan. Memoar Rabin, misalnya, memperkuat penggambaran pengusiran Palestina dari Lydda dan Ramleh dan memperkokoh aspek kenyataan dalam posisi Arab yang sebelumnya mungkin dianggap hanya sebagian kebenaran.

Sialnya, berlanjutnya konflik Arab–Israel membuat pandangan sejarah tentang peristiwa 1948 tetap terdistorsi, karena setiap pihak segera memanfaatkan temuan sejarah yang menguntungkan posisinya. Ini tragis dengan dua alasan: dari sudut pandang ilmiah, sejarawan mendapat tekanan dan distorsi saat kondisi masa kini mempengaruhi penafsiran masa lalu; lebih penting lagi, kegagalan menyelesaikan konflik membuat tragedi berlanjut karena masa lalu terus dipakai untuk kepentingan masa kini. Selama para protagonis tidak dapat melepaskan diri dari beban sejarah ini, rakyat Palestina terus menderita dalam pengasingan dan Israel akan terus dipandang sebagai entitas asing di Timur Tengah yang harus dinetralisasi.

Secara paling sederhana, dan mungkin paling kasat, eksodus Palestina adalah akibat berdirinya negara Zionis dan konsekuensi yang melekat padanya. Ketidakmampuan Zionis untuk membayangkan tempat bagi penduduk Arab asli, pandangan yang mereduksi “orang Arab” menjadi musuh tunggal yang tak dapat didamaikan, serta cita-cita membentuk negara yang “sedemikian Yahudi” menghasilkan anggapan bahwa penghilangan penduduk Palestina adalah hasil yang diinginkan dan layak dikejar, secara aktif maupun pasif. Keadilan dan kebijaksanaan menuntut agar Israel meninggalkan ideologi semacam ini dan berupaya memperbaiki masa lalu jika ingin diterima di kawasan. Harus jelas bagi Israel bahwa pembuatan faits accomplis pada akhirnya merugikan dirinya sendiri; perdamaian yang sejati hanya mungkin diperoleh lewat penyesuaian diri dengan lingkungan regional—dan itu hampir pasti mensyaratkan upaya memperbaiki ketidakadilan dan tragedi yang masih berlangsung sebagai warisan dari eksodus Palestina 1948.

IDWaktuBahasaPenerjemahStatusAksi
#1320 Sep 2025, 05:20:45idadminTervalidasi

KESIMPULAN

Meskipun tujuh kriteria yang telah dibahas memberi beberapa pencerahan tentang apa yang mungkin terjadi dan bagaimana menilai karya-karya yang mengklaim mampu menjelaskan peristiwa itu, gambaran keseluruhan tetap belum lengkap. Standar-standar tersebut berguna untuk menyisihkan literatur yang paling bias, namun sama sekali tidak bersifat komprehensif. Lebih jauh lagi, bahkan propaganda yang bersifat mendistorsikan pun bisa memberikan informasi berguna—setidaknya tentang apa yang ingin dibuktikan masing-masing pihak sehingga kita tahu mana yang harus dibaca dengan kehati-hatian ekstra. Setelah menelaah karya Childers yang secara efektif membantah argumen Zionis bahwa orang Palestina diperintahkan meninggalkan tempat tinggal lewat siaran radio, sejarawan masa depan dapat lebih kritis terhadap sumber-sumber Zionis dan lebih waspada terhadap unsur propaganda di dalamnya.

Seperti telah ditunjukkan, eksodus Palestina adalah peristiwa kompleks yang tidak bisa dijawab dengan jawaban sederhana. Beragam faktor dan varian eksodus telah dikaji, namun jelas masih banyak data rinci yang belum muncul ke permukaan. Memoar Rabin, misalnya, memperkuat penggambaran pengusiran Palestina dari Lydda dan Ramleh dan memperkokoh aspek kenyataan dalam posisi Arab yang sebelumnya mungkin dianggap hanya sebagian kebenaran.

Sialnya, berlanjutnya konflik Arab–Israel membuat pandangan sejarah tentang peristiwa 1948 tetap terdistorsi, karena setiap pihak segera memanfaatkan temuan sejarah yang menguntungkan posisinya. Ini tragis dengan dua alasan: dari sudut pandang ilmiah, sejarawan mendapat tekanan dan distorsi saat kondisi masa kini mempengaruhi penafsiran masa lalu; lebih penting lagi, kegagalan menyelesaikan konflik membuat tragedi berlanjut karena masa lalu terus dipakai untuk kepentingan masa kini. Selama para protagonis tidak dapat melepaskan diri dari beban sejarah ini, rakyat Palestina terus menderita dalam pengasingan dan Israel akan terus dipandang sebagai entitas asing di Timur Tengah yang harus dinetralisasi.

Secara paling sederhana, dan mungkin paling kasat, eksodus Palestina adalah akibat berdirinya negara Zionis dan konsekuensi yang melekat padanya. Ketidakmampuan Zionis untuk membayangkan tempat bagi penduduk Arab asli, pandangan yang mereduksi “orang Arab” menjadi musuh tunggal yang tak dapat didamaikan, serta cita-cita membentuk negara yang “sedemikian Yahudi” menghasilkan anggapan bahwa penghilangan penduduk Palestina adalah hasil yang diinginkan dan layak dikejar, secara aktif maupun pasif. Keadilan dan kebijaksanaan menuntut agar Israel meninggalkan ideologi semacam ini dan berupaya memperbaiki masa lalu jika ingin diterima di kawasan. Harus jelas bagi Israel bahwa pembuatan faits accomplis pada akhirnya merugikan dirinya sendiri; perdamaian yang sejati hanya mungkin diperoleh lewat penyesuaian diri dengan lingkungan regional—dan itu hampir pasti mensyaratkan upaya memperbaiki ketidakadilan dan tragedi yang masih berlangsung sebagai warisan dari eksodus Palestina 1948.


Beberapa bagian dari Terjemahan di-generate menggunakan Artificial Intelligence secara otomatis, dan belum melalui proses pengeditan

Untuk Teks dari Buku Berbahasa Indonesia atau Inggris, banyak bagian yang merupakan hasil OCR dan belum diedit


Belum ada terjemahan untuk halaman ini atau ada terjemahan yang kurang tepat ?

« Sebelumnya Halaman 14 dari 14 Berikutnya » Daftar Isi