Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Bagi seorang sejarawan yang meneliti persoalan ini demi pengetahuan sejarah, dan bukan untuk kepentingan propaganda, sangat penting memahami bias yang melekat pada topik ini serta menyusun kriteria untuk memilah mana yang benar-benar bermanfaat bagi sejarah dan mana yang bersifat insidental atau tidak relevan.
Selain kenyataan bahwa sebagian besar tulisan tentang topik ini memang mengandung bias, ada faktor lain yang juga harus dikenali agar pemahaman terhadap karya-karya tersebut menjadi lebih baik.
Pertama adalah persoalan istilah. Marc Bloch dan E.H. Carr berpendapat bahwa penggunaan kata-kata saja sudah cukup untuk menghilangkan netralitas penulis dan memaksanya berpihak. [3] Apa yang dianggap sebagai “pembebasan” oleh satu pihak bisa dipandang sebagai “penaklukan” oleh pihak lain. Israel berbicara tentang “invasi ke negara mereka” oleh tentara Arab, sementara dari sudut pandang Arab, tentara itu datang untuk “menyelamatkan Palestina dan penduduknya dari agresi Zionis dan mengembalikan perdamaian.” Dalam membicarakan para pengungsi, istilah “pengusiran” sering dipakai. Apakah ini berarti pasukan Zionis secara langsung memaksa penduduk untuk pergi, atau cukup terbukti bahwa aktivitas mereka menimbulkan teror yang membuat penduduk Arab lari massal? Setiap sejarawan harus memutuskan sendiri, tetapi penting untuk menyadari bagaimana satu istilah bisa digunakan secara berbeda. [4]
Lebih mengejutkan lagi, sumber yang sama bisa digunakan untuk membuktikan poin yang saling bertolak belakang. Misalnya, Marie Syrkin, seorang penulis Zionis, mengutip artikel di surat kabar al-Shaab pada 30 Januari 1948 yang mengkritik orang-orang Arab kaya yang pergi sebagai bukti bahwa mereka meninggalkan rumah dengan keyakinan akan kemenangan Arab. Artikel ini dan sejenisnya juga digunakan oleh penulis lain untuk membuktikan bahwa rakyat Arab justru didorong untuk tetap tinggal, bahkan pada fase awal tersebut. [5] Banyak kutipan juga bisa diambil di luar konteks untuk mendukung argumen tertentu yang ingin ditegaskan penulis.
Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah peran para pihak terkait, yang memperlihatkan keunikan fenomena ini. Orang-orang Palestina yang meninggalkan rumah mereka pada 1948 sering disebut sebagai “pengungsi.” Istilah ini biasanya berarti warga sipil yang meninggalkan rumahnya saat perang. Namun yang unik dari para “pengungsi” ini adalah mereka tidak ingin meninggalkan rumah dan selama 31 tahun menolak setiap penyelesaian yang tidak mencakup hak kembali. Orang Jerman yang melarikan diri dari Uni Soviet setelah Perang Dunia II, umat Hindu dan Muslim yang berpindah antara India dan Pakistan pada 1947, serta orang Yahudi yang meninggalkan negara-negara Arab setelah 1948 tidak ada yang ingin kembali ke negara asal mereka. Orang Palestina hanya ingin kembali. Selain itu, apa pun penyebab awal eksodus, sejak Agustus 1948 pemerintah Israel secara resmi menolak memberikan hak kembali. Maka ketika kita menggunakan istilah “pengungsi,” harus dipahami bahwa istilah ini tidak dipakai dalam arti tradisional.
Pengamatan lain yang sering disebut adalah bahwa ketika warga sipil Arab lari, warga sipil Zionis tetap bertahan di rumah mereka. Propaganda Zionis mengeksploitasi hal ini untuk menunjukkan komitmen mereka yang lebih kuat terhadap tanah tersebut. Opini publik Israel juga menegaskan bahwa karena orang Arab berencana membantai orang Yahudi, maka ketika orang Yahudi mulai memenangkan perang, orang Arab lari karena takut mengalami nasib serupa. Namun analisis lebih dalam menunjukkan posisi ini hanyalah mitos. Bukan hal aneh bila penduduk sipil meninggalkan rumah mereka sementara waktu saat perang, apalagi jika diserang oleh kekuatan bersenjata yang lebih kuat. Itu adalah pola umum dalam perang. Yang unik justru adalah keteguhan Zionis dalam mempertahankan permukimannya, tanpa peduli risiko, karena keyakinan bahwa satu-satunya pilihan adalah bertahan sampai akhir. Konsep *eyn breira*—tidak ada alternatif—memberi hasil yang mungkin secara strategi tidak masuk akal, tetapi mengangkat moral. Rasa keputusasaan ini sudah lama menjadi bagian dari karakter komunitas Zionis. Dengan demikian, perilaku warga sipil Zionis justru tidak biasa, karena mereka tidak mengikuti pola umum warga sipil pada masa perang. [6]
Dengan menyadari hal-hal tersebut, tujuh kriteria akan diajukan untuk menilai bahan sejarah terkait eksodus Palestina. Upaya untuk bersikap netral tetap dilakukan, tetapi disadari bahwa dalam memilih kriteria saja sudah ada unsur subjektif. Selain itu, bila sebuah karya sejarah tidak membahas semua poin, itu tidak berarti karya tersebut tidak bernilai, karena mungkin memang tidak dirancang untuk menyeluruh. [7] Bahkan karya yang mengabaikan sebagian besar kriteria bisa tetap berisi fakta penting, meskipun tidak menawarkan gagasan baru. Tujuh kriteria ini dimaksudkan sebagai panduan umum untuk mengevaluasi literatur tentang topik ini, membedakan karya yang paling bernilai, serta mengidentifikasi bagian-bagian kunci dari masalah sejarah yang harus diperhatikan untuk memahami eksodus Palestina tahun 1948.
[3] Marc Bloch, *The Historian's Craft* (New York: Vintage Books, 1953), hlm. 158 dst., dan E.H. Carr, *What Is History?* (New York: Vintage Books, 1961), hlm. 28.
[4] Dalam tulisan ini, istilah “pengusiran” dibatasi pada kasus-kasus di mana penduduk benar-benar dipaksa keluar dari rumahnya. Untuk kasus yang lebih sering, di mana metode tidak langsung digunakan, akan disebut secara berbeda. Namun tujuan akhirnya sama: menghilangkan penduduk Arab asli, dan itu dilakukan oleh Zionis, bukan Arab.
[5] Artikel al-Shaab (30 Januari 1948) dan artikel lain di al-Sarib (30 Maret 1948) dikutip dalam Marie Syrkin, “The Arab Refugees: A Zionist View,” *Commentary*, Vol. 41, No. 1 (1966), hlm. 23. Erskine Childers menyatakan bahwa artikel-artikel ini tipikal seruan Arab agar rakyat tidak pergi serta mengecam mereka yang melakukannya. Lihat Erskine Childers, “The Wordless Wish: From Citizens To Refugees,” dalam *The Transformation of Palestine*, ed. Ibrahim Abu-Lughod (Evanston: Northwestern University Press, 1971), hlm. 181.
[6] Lihat Uri Avnery, *Israel Without Zionism: A Plan for Peace in the Middle East* (New York: Collier Books, 1971), hlm. 226. Fakta bahwa Zionis menjalankan perang total dengan mobilisasi penuh rakyat sipil, sementara penduduk sipil Arab tidak, juga dicatat oleh Musa Alami, “The Lesson of Palestine,” *Middle East Journal*, Vol. III, No. 4 (1949), hlm. 380.
[7] Contoh: Nafez Nazzal, *The Flight of the Palestinian Arabs from the Galilee 1948: An Historical Analysis* (Disertasi Ph.D., Georgetown University, 1974). Karya ini tidak membahas semua lokasi geografis eksodus karena hanya fokus pada wilayah Galilea.
id) oleh admin pada 20 September 2025 - 05:07:24.Bagi seorang sejarawan yang meneliti persoalan ini demi pengetahuan sejarah, dan bukan untuk kepentingan propaganda, sangat penting memahami bias yang melekat pada topik ini serta menyusun kriteria untuk memilah mana yang benar-benar bermanfaat bagi sejarah dan mana yang bersifat insidental atau tidak relevan.
Selain kenyataan bahwa sebagian besar tulisan tentang topik ini memang mengandung bias, ada faktor lain yang juga harus dikenali agar pemahaman terhadap karya-karya tersebut menjadi lebih baik.
Pertama adalah persoalan istilah. Marc Bloch dan E.H. Carr berpendapat bahwa penggunaan kata-kata saja sudah cukup untuk menghilangkan netralitas penulis dan memaksanya berpihak. [3] Apa yang dianggap sebagai “pembebasan” oleh satu pihak bisa dipandang sebagai “penaklukan” oleh pihak lain. Israel berbicara tentang “invasi ke negara mereka” oleh tentara Arab, sementara dari sudut pandang Arab, tentara itu datang untuk “menyelamatkan Palestina dan penduduknya dari agresi Zionis dan mengembalikan perdamaian.” Dalam membicarakan para pengungsi, istilah “pengusiran” sering dipakai. Apakah ini berarti pasukan Zionis secara langsung memaksa penduduk untuk pergi, atau cukup terbukti bahwa aktivitas mereka menimbulkan teror yang membuat penduduk Arab lari massal? Setiap sejarawan harus memutuskan sendiri, tetapi penting untuk menyadari bagaimana satu istilah bisa digunakan secara berbeda. [4]
Lebih mengejutkan lagi, sumber yang sama bisa digunakan untuk membuktikan poin yang saling bertolak belakang. Misalnya, Marie Syrkin, seorang penulis Zionis, mengutip artikel di surat kabar al-Shaab pada 30 Januari 1948 yang mengkritik orang-orang Arab kaya yang pergi sebagai bukti bahwa mereka meninggalkan rumah dengan keyakinan akan kemenangan Arab. Artikel ini dan sejenisnya juga digunakan oleh penulis lain untuk membuktikan bahwa rakyat Arab justru didorong untuk tetap tinggal, bahkan pada fase awal tersebut. [5] Banyak kutipan juga bisa diambil di luar konteks untuk mendukung argumen tertentu yang ingin ditegaskan penulis.
Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah peran para pihak terkait, yang memperlihatkan keunikan fenomena ini. Orang-orang Palestina yang meninggalkan rumah mereka pada 1948 sering disebut sebagai “pengungsi.” Istilah ini biasanya berarti warga sipil yang meninggalkan rumahnya saat perang. Namun yang unik dari para “pengungsi” ini adalah mereka tidak ingin meninggalkan rumah dan selama 31 tahun menolak setiap penyelesaian yang tidak mencakup hak kembali. Orang Jerman yang melarikan diri dari Uni Soviet setelah Perang Dunia II, umat Hindu dan Muslim yang berpindah antara India dan Pakistan pada 1947, serta orang Yahudi yang meninggalkan negara-negara Arab setelah 1948 tidak ada yang ingin kembali ke negara asal mereka. Orang Palestina hanya ingin kembali. Selain itu, apa pun penyebab awal eksodus, sejak Agustus 1948 pemerintah Israel secara resmi menolak memberikan hak kembali. Maka ketika kita menggunakan istilah “pengungsi,” harus dipahami bahwa istilah ini tidak dipakai dalam arti tradisional.
Pengamatan lain yang sering disebut adalah bahwa ketika warga sipil Arab lari, warga sipil Zionis tetap bertahan di rumah mereka. Propaganda Zionis mengeksploitasi hal ini untuk menunjukkan komitmen mereka yang lebih kuat terhadap tanah tersebut. Opini publik Israel juga menegaskan bahwa karena orang Arab berencana membantai orang Yahudi, maka ketika orang Yahudi mulai memenangkan perang, orang Arab lari karena takut mengalami nasib serupa. Namun analisis lebih dalam menunjukkan posisi ini hanyalah mitos. Bukan hal aneh bila penduduk sipil meninggalkan rumah mereka sementara waktu saat perang, apalagi jika diserang oleh kekuatan bersenjata yang lebih kuat. Itu adalah pola umum dalam perang. Yang unik justru adalah keteguhan Zionis dalam mempertahankan permukimannya, tanpa peduli risiko, karena keyakinan bahwa satu-satunya pilihan adalah bertahan sampai akhir. Konsep *eyn breira*—tidak ada alternatif—memberi hasil yang mungkin secara strategi tidak masuk akal, tetapi mengangkat moral. Rasa keputusasaan ini sudah lama menjadi bagian dari karakter komunitas Zionis. Dengan demikian, perilaku warga sipil Zionis justru tidak biasa, karena mereka tidak mengikuti pola umum warga sipil pada masa perang. [6]
Dengan menyadari hal-hal tersebut, tujuh kriteria akan diajukan untuk menilai bahan sejarah terkait eksodus Palestina. Upaya untuk bersikap netral tetap dilakukan, tetapi disadari bahwa dalam memilih kriteria saja sudah ada unsur subjektif. Selain itu, bila sebuah karya sejarah tidak membahas semua poin, itu tidak berarti karya tersebut tidak bernilai, karena mungkin memang tidak dirancang untuk menyeluruh. [7] Bahkan karya yang mengabaikan sebagian besar kriteria bisa tetap berisi fakta penting, meskipun tidak menawarkan gagasan baru. Tujuh kriteria ini dimaksudkan sebagai panduan umum untuk mengevaluasi literatur tentang topik ini, membedakan karya yang paling bernilai, serta mengidentifikasi bagian-bagian kunci dari masalah sejarah yang harus diperhatikan untuk memahami eksodus Palestina tahun 1948.
[3] Marc Bloch, *The Historian's Craft* (New York: Vintage Books, 1953), hlm. 158 dst., dan E.H. Carr, *What Is History?* (New York: Vintage Books, 1961), hlm. 28.
[4] Dalam tulisan ini, istilah “pengusiran” dibatasi pada kasus-kasus di mana penduduk benar-benar dipaksa keluar dari rumahnya. Untuk kasus yang lebih sering, di mana metode tidak langsung digunakan, akan disebut secara berbeda. Namun tujuan akhirnya sama: menghilangkan penduduk Arab asli, dan itu dilakukan oleh Zionis, bukan Arab.
[5] Artikel al-Shaab (30 Januari 1948) dan artikel lain di al-Sarib (30 Maret 1948) dikutip dalam Marie Syrkin, “The Arab Refugees: A Zionist View,” *Commentary*, Vol. 41, No. 1 (1966), hlm. 23. Erskine Childers menyatakan bahwa artikel-artikel ini tipikal seruan Arab agar rakyat tidak pergi serta mengecam mereka yang melakukannya. Lihat Erskine Childers, “The Wordless Wish: From Citizens To Refugees,” dalam *The Transformation of Palestine*, ed. Ibrahim Abu-Lughod (Evanston: Northwestern University Press, 1971), hlm. 181.
[6] Lihat Uri Avnery, *Israel Without Zionism: A Plan for Peace in the Middle East* (New York: Collier Books, 1971), hlm. 226. Fakta bahwa Zionis menjalankan perang total dengan mobilisasi penuh rakyat sipil, sementara penduduk sipil Arab tidak, juga dicatat oleh Musa Alami, “The Lesson of Palestine,” *Middle East Journal*, Vol. III, No. 4 (1949), hlm. 380.
[7] Contoh: Nafez Nazzal, *The Flight of the Palestinian Arabs from the Galilee 1948: An Historical Analysis* (Disertasi Ph.D., Georgetown University, 1974). Karya ini tidak membahas semua lokasi geografis eksodus karena hanya fokus pada wilayah Galilea.
| ID | Waktu | Bahasa | Penerjemah | Status | Aksi |
|---|---|---|---|---|---|
| #2 | 20 Sep 2025, 05:07:24 | id | admin | Tervalidasi | — |
Bagi seorang sejarawan yang meneliti persoalan ini demi pengetahuan sejarah, dan bukan untuk kepentingan propaganda, sangat penting memahami bias yang melekat pada topik ini serta menyusun kriteria untuk memilah mana yang benar-benar bermanfaat bagi sejarah dan mana yang bersifat insidental atau tidak relevan. Selain kenyataan bahwa sebagian besar tulisan tentang topik ini memang mengandung bias, ada faktor lain yang juga harus dikenali agar pemahaman terhadap karya-karya tersebut menjadi lebih baik. Pertama adalah persoalan istilah. Marc Bloch dan E.H. Carr berpendapat bahwa penggunaan kata-kata saja sudah cukup untuk menghilangkan netralitas penulis dan memaksanya berpihak. [3] Apa yang dianggap sebagai “pembebasan” oleh satu pihak bisa dipandang sebagai “penaklukan” oleh pihak lain. Israel berbicara tentang “invasi ke negara mereka” oleh tentara Arab, sementara dari sudut pandang Arab, tentara itu datang untuk “menyelamatkan Palestina dan penduduknya dari agresi Zionis dan mengembalikan perdamaian.” Dalam membicarakan para pengungsi, istilah “pengusiran” sering dipakai. Apakah ini berarti pasukan Zionis secara langsung memaksa penduduk untuk pergi, atau cukup terbukti bahwa aktivitas mereka menimbulkan teror yang membuat penduduk Arab lari massal? Setiap sejarawan harus memutuskan sendiri, tetapi penting untuk menyadari bagaimana satu istilah bisa digunakan secara berbeda. [4] Lebih mengejutkan lagi, sumber yang sama bisa digunakan untuk membuktikan poin yang saling bertolak belakang. Misalnya, Marie Syrkin, seorang penulis Zionis, mengutip artikel di surat kabar al-Shaab pada 30 Januari 1948 yang mengkritik orang-orang Arab kaya yang pergi sebagai bukti bahwa mereka meninggalkan rumah dengan keyakinan akan kemenangan Arab. Artikel ini dan sejenisnya juga digunakan oleh penulis lain untuk membuktikan bahwa rakyat Arab justru didorong untuk tetap tinggal, bahkan pada fase awal tersebut. [5] Banyak kutipan juga bisa diambil di luar konteks untuk mendukung argumen tertentu yang ingin ditegaskan penulis. Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah peran para pihak terkait, yang memperlihatkan keunikan fenomena ini. Orang-orang Palestina yang meninggalkan rumah mereka pada 1948 sering disebut sebagai “pengungsi.” Istilah ini biasanya berarti warga sipil yang meninggalkan rumahnya saat perang. Namun yang unik dari para “pengungsi” ini adalah mereka tidak ingin meninggalkan rumah dan selama 31 tahun menolak setiap penyelesaian yang tidak mencakup hak kembali. Orang Jerman yang melarikan diri dari Uni Soviet setelah Perang Dunia II, umat Hindu dan Muslim yang berpindah antara India dan Pakistan pada 1947, serta orang Yahudi yang meninggalkan negara-negara Arab setelah 1948 tidak ada yang ingin kembali ke negara asal mereka. Orang Palestina hanya ingin kembali. Selain itu, apa pun penyebab awal eksodus, sejak Agustus 1948 pemerintah Israel secara resmi menolak memberikan hak kembali. Maka ketika kita menggunakan istilah “pengungsi,” harus dipahami bahwa istilah ini tidak dipakai dalam arti tradisional. Pengamatan lain yang sering disebut adalah bahwa ketika warga sipil Arab lari, warga sipil Zionis tetap bertahan di rumah mereka. Propaganda Zionis mengeksploitasi hal ini untuk menunjukkan komitmen mereka yang lebih kuat terhadap tanah tersebut. Opini publik Israel juga menegaskan bahwa karena orang Arab berencana membantai orang Yahudi, maka ketika orang Yahudi mulai memenangkan perang, orang Arab lari karena takut mengalami nasib serupa. Namun analisis lebih dalam menunjukkan posisi ini hanyalah mitos. Bukan hal aneh bila penduduk sipil meninggalkan rumah mereka sementara waktu saat perang, apalagi jika diserang oleh kekuatan bersenjata yang lebih kuat. Itu adalah pola umum dalam perang. Yang unik justru adalah keteguhan Zionis dalam mempertahankan permukimannya, tanpa peduli risiko, karena keyakinan bahwa satu-satunya pilihan adalah bertahan sampai akhir. Konsep *eyn breira*—tidak ada alternatif—memberi hasil yang mungkin secara strategi tidak masuk akal, tetapi mengangkat moral. Rasa keputusasaan ini sudah lama menjadi bagian dari karakter komunitas Zionis. Dengan demikian, perilaku warga sipil Zionis justru tidak biasa, karena mereka tidak mengikuti pola umum warga sipil pada masa perang. [6] Dengan menyadari hal-hal tersebut, tujuh kriteria akan diajukan untuk menilai bahan sejarah terkait eksodus Palestina. Upaya untuk bersikap netral tetap dilakukan, tetapi disadari bahwa dalam memilih kriteria saja sudah ada unsur subjektif. Selain itu, bila sebuah karya sejarah tidak membahas semua poin, itu tidak berarti karya tersebut tidak bernilai, karena mungkin memang tidak dirancang untuk menyeluruh. [7] Bahkan karya yang mengabaikan sebagian besar kriteria bisa tetap berisi fakta penting, meskipun tidak menawarkan gagasan baru. Tujuh kriteria ini dimaksudkan sebagai panduan umum untuk mengevaluasi literatur tentang topik ini, membedakan karya yang paling bernilai, serta mengidentifikasi bagian-bagian kunci dari masalah sejarah yang harus diperhatikan untuk memahami eksodus Palestina tahun 1948. [3] Marc Bloch, *The Historian's Craft* (New York: Vintage Books, 1953), hlm. 158 dst., dan E.H. Carr, *What Is History?* (New York: Vintage Books, 1961), hlm. 28. | |||||