Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Ada beberapa bukti positif yang mendukung klaim Zionis, meskipun jumlahnya tidak banyak. Zionis berpendapat bahwa mereka telah berusaha membujuk orang Arab agar tetap tinggal melalui siaran radio dan bahkan penyebaran selebaran ke desa-desa pada fase awal perang. [16] Upaya Zionis untuk meyakinkan penduduk Arab di Haifa dan Zichron Ya’akov agar tetap tinggal juga dilakukan, karena tenaga kerja Arab dianggap penting untuk menjaga perekonomian di daerah tersebut. [17]
Menariknya, beberapa bukti terkuat yang mendukung posisi Arab justru datang dari sumber-sumber Zionis Israel sendiri. Hal ini lebih mudah dipahami jika kita melihat siapa audiens yang dituju. Penulis pro-Zionis di Barat menyasar publik pembaca yang acuh atau bahkan bermusuhan, sehingga mereka tidak akan memberikan bukti yang bisa merugikan posisi mereka. Sementara buku-buku yang diterbitkan di Israel, ditulis dalam bahasa Ibrani, lebih ditujukan kepada audiens domestik dan cenderung lebih blak-blakan.
Contohnya, Yigal Allon, mantan komandan Palmach, menggambarkan rencana untuk memaksa eksodus orang Arab Galilea:
“Pertempuran panjang telah melemahkan pasukan kami dan di depan kami ada tugas besar untuk memblokir jalur invasi Arab. Karena itu kami mencari cara yang tidak memaksa kami menggunakan kekuatan, untuk membuat puluhan ribu orang Arab muram yang masih tinggal di Galilea melarikan diri, karena jika terjadi invasi Arab mereka mungkin akan menyerang kami dari belakang.
Saya mengumpulkan semua mukhtar Yahudi yang punya kontak dengan orang Arab di berbagai desa, dan meminta mereka membisikkan kepada sebagian orang Arab bahwa pasukan besar Yahudi telah tiba di Galilea dan akan membakar semua desa di Huleh. Mereka harus menyarankan kepada orang-orang Arab ini, sebagai teman, untuk melarikan diri selagi masih ada waktu.” [18]
Lebih baru, Yitzhak Rabin dalam memoarnya menggambarkan penaklukan Israel atas Lod (Lydda):
“Kami berjalan keluar, Ben-Gurion mendampingi kami. Allon mengulang pertanyaannya: ‘Apa yang harus dilakukan dengan penduduk?’ B.G. mengibaskan tangannya dengan isyarat yang artinya ‘Usir mereka!’
Allon dan saya berdiskusi. Saya setuju bahwa penting untuk mengusir penduduk. Kami mengiring mereka berjalan kaki menuju jalan Bet Horon, dengan perkiraan bahwa legion harus mengurus mereka, sehingga menanggung beban logistik yang akan melemahkan kemampuan tempurnya dan memudahkan kami.... Penduduk Lod tidak pergi dengan sukarela. Tidak ada cara lain selain menggunakan kekerasan dan tembakan peringatan untuk memaksa mereka berjalan sejauh 10 hingga 15 mil ke titik di mana mereka bertemu dengan legion.” [19]
Menilai sumber-sumber ini dari isinya—apakah menghadirkan bukti positif, bukan sekadar membantah bukti lain, dan apakah kutipan sesuai dengan maksud sumber aslinya—kita menemukan lebih banyak materi yang mendukung pandangan sejarah Palestina daripada pandangan Zionis. Tentu setiap sejarawan harus menimbang bukti-bukti ini dengan standar mereka masing-masing, tetapi secara umum dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber tersebut lebih kuat mendukung teori bahwa orang Palestina dipaksa pergi, baik secara langsung maupun tidak langsung, daripada klaim Zionis bahwa eksodus terjadi karena perintah pemimpin Arab.
Penjelajahan yang lebih terperinci akan dilakukan pada bagian berikutnya, yang menyajikan tesis bahwa eksodus harus dipandang dalam tiga fase berbeda, masing-masing dengan faktor dan motivasi yang berbeda pula.
[17] David Cairnes, surat kepada redaksi, *The Spectator*, No. 6940, 30 Juni 1961, hlm. 950. Klaim Zionis banyak bertumpu pada peristiwa di Haifa. Seruan dramatis wali kota Yahudi agar penduduk tetap tinggal sering dikutip sebagai bukti niat baik Zionis. Meski seruan itu mungkin tulus, tampaknya hal tersebut tidak mewakili keseluruhan Palestina, dan harus dilihat dalam konteks pertempuran Haifa. Lihat Childers, “The Wordless Wish,” hlm. 190.
[18] Yigal Allon dikutip dalam Walid Khalidi, “Plan Dalet - The Zionist Master Plan for the Conquest of Palestine,” *Middle East Forum*, Vol. XXXVII, No. 9 (1961), hlm. 28, dan Childers, “The Wordless Wish,” hlm. 192.
[19] Bagian memoar Rabin ini, yang disensor dalam edisi resmi, diterbitkan di *New York Times* (23 Oktober 1979) dan dicetak ulang dalam *Palestine Perspectives*, Vol. 2, No. 6 (Oktober 1979), hlm. 11.
id) oleh admin pada 20 September 2025 - 05:10:09.Ada beberapa bukti positif yang mendukung klaim Zionis, meskipun jumlahnya tidak banyak. Zionis berpendapat bahwa mereka telah berusaha membujuk orang Arab agar tetap tinggal melalui siaran radio dan bahkan penyebaran selebaran ke desa-desa pada fase awal perang. [16] Upaya Zionis untuk meyakinkan penduduk Arab di Haifa dan Zichron Ya’akov agar tetap tinggal juga dilakukan, karena tenaga kerja Arab dianggap penting untuk menjaga perekonomian di daerah tersebut. [17]
Menariknya, beberapa bukti terkuat yang mendukung posisi Arab justru datang dari sumber-sumber Zionis Israel sendiri. Hal ini lebih mudah dipahami jika kita melihat siapa audiens yang dituju. Penulis pro-Zionis di Barat menyasar publik pembaca yang acuh atau bahkan bermusuhan, sehingga mereka tidak akan memberikan bukti yang bisa merugikan posisi mereka. Sementara buku-buku yang diterbitkan di Israel, ditulis dalam bahasa Ibrani, lebih ditujukan kepada audiens domestik dan cenderung lebih blak-blakan.
Contohnya, Yigal Allon, mantan komandan Palmach, menggambarkan rencana untuk memaksa eksodus orang Arab Galilea:
“Pertempuran panjang telah melemahkan pasukan kami dan di depan kami ada tugas besar untuk memblokir jalur invasi Arab. Karena itu kami mencari cara yang tidak memaksa kami menggunakan kekuatan, untuk membuat puluhan ribu orang Arab muram yang masih tinggal di Galilea melarikan diri, karena jika terjadi invasi Arab mereka mungkin akan menyerang kami dari belakang.
Saya mengumpulkan semua mukhtar Yahudi yang punya kontak dengan orang Arab di berbagai desa, dan meminta mereka membisikkan kepada sebagian orang Arab bahwa pasukan besar Yahudi telah tiba di Galilea dan akan membakar semua desa di Huleh. Mereka harus menyarankan kepada orang-orang Arab ini, sebagai teman, untuk melarikan diri selagi masih ada waktu.” [18]
Lebih baru, Yitzhak Rabin dalam memoarnya menggambarkan penaklukan Israel atas Lod (Lydda):
“Kami berjalan keluar, Ben-Gurion mendampingi kami. Allon mengulang pertanyaannya: ‘Apa yang harus dilakukan dengan penduduk?’ B.G. mengibaskan tangannya dengan isyarat yang artinya ‘Usir mereka!’
Allon dan saya berdiskusi. Saya setuju bahwa penting untuk mengusir penduduk. Kami mengiring mereka berjalan kaki menuju jalan Bet Horon, dengan perkiraan bahwa legion harus mengurus mereka, sehingga menanggung beban logistik yang akan melemahkan kemampuan tempurnya dan memudahkan kami.... Penduduk Lod tidak pergi dengan sukarela. Tidak ada cara lain selain menggunakan kekerasan dan tembakan peringatan untuk memaksa mereka berjalan sejauh 10 hingga 15 mil ke titik di mana mereka bertemu dengan legion.” [19]
Menilai sumber-sumber ini dari isinya—apakah menghadirkan bukti positif, bukan sekadar membantah bukti lain, dan apakah kutipan sesuai dengan maksud sumber aslinya—kita menemukan lebih banyak materi yang mendukung pandangan sejarah Palestina daripada pandangan Zionis. Tentu setiap sejarawan harus menimbang bukti-bukti ini dengan standar mereka masing-masing, tetapi secara umum dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber tersebut lebih kuat mendukung teori bahwa orang Palestina dipaksa pergi, baik secara langsung maupun tidak langsung, daripada klaim Zionis bahwa eksodus terjadi karena perintah pemimpin Arab.
Penjelajahan yang lebih terperinci akan dilakukan pada bagian berikutnya, yang menyajikan tesis bahwa eksodus harus dipandang dalam tiga fase berbeda, masing-masing dengan faktor dan motivasi yang berbeda pula.
[17] David Cairnes, surat kepada redaksi, *The Spectator*, No. 6940, 30 Juni 1961, hlm. 950. Klaim Zionis banyak bertumpu pada peristiwa di Haifa. Seruan dramatis wali kota Yahudi agar penduduk tetap tinggal sering dikutip sebagai bukti niat baik Zionis. Meski seruan itu mungkin tulus, tampaknya hal tersebut tidak mewakili keseluruhan Palestina, dan harus dilihat dalam konteks pertempuran Haifa. Lihat Childers, “The Wordless Wish,” hlm. 190.
[18] Yigal Allon dikutip dalam Walid Khalidi, “Plan Dalet - The Zionist Master Plan for the Conquest of Palestine,” *Middle East Forum*, Vol. XXXVII, No. 9 (1961), hlm. 28, dan Childers, “The Wordless Wish,” hlm. 192.
[19] Bagian memoar Rabin ini, yang disensor dalam edisi resmi, diterbitkan di *New York Times* (23 Oktober 1979) dan dicetak ulang dalam *Palestine Perspectives*, Vol. 2, No. 6 (Oktober 1979), hlm. 11.
| ID | Waktu | Bahasa | Penerjemah | Status | Aksi |
|---|---|---|---|---|---|
| #4 | 20 Sep 2025, 05:10:09 | id | admin | Tervalidasi | — |
Ada beberapa bukti positif yang mendukung klaim Zionis, meskipun jumlahnya tidak banyak. Zionis berpendapat bahwa mereka telah berusaha membujuk orang Arab agar tetap tinggal melalui siaran radio dan bahkan penyebaran selebaran ke desa-desa pada fase awal perang. [16] Upaya Zionis untuk meyakinkan penduduk Arab di Haifa dan Zichron Ya’akov agar tetap tinggal juga dilakukan, karena tenaga kerja Arab dianggap penting untuk menjaga perekonomian di daerah tersebut. [17] Menariknya, beberapa bukti terkuat yang mendukung posisi Arab justru datang dari sumber-sumber Zionis Israel sendiri. Hal ini lebih mudah dipahami jika kita melihat siapa audiens yang dituju. Penulis pro-Zionis di Barat menyasar publik pembaca yang acuh atau bahkan bermusuhan, sehingga mereka tidak akan memberikan bukti yang bisa merugikan posisi mereka. Sementara buku-buku yang diterbitkan di Israel, ditulis dalam bahasa Ibrani, lebih ditujukan kepada audiens domestik dan cenderung lebih blak-blakan. Contohnya, Yigal Allon, mantan komandan Palmach, menggambarkan rencana untuk memaksa eksodus orang Arab Galilea: “Pertempuran panjang telah melemahkan pasukan kami dan di depan kami ada tugas besar untuk memblokir jalur invasi Arab. Karena itu kami mencari cara yang tidak memaksa kami menggunakan kekuatan, untuk membuat puluhan ribu orang Arab muram yang masih tinggal di Galilea melarikan diri, karena jika terjadi invasi Arab mereka mungkin akan menyerang kami dari belakang. Saya mengumpulkan semua mukhtar Yahudi yang punya kontak dengan orang Arab di berbagai desa, dan meminta mereka membisikkan kepada sebagian orang Arab bahwa pasukan besar Yahudi telah tiba di Galilea dan akan membakar semua desa di Huleh. Mereka harus menyarankan kepada orang-orang Arab ini, sebagai teman, untuk melarikan diri selagi masih ada waktu.” [18] Lebih baru, Yitzhak Rabin dalam memoarnya menggambarkan penaklukan Israel atas Lod (Lydda): “Kami berjalan keluar, Ben-Gurion mendampingi kami. Allon mengulang pertanyaannya: ‘Apa yang harus dilakukan dengan penduduk?’ B.G. mengibaskan tangannya dengan isyarat yang artinya ‘Usir mereka!’ Allon dan saya berdiskusi. Saya setuju bahwa penting untuk mengusir penduduk. Kami mengiring mereka berjalan kaki menuju jalan Bet Horon, dengan perkiraan bahwa legion harus mengurus mereka, sehingga menanggung beban logistik yang akan melemahkan kemampuan tempurnya dan memudahkan kami.... Penduduk Lod tidak pergi dengan sukarela. Tidak ada cara lain selain menggunakan kekerasan dan tembakan peringatan untuk memaksa mereka berjalan sejauh 10 hingga 15 mil ke titik di mana mereka bertemu dengan legion.” [19] Menilai sumber-sumber ini dari isinya—apakah menghadirkan bukti positif, bukan sekadar membantah bukti lain, dan apakah kutipan sesuai dengan maksud sumber aslinya—kita menemukan lebih banyak materi yang mendukung pandangan sejarah Palestina daripada pandangan Zionis. Tentu setiap sejarawan harus menimbang bukti-bukti ini dengan standar mereka masing-masing, tetapi secara umum dapat disimpulkan bahwa sumber-sumber tersebut lebih kuat mendukung teori bahwa orang Palestina dipaksa pergi, baik secara langsung maupun tidak langsung, daripada klaim Zionis bahwa eksodus terjadi karena perintah pemimpin Arab. Penjelajahan yang lebih terperinci akan dilakukan pada bagian berikutnya, yang menyajikan tesis bahwa eksodus harus dipandang dalam tiga fase berbeda, masing-masing dengan faktor dan motivasi yang berbeda pula. [17] David Cairnes, surat kepada redaksi, *The Spectator*, No. 6940, 30 Juni 1961, hlm. 950. Klaim Zionis banyak bertumpu pada peristiwa di Haifa. Seruan dramatis wali kota Yahudi agar penduduk tetap tinggal sering dikutip sebagai bukti niat baik Zionis. Meski seruan itu mungkin tulus, tampaknya hal tersebut tidak mewakili keseluruhan Palestina, dan harus dilihat dalam konteks pertempuran Haifa. Lihat Childers, “The Wordless Wish,” hlm. 190. | |||||