البقرة ١٢
[Ensiklopedi Al Quran] Al Baqarah ayat 12 (1) : alaa innahum humu al mufsiduu
Alih Bahasa dan Kompilasi : Reza Ervani bin Asmanu
بسم الله الرحمن الرحيم
Al Baqarah ayat 12 adalah lanjutan serial Ensiklopedi Al Quran
أَلَا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَٰكِن لَّا يَشْعُرُونَ
أَلَا : للتنبيه.
alaa (Ingatlah). Untuk Tanbih (perhatian/peringatan)
إِنَّهُمْ : إن للتوكيد.
Innahum (sesungguhnya mereka). Inna untuk at Taukid (penegasan)
هُمُ : ضمير منفصل, يدل على المبالغة؛ أي: قصر الفساد عليهم مبالغة؛ أي: هم أولى يطلق عليهم هذا الاسم من غيرهم.
Humu (mereka). Dhamir Munfashil (kata ganti yang ditulis terpisah). Menunjukkan makna mubalaghah (penekanan atau penguatan). artinya, pembenaran terhadap tingkat kejahatan yang melekat pada mereka; artinya, mereka lebih layak disebut dengan nama ini daripada yang lainnya.
الْمُفْسِدُونَ : جملة اسمية, تفيد الثبوت, ثبوت صفة الفساد لهم, في الأرض.
Al Mufsiduun (para pembuat kerusakan). Jumlah Ismiyah (frasa nominal) yang menunjukkan keberadaan, yaitu keberadaan sifat kerusakan yang mereka buat di bumi.
وَلَٰكِن : حرف إدراك؛ وتوكيد.
wa lakin (akan tetapi). Huruf Idrak (Partikel untuk penolakan) dan at Taukid (penegasan).
لَّا : لا النافية.
Laa (Tidak). Laa Nafiyah (penegasian/bentuk negatif)
لَّا يَشْعُرُونَ : يشعرون: ارجع إلئ الآية (٩) من نفس السورة؛ نفى عنهم الشعور, والإحساس بالفساد؛ لأنّ حواسهم معطلة
Laa yas’uruun (Mereka tidak menyadari). Lihat kembali pembahasan ayat 9 yang telah lalu, yakni mereka tidak merasakan atau tidak memiliki kesadaran terhadap kejahatan, karena indera mereka telah mati.
وَالصَّلَاحُ ضِدُّ الْفَسَادِ. لِمَا نَهَاهُمُ اللَّهُ عَنِ الْفَسَادِ الَّذِي هُوَ دَأْبُهُمْ أَجَابُوا بِهَذِهِ الدَّعْوَى الْعَرِيضَةِ، وَنَقَلُوا أَنْفُسَهُمْ مِنَ الِاتِّصَافِ بِمَا هِيَ عَلَيْهِ حَقِيقَةً وَهُوَ الْفَسَادُ، إِلَى الِاتِّصَافِ بِمَا هُوَ ضِدٌّ لِذَلِكَ وَهُوَ الصَّلَاحُ، وَلَمْ يَقِفُوا عِنْدَ هَذَا الْكَذِبِ الْبَحْتِ وَالزُّورِ الْمَحْضِ، حَتَّى جَعَلُوا صِفَةَ الصَّلَاحِ مُخْتَصَّةً بِهِمْ خَالِصَةً لَهُمْ،
Ash Shalah (Kebaikan) adalah lawan dari al Fasad (Kerusakan). Ketika Allah Ta’ala melarang mereka berbuat kerusakan yang merupakan karakter mereka, mereka malah menjawab dengan jawaban aneh tersebut, yakni mengalihkan status mereka, dari karakter sesungguhnya, yakni al Fasad (pembuat kerusakan), kepada status sebaliknya yakni As Shalah (pembuat perbaikan). Bahkan mereka tidak berhenti dari kebohongan yang jelas dan kepalsuan yang nyata tersebut, sehingga meng-klaim bahwa melakukan perbaikan adalah sifat yang khusus bagi mereka sendiri.
فَرَدَّ اللَّهُ عَلَيْهِمْ ذَلِكَ أَبْلَغَ رَدٍّ لِمَا يُفِيدُهُ حَرْفُ التَّنْبِيهِ مِنْ تَحَقُّقِ مَا بَعْدَهُ، وَلِمَا فِي إِنَّ مِنَ التَّأْكِيدِ، وَمَا فِي تَعْرِيفِ الْخَبَرِ مَعَ تَوْسِيطِ ضَمِيرِ الْفَصْلِ مِنَ الْحَصْرِ الْمُبَالَغِ فِيهِ بِالْجَمْعِ بَيْنَ أَمْرَيْنِ مِنَ الْأُمُورِ الْمُفِيدَةِ لَهُ،
Maka Allah Ta’ala membantah mereka dengan bantahan yang telak. dengan menggunakan huruf tanbih alaa (ألا) untuk menunjukkan bahwa apa yang dinyatakan setelahnya itulah yang sebenarnya, juga menambahkan partikel إنّ sebagai penegasan akan hal tersebut. Juga digunakan khabar dalam bentuk ma’rifah (definite – المفسدون) dengan menyelipkan dhamir pemisah sebagai bentuk penguatan yang mengumpulkan dua perkara yang dipisahkan oleh dhamir tersebut (yakni innahum dan mufsiduuna : sungguh mereka, merekalah para perusak)
وَرَدَّهُمْ إِلَى صفة الفساد التي هم مُتَّصِفُونَ بِهَا فِي الْحَقِيقَةِ رَدًّا مُؤَكَّدًا مُبَالَغًا فِيهِ بِزِيَادَةٍ عَلَى مَا تَضَمَّنَتْهُ دَعْوَاهُمُ الْكَاذِبَةُ مِنْ مُجَرَّدِ الْحَصْرِ الْمُسْتَفَادِ مِنْ إِنَّمَا.
Dan Allah Ta’ala mengembalikan mereka ke sifat al Fasad yang merupakan karakter mereka yang sesungguhnya dengan bantahan yang keras dan tegas, dengan menambahkan tanda tentang kebohongan pernyataan mereka, yang bisa kita dapatkan pada keberadaan kata innama (إِنَّمَا) di ayat sebelumnya.
وَأَمَّا نَفْيُ الشُّعُورِ عَنْهُمْ فَيُحْتَمَلُ أَنَّهُمْ لَمَّا كَانُوا يُظْهِرُونَ الصَّلَاحَ مَعَ عِلْمِهِمْ أَنَّهُمْ عَلَى الْفَسَادِ الْخَالِصِ، ظَنُّوا أَنَّ ذَلِكَ يَنْفُقُ عَلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه وَسَلَّمَ وَيَنْكَتِمُ عَنْهُ بُطْلَانُ مَا أَضْمَرُوهُ، وَلَمْ يَشْعُرُوا بِأَنَّهُ عَالِمٌ بِهِ، وَأَنَّ الْخَبَرَ يَأْتِيهِ بِذَلِكَ مِنَ السَّمَاءِ،
Adapun penyebutan bahwa mereka tidak sadar, dapat karena disebabkan mereka menampakkan sesuatu yang seaka-akan merupakan kebaikan, padahal mereka sebenarnya tahu bahwa mereka sedang berbuat keburukan. Mereka menyangka bahwa dengan demikian mereka bisa mengelabui Nabi shalallahu alaihi wa salam dan menutupi dari beliau apa yang sebenarnya. Mereka tidak menyadari bahwa beliau shalallahu alaihi wa salam mengetahui hal tersebut, dan bahwa berita tentang keadaan mereka disampaikan Allah Ta’ala dari langit.
فَكَانَ نَفْيُ الشُّعُورِ عَنْهُمْ مِنْ هَذِهِ الْحَيْثِيَّةِ لَا مِنْ جِهَةِ أَنَّهُمْ لَا يَشْعُرُونَ بِأَنَّهُمْ عَلَى الْفَسَادِ. وَيُحْتَمَلُ أَنَّ فَسَادَهُمْ كَانَ عِنْدَهُمْ صَلَاحًا لِمَا اسْتَقَرَّ فِي عُقُولِهِمْ مِنْ مَحَبَّةِ الْكُفْرِ وَعَدَاوَةِ الْإِسْلَامِ.
Penyebutan bahwa mereka dalam keadaan tidak sadar bukan karena mereka tidak menyadari bahwa mereka berada dalam kejahatan, melainkan karena mereka tidak menyadari bahwa Allah mengetahui hal tersebut. Bisa pula karena kejahatan mereka telah mereka sangka sebagai kebaikan dalam pikiran mereka disebabkan kecintaan terhadap kekafiran dan permusuhan terhadap Islam.
Allahu Ta’ala ‘A’lam
Leave a Reply