Hukum Salah Baca al Fatihah Saat Shalat



Hukum Salah Baca al Fatihah Saat Shalat

Alih Bahasa dan Kompilasi oleh : Reza Ervani bin Asmanu

Artikel Hukum Salah Baca al Fatihah Saat Shalat masuk dalam Kategori al Quran

الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله وعلى آله وصحبه، أما بعد:

فإن المراد باللفظ هو الكلمة القرآنية، والتغيير فيها يشمل النقص والزيادة، وإبدال حرف بحرف آخر،

Yang dimaksud dengan lafazh adalah kata dalam Al-Qur’an, dan perubahan di dalamnya mencakup kekurangan, penambahan, dan penggantian huruf dengan huruf lainnya.

فمن تعمد نقص حرف، أو إبدال حرف بآخر بطلت صلاته؛ كما قال النووي -رحمه الله- في شرح المهذب:

Barangsiapa yang sengaja mengurangi huruf, atau mengganti huruf dengan huruf lain, maka shalatnya batal. Sebagaimana dikatakan oleh An Nawawi – rahimahullah – dalam Syarh Al Muhadzdzab:

تجب قراءة الفاتحة في الصلاة بجميع حروفها وتشديداتها، وهن أربع عشرة تشديدة: في البسملة منهن ثلاث، فلو أسقط حرفاً منها، أو خفف مشدداً، أو أبدل حرفاً بحرف مع صحة لسانه لم تصح قراءته… اهـ

“Wajib membaca surat Al Fatihah dalam shalat dengan seluruh huruf dan tasydid-nya, yang berjumlah empat belas tasydid: tiga di antaranya dalam basmalah. Jika ia menghilangkan satu huruf, atau menghilangkan tasydid, atau mengganti satu huruf dengan huruf lain padahal lisannya sehat, maka bacaannya tidak sah …”

— Selesai kutipan Syarh al Muhadzdzab —

وأما الأعجمي: فإنه يجب عليه التعلم، وتصحيح الحروف، وإذا حصل التغيير من غير عمد كما في حال العاجز كالألكن، والأعجمي العامي، فمعفو عنه، فقد قال الدسوقي المالكي :

Adapun orang non-Arab, wajib baginya belajar dan memperbaiki huruf. Jika terjadi perubahan tanpa sengaja, seperti dalam keadaan orang yang tidak mampu, seperti gagap, atau non-Arab yang awam, maka dimaafkan. Sebagaimana dikatakan oleh Ad Dasuqi Al Maliki:

وحاصل الْمَسْأَلَةِ أَنَّ اللَّاحِنَ إنْ كَانَ عَامِدًا بَطَلَتْ صَلَاتُهُ، وَصَلَاةُ مَنْ خَلْفَهُ بِاتِّفَاقٍ، وَإِنْ كَانَ سَاهِيًا صَحَّتْ بِاتِّفَاقٍ، وَإِنْ كَانَ عَاجِزًا طَبْعًا لَا يَقْبَلُ التَّعْلِيمَ فَكَذَلِكَ، لِأَنَّهُ أَلْكَنُ…. اهـ.

“Kesimpulan masalah ini adalah bahwa orang yang melakukan kesalahan jika dengan sengaja, maka batal shalatnya dan shalat orang yang di belakangnya, ini merupakan kesepakatan ulama. Jika karena lupa, maka sah shalatnya, dan ini juga merupakan kesepakatan ulama. Jika tidak mampu secara alami dan tidak bisa diajari, maka demikian juga (sah shalatnya), karena ia dianggap seperti orang gagap…”.

 — Selesai kutipan dari ad Dasuqi al Maliki —

وقال ابن قدامة في المغني:

Ibn Qudamah dalam Al Mughni berkata:

ومن ترك حرفا من حروف الفاتحة لعجزه عنه، أو أبدله بغيره، كالألثغ الذي يجعل الراء غينا، والأرت الذي يدغم حرفا في حرف، أو يلحن لحنا يحيل المعنى، كالذي يكسر الكاف من إياك، أو يضم التاء من أنعمت، ولا يقدر على إصلاحه، فهو كالأمي، لا يصح أن يأتم به قارئ، ويجوز لكل واحد منهم أن يؤم مثله، لأنهما أميان، فجاز لأحدهما الائتمام بالآخر، كاللذين لا يحسنان شيئا، وإن كان يقدر على إصلاح شيء من ذلك فلم يفعل، لم تصح صلاته، ولا صلاة من يأتم به. اهـ.

“Barangsiapa yang meninggalkan satu huruf dari huruf-huruf Al Fatihah karena ketidakmampuannya, atau menggantinya dengan huruf lain, seperti orang yang mengganti huruf ‘ra’ dengan ‘ghain’, atau yang menggabungkan satu huruf dengan huruf lainnya, atau melakukan kesalahan yang merubah makna, seperti orang yang mengucapkan kasrah pada huruf ‘kaf’ dari ‘iyyaka’, atau dhammah pada huruf ‘ta’ dari ‘an’amta’, dan tidak mampu memperbaikinya, maka dia seperti orang yang ummi, tidak sah untuk menjadi imam bagi seorang qaari (orang yang mahir membaca al Quran). Boleh menjadi Imam bagi orang yang setara (kondisi bacaannya sama dengan dia) karena keduanya dianggap ummi. Jika dia mampu memperbaiki salah satu dari hal itu dan tidak melakukannya, maka shalatnya tidak sah, begitu pula shalat orang yang menjadi ma’mumnya.”

— Selesai kutipan dari Ibnu Qudamah —

وجاء في الفتاوى الهندية للأحناف:

Dalam Fatawa Al Hindiyah bagi madzhab Hanafi disebutkan :

وإن كان لا يمكن الفصل بين الحرفين إلا بمشقة كالظاء مع الضاد، والصاد مع السين، والطاء مع التاء، اختلف المشايخ، قال أكثرهم: لا تفسد صلاته، هكذا في فتاوى قاضي خان، وكثير من المشايخ أفتوا به، قال القاضي الإمام أبو الحسن، والقاضي الإمام أبو عاصم: إن تعمد فسدت، وإن جرى على لسانه، أو كان لا يعرف التمييز لا تفسد، وهو أعدل الأقاويل، والمختار… اهـ.

“Jika tidak memungkinkan memisahkan antara dua huruf kecuali dengan kesulitan, seperti ‘zha’ dengan ‘dhad’, ‘shad’ dengan ‘sin’, dan ‘tha’ dengan ‘ta’, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas mengatakan shalatnya tidak batal, sebagaimana disebutkan dalam Fatawa Qadhi Khan, dan banyak ulama lain juga memberikan fatwa demikian. Qadhi Imam Abu Al Hasan dan Qadhi Imam Abu ‘Ashim berkata: Jika disengaja, maka batal, dan jika tidak sengaja atau tidak mengetahui perbedaan, maka tidak batal. Ini adalah pendapat yang paling adil dan dipilih …”.

— Selesai Kutipan dari Fatawa al Hindiyah —

وجاء في رد المحتار لابن عابدين: وفي التتارخانية عن الحاوي: إذا لم يكن بين الحرفين اتحاد المخرج، ولا قُربه، إلا أن فيه بلوى العامة، كالذال مكان الصاد، أو الزاي المحض مكان الذال، والظاء مكان الضاد، لا تفسد عند بعض المشايخ، اهـ. 

Dalam Radd Al Muhtar karya Ibn Abidin disebutkan: “Dalam Tatarhaniyah dari Al Hawiy:

Jika tidak ada kesamaan makhraj antara dua huruf, atau tidak dekat, namun ada kesulitan bagi orang awam, seperti mengganti ‘dza’ dengan ‘shad’, atau ‘zay’ dengan ‘dzal’, atau ‘zha’ dengan ‘dhad’, maka tidak batal menurut sebagian ulama.”

قلتُ: فينبغي على هذا عدم الفساد في إبدال الثاء سينًا، والقاف همزة، كما هو لغة عوام زماننا؛ فإنهم لا يميزون بينهما، ويصعب عليهم جدًّا، كالذال مع الزاي، ولا سيما على قول القاضي أبي عاصم، وقول الصفار، وهذا كله قول المتأخرين، وقد علمت أنه أوسع. اهـ. من رد المحتار لابن عابدين.

Saya berpendapat : “Maka seharusnya tidak dianggap rusak (tidak membatalkan) jika seseorang mengganti huruf ‘tsa’ menjadi ‘sin’, dan ‘qaf’ menjadi ‘hamzah’, seperti yang biasa dilakukan oleh orang awam pada zaman kita. Sebab, mereka tidak dapat membedakan antara kedua huruf tersebut, dan hal itu sangat sulit bagi mereka, seperti halnya membedakan huruf ‘dza’ dengan ‘zay’. Demikian terutama menurut pendapat Qadhi Abu ‘Usaid dan pendapat ash-Shaffar. Dan ini semua adalah pendapat para ulama muta-akhiriin, dan telah diketahui bahwa pendapat inilah yang dipakai secara lebih luas.”

— Selesai kutipan dari Radd Al Muhtar karya Ibn Abidin. —

Kesimpulan :

  • Jika seseorang sehat lisannya dan mampu belajar memperbaiki bacaan hendaknya ia belajar agar al Fatihah-nya tidak jatuh kepada kesalahan yang dapat membatalkan shalat
  • Orang awam yang tidak mampu secara alami melafazhkan huruf-huruf tertentu, dan sangat sulit untuk diajarkan, maka ia dimaafkan dan dianggap tidak batal shalatnya jika terdapat kesalahan baca dalam al Fatihah ketika sholat
  • Orang yang memiliki kesalahan baca pada al Fatihah tidak boleh menjadi imam, apalagi untuk diikuti oleh orang yang mahir membaca al Quran.

Sumber Utama : IslamWeb

والله أعلم.



Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.