تطور دراسة الإعجاز القرآني على مر العصور
Perkembangan Studi Mukjizat Al Quran Sepanjang Zaman (Bagian Keduabelas)
أ.د / عبد الغني محمد بركة
Prof. Dr. Abdul Ghani Muhammad Barakah
(Profesor di Fakultas Bahasa Arab dan Mantan Dekan Fakultas tersebut di Universitas Al-Azhar)
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Artikel Perkembangan Studi Mukjizat Al Quran Sepanjang Zaman ini kami masukkan ke Kategori Ilmu al Quran
ثالثاً :
Ketiga :
إن في سياق آية التحدي ما يدل على فساد هذا القول، وذلك أنه لا يقال عن الشيء يمنعه الإنسان بعد أن كان قادراً عليه ـ لا يقال في هذه الحالة: إني قد جئتكم بما لا تقدرون على مثله ولو احتشدتهم له، وإنما يقال: إني أعطيت أن أحول بينكم وبين كلام كنتم تستطيعونه وأمنعكم إياه وما شاكل ذلك.
Konteks ayat tantangan menunjukkan kelemahan pendapat ash sharfah. Tidak mungkin dikatakan kepada seseorang yang sebelumnya mampu melakukan sesuatu tetapi kemudian dihalangi: “Aku telah membawa sesuatu yang tidak dapat kamu tandingi, bahkan jika kamu berusaha keras.” Sebaliknya, lebih tepat jika dikatakan: “Aku telah diberi kemampuan untuk menghalangimu dari melakukan sesuatu yang sebelumnya kamu bisa melakukannya.”
كما يقال مثلاً للأشداء، إن الآية أن تعجزوا عن رفع ما كان يسهل عليكم رفعه، فقد بان إذن ـ أنه لا مساغ لحمل الآية على ما ذهبوا إليه.
Ini sama seperti jika seseorang yang kuat gagal mengangkat sesuatu yang sebelumnya mudah baginya. Maka jelaslah bahwa tidak ada ruang untuk memaknai ayat tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh para pendukung ash sharfah.
رابعاً :
Keempat:
الأخبار التي جاءت عن العرب في شأن تعظيم القرآن، وفي وصفه به، من نحو أن له لحلاوة وأن عليه لطلاوة…. الخ.
Riwayat-riwayat dari bangsa Arab tentang penghormatan mereka terhadap Al Quran dan pengakuan mereka terhadap keindahannya juga membuktikan kesalahan klaim ini. Di antara pengakuan mereka adalah: “Sesungguhnya Al Quran memiliki keindahan yang manis dan keagungan yang memukau.” … dan lain-lain yang serupa
فمحال أن يعظموه وأن يبهتوا عند سماعه، وهم يرون فيما قاله الأولون ما يوازيه.
dalah mustahil bagi mereka untuk memuliakannya dan terdiam ketika mendengarnya, sementara mereka menganggap apa yang dikatakan orang-orang sebelumnya sebagai setara dengan itu.
وهكذا ساق العلماء الدليل تلو الدليل على بطلان القول بالصرفة، وتأكيد أن بلاغة القرآن تعود إلى أمر ذاتي فيه، جعله معجزاً للبشر.
Dengan demikian, para ulama telah memberikan bukti demi bukti yang membantah klaim ash sharfah, dan menegaskan bahwa kefasihan Al Quran berasal dari sifat intrinsiknya, yang menjadikannya mukjizat bagi umat manusia.
هذا عن شبهة القول بالصرفة،
Demikian pembahasan tentang syubhat dari mereka yang membawa konsep ash Sharfah
Tentang Syubhat (Keraguan) Kedua:
أما عن شبهة أن القرآن الكريم قد تضمن ألفاظاً وأساليب ليست مما تقتضيه البلاغة، فقد فند العلماء أيضاً هذه الشبهة بردود مفحمة، من ذلك مثلاً ما ذكره الخطابي في رده على بعض ما أثاروه من شبهات.
Adapun tentang keraguan bahwa Al Quran mengandung kata-kata dan gaya bahasa yang dianggap tidak sesuai dengan balaghah, para ulama juga telah membantah keraguan ini dengan argumen yang mematahkan, seperti yang dijelaskan oleh Al Khathabi dalam tanggapannya terhadap beberapa klaim yang diajukan.
فقد قال المشككون في قوله تعالى :
Sebagai contoh, para peragu mengatakan tentang firman Allah:
(قَالُواْ يَا أَبَانَا إِنَّا ذَهَبْنَا نَسْتَبِقُ وَتَرَكْنَا يُوسُفَ عِندَ مَتَاعِنَا فَأَكَلَهُ الذِّئْبُ وَمَا أَنتَ بِمُؤْمِنٍ لِّنَا وَلَوْ كُنَّا صَادِقِينَ) [سورة يوسف].
“Mereka berkata, ‘Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba dan kami meninggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala. Dan engkau tentu tidak akan mempercayai kami, sekalipun kami berkata benar.’” (Surah Yusuf ayat 17).
قالوا: إنما يستعمل في فعل السباع خصوصاً ( الافتراس ) يقال: افترسه السبع، هذا هو المختار الفصيح في منعاه، فأما ( فأكله ) فهو عام لا يختص به نوع من الحيوان.
Mereka berpendapat bahwa kata yang seharusnya digunakan untuk tindakan hewan buas adalah “memangsa” (iftarasahu as-sabu‘). Mereka mengatakan bahwa penggunaan kata “dimakan” (fa’akalahu) bersifat umum dan tidak spesifik untuk tindakan hewan buas.
ويرد الخطابي قائلاً.
Al Khathabi menjawab:
فإما قوله تعالى فأكله الذئب فإن الافتراس معناه في فعل السبع والقتل. فحسب، وأصل الفرس ـ دق العنق، والقوم إنما ادعوا على الذئب أنه أكله أكلاً، وأتى على جميع أجزائه.
Adapun firman Allah fa’akalahu (‘dimakan oleh serigala’), kata iftiras (memangsa) hanya merujuk pada tindakan membunuh yang dilakukan oleh hewan buas. Kata dasar farasa berarti mematahkan leher, sementara yang dimaksudkan oleh mereka (saudara Yusuf) adalah bahwa serigala memakan Yusuf dengan menghabiskan seluruh bagian tubuhnya.
وذلك أنهم خافوا مطالبة أبيهم لهم بأثر باق منه، يشهد بصحة ما قالوه، فادعوا فيه الأكل ليزيلوا عن أنفسهم المطالبة، والفرس لا يعطي تمام هذا المعنى. وبهذا يكون اللفظ القرآني قد وقع مطابقاً للمعنى المراد.
Hal ini karena mereka khawatir ayah mereka akan menuntut bukti berupa sisa tubuh Yusuf yang menunjukkan kebenaran klaim mereka. Maka mereka mengklaim bahwa Yusuf telah dimakan secara keseluruhan, untuk menghindari tuntutan tersebut. Kata farasa tidak menyampaikan makna ini secara sempurna, sehingga penggunaan kata fa’akalahu lebih tepat dan sesuai dengan maksud yang diinginkan.”
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : Quran-M
Leave a Reply