التأويل: معناه، أقسامه، ما يجوز منه وما لا يجوز.
Bahasan Ta’wil : Makna, Klasifikasi, Apa yang Diperbolehkan dan Tidak Diperbolehkan (Bagian Kelima)
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Artikel Bahasan Ta’wil ini masuk dalam Kategori Tanya Jawab
فالشأن أن تكون من آيات الصفات أو أحاديث الصفات، أما النصوص الأخرى التي قد تدل على الصفة، لكن ليست نصًّا فيها، فخلاف علماء أهل السنة فيها لا يجعل قول من لم يثبت بها صفة دليلًا على تأويل الصفات؛ لأن النص نفسه ليس صريحًا في ذلك.
Yang menjadi inti persoalan adalah apakah teks tersebut termasuk ayat-ayat tentang sifat-sifat Allah atau hadits-hadits tentang sifat-sifat-Nya. Adapun teks-teks lain yang mungkin menunjukkan sifat, tetapi tidak secara tegas menyatakan sifat tersebut, maka perselisihan di antara ulama Ahlus Sunnah mengenai hal itu tidak menjadikan pendapat mereka yang tidak menetapkan sifat sebagai dalil untuk menakwil sifat-sifat Allah. Hal ini karena teks itu sendiri tidak secara eksplisit menunjukkan hal tersebut.
وقد أورد شيخ الإسلام عددًا من الأمثلة على ذلك، وقبل إيراد نماذج منها يحسن ذكر ما قاله في مقدمة أحدها، فقد أورد -رحمه الله- مسألة قربه تعالى من عباده، والخلاف في ذلك، ثم قال:
Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah p menyebutkan sejumlah contoh dalam hal ini. Sebelum mengutip beberapa contohnya, baik untuk disebutkan pendahuluan yang beliau sampaikan terkait salah satu contohnya. Beliau membahas tentang kedekatan Allah dengan hamba-hamba-Nya dan perselisihan dalam masalah ini, kemudian beliau berkata:
“وإذا كان قرب عباده من نفسه، وقربه منهم، ليس ممتنعًا عند الجماهير من السلف وأتباعهم من أهل الحديث، والفقهاء، والصوفية، وأهل الكلام، لم يجب أن يتأول كل نص فيه ذكر ربه من جهة امتناع القرب عليه،
“Dan jika kedekatan hamba-hamba-Nya kepada Allah, begitu pula kedekatan Allah kepada mereka, tidak dianggap mustahil oleh mayoritas ulama dari kalangan salaf, pengikut mereka, ahli hadits, para ahli fikih, sufi, maupun ahli kalam, maka tidak mesti setiap teks yang menyebutkan kedekatan Allah harus ditakwilkan dengan alasan bahwa kedekatan tersebut tidak mungkin terjadi.
ولا يلزم من جواز القرب عليه أن يكون كل موضع ذكر فيه قربه يراد به قربه بنفسه، بل يبقى هذا من الأمور الجائزة، وينظر في النص الوارد، فإن دل على هذا حمل عليه، وإن دل على هذا حمل عليه،
Juga, tidak berarti bahwa hanya karena kedekatan itu dimungkinkan, setiap penyebutan kedekatan Allah dalam teks selalu bermakna kedekatan-Nya secara langsung. Sebaliknya, hal ini tetap menjadi perkara yang terbuka untuk ditafsirkan sesuai dengan teks yang ada. Jika teks tersebut menunjukkan kedekatan secara langsung, maka dipahami demikian; dan jika menunjukkan makna lain, maka dipahami sesuai makna tersebut.”
كما تقدم في لفظ الإتيان والمجيء: إن كان في موضع قد دل عندهم على أنه هو يأتي، ففي موضع آخر دل على أنه يأتي بعذابه، كما في قوله تعالى:
Sebagaimana telah dijelaskan dalam lafazhh al ityan (datang) dan al maji’ (kedatangan): jika dalam satu tempat terdapat dalil bahwa Allah-lah yang datang, maka di tempat lain bisa jadi yang dimaksud adalah datangnya adzab-Nya, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
{فَأَتَى اللَّهُ بُنْيَانَهُمْ مِنَ الْقَوَاعِد} (النحل: من الآية ٢٦)
“Maka Allah menghancurkan bangunan mereka dari pondasi-pondasinya.” (Surah An Nahl ayat 26)
وقوله تعالى:
Dan Firman Allah Ta’ala :
{فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا} (الحشر: من الآية ٢).
“Maka Allah mendatangi mereka dari arah yang tidak mereka sangka-sangka.” (Surah Al Hasyr ayat 2)
فتدبر هذا؛ فإنه كثير ما يلغط الناس في هذا الموضع، إذا تنازع النفاة والمثبتة في صفة، ودلالة نص عليها: يريد المريد أن يجعل ذلك اللفظ -حيث ورد- دالًّا على الصفة وظاهرًا فيها.
Renungkanlah hal ini dengan baik, karena banyak orang sering keliru dalam perkara ini. Ketika terjadi perdebatan antara kelompok yang menolak (sifat) dan kelompok yang menetapkan (sifat) terkait suatu sifat dan penunjukan teks terhadapnya, ada yang berkeinginan untuk menjadikan lafazh tersebut—di mana pun disebutkan—sebagai dalil atas sifat tersebut dan menunjukkan makna lahiriahnya.
ثم يقول النافي: وهناك لم تدل على الصفة فلا تدل هنا. وقد يقول بعض المثبتة: دلت هنا على الصفة فتكون دالة هناك،
Kemudian, kelompok yang menolak akan berkata: “Di tempat lain lafazh itu tidak menunjukkan sifat, maka di sini pun tidak menunjukkan sifat.” Sebaliknya, sebagian kelompok yang menetapkan akan berkata: “lafazh ini menunjukkan sifat di sini, maka di tempat lain juga menunjukkan sifat.”
بل لما رأوا بعض النصوص تدل على الصفة، جعلوا كل آية فهيا ما يتوهمون أنه يضاف إلى الله تعالى -إضافة صفة- من آيات الصفات، كقوله تعالى :
Padahal, ketika mereka melihat sebagian teks menunjukkan sifat, mereka menjadikan setiap ayat yang mengandung lafazh yang menurut dugaan mereka dapat disandarkan kepada Allah sebagai sifat, termasuk ayat-ayat yang tidak secara tegas menunjukkan sifat, seperti firman Allah Ta’ala:
{فَرَّطْتُ فِي جَنْبِ اللَّهِ} (الزمر: من الآية ٥٦).
“Aku telah menyia-nyiakan urusan di sisi Allah.” (Surah Az Zumar ayat 56).
وهذا يقع فيه طوائف من المثبتة والنفاة، وهذا من أكبر الغلط؛ فإن الدلالة في كل موضع بحسب سياقه، وما يحف به من القرائن اللفظية والحالية، وهذا موجود في أمر المخلوقين، يراد بألفاظ الصفات منهم في مواضع كثيرة غير الصفات”. انتهى.
Kesalahan ini terjadi pada sebagian kelompok yang menetapkan sifat maupun yang menolaknya, dan ini merupakan salah satu kekeliruan terbesar. Sebab, penunjukan teks dalam setiap tempat harus sesuai dengan konteksnya serta indikasi verbal maupun situasional yang menyertainya. Hal ini juga dapat ditemukan dalam perkara makhluk, di mana dalam banyak kasus, lafazh-lafazh yang tampaknya menunjukkan sifat mereka sering kali dimaksudkan untuk makna yang berbeda dari sifat itu sendiri.” Selesai.
Alhamdulillah selesai rangkaian artikel 5 (Lima) Seri
Sumber : IslamWeb
Leave a Reply