
إطعام المساكين في الفدية والمقصود بالمرجوح والتأويل المردود
Memberi Makan Fakir Miskin dalam Fidyah dan Makna Pendapat Marjuh serta Takwil yang Tertolak
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Artikel Memberi Makan Fakir Miskin dalam Fidyah ini masuk dalam Kategori Tanya Jawab
السؤال
Pertanyaan:
في الفتوى رقـم: 117108، ذكرتم الآتي:
Dalam fatwa nomor: 117108, kalian menyebutkan sebagai berikut :
وذهب أبو حنيفة إلى أنه لو أطعم مسكيناً واحداً طعام الستين جاز، وقوله مرجوح، وتأويل المسكين بالمد من التأويل المردود كما قال صاحب المراقي: وجعلُ مسكينٍ بمعنى المُد ّ عليه لائحٌ سماتُ البعدِ
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa jika seseorang memberi makan satu orang miskin dengan makanan untuk enam puluh orang, maka itu sah. Pendapat ini dianggap marjuh (lemah), dan penafsiran bahwa “miskin” itu artinya satu mud makanan adalah takwil yang tertolak, sebagaimana disebutkan oleh penulis kitab Al-Maraqi: “Menjadikan makna miskin sebagai satu mud, sangat jelas tanda-tanda jauhnya (dari kebenaran).”
ما معنى مرجوح؟ هل هومقبول شرعا أم مرفوض؟ وما معنى كون تأويل المسكين بالمد من التأويل المردود؟ هل مردود بمعني مرفوض،
Apa makna marjuh? Apakah itu diterima secara syar’i atau ditolak? Dan apa makna bahwa penafsiran makna miskin sebagai satu mud itu adalah takwil yang tertolak ? Apakah tertolak itu artinya ditolak ?
وكيف ذلك إذا كنتم -فضيلتكم- ذكرتم في كفارة قضاء رمضان: فمذهب الشافعي أنها مد من طعام برأو غيره، وقال أحمد هي مد من بُر: قمح ،ونصف صاع من غيره،
Bagaimana penjelasannya sementara kalian dalam fatwa tentang fidyah qadha Ramadhan menyebutkan bahwa menurut madzhab Syafi’i kadarnya adalah satu mud makanan, atau menurut Ahmad satu mud gandum dan setengah sha’ dari selain gandum?
إذا كانت فتوى فضيلتكم أن الإطعام بمد من بر، أو نصف صاع من غيره، كيف يكون جعل المسكين بمعني المد مردودا؟ من فضلك قرأت فتوى أن من أخر قضاء رمضان حتى جاء الذي بعده أنه يجب عليه القضاء والكفارة، بينما شيخ آخر أفتى قائلا: لا تجب الكفارة، وهو قول أبي حنيفة، بل فعل ذلك بعض الصحابة وهو ليس تشريعا. ما مدى صحة هذا الكلام؟ وهل حقا أن الكفارة لا تتضاعف مع عدد السنين؟
Jika fatwa kalian bahwa fidyah itu berupa satu mud makanan, bagaimana mungkin menjadikan makna miskin itu sama dengan mud itu tertolak? Mohon penjelasannya. Saya juga membaca fatwa bahwa orang yang menunda qadha Ramadhan sampai datang Ramadhan berikutnya wajib qadha dan membayar fidyah, sementara seorang syaikh lain berfatwa bahwa tidak wajib fidyah, ini adalah pendapat Abu Hanifah, bahkan sebagian sahabat melakukannya dan itu bukanlah syari’at. Bagaimana kebenaran pendapat ini? Dan benarkah fidyah itu tidak berlipat seiring bertambahnya tahun?
الإجابــة
Jawaban:
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه، أما بعد:
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabat beliau, amma ba’du:
فالمرجوح: هو ضدُ الراجح، وهو ما لا يرى المجتهدُ قوة دليله، ويرى قوة دليل مقابله وهو الراجح، وفي مسائل الاجتهاد يُفتي المفتي بما ظهر له دليله، ويعدُّ ماخالفه مرجوحاً لا يُعمل به.
Makna marjuh adalah lawan dari rajih (pendapat kuat). Yaitu pendapat yang seorang mujtahid tidak melihat kuatnya dalil pendapat tersebut, dan dia melihat bahwa dalil lawannya lebih kuat, itulah yang disebut rajih. Dalam permasalahan ijtihad, seorang mufti berfatwa sesuai dengan dalil yang nampak kuat baginya, dan menganggap pendapat yang menyelisihinya sebagai pendapat marjuh yang tidak diamalkan.
ومعنى التأويل المردود: أي غير المقبول لضعفه، وبعده عن الصواب، ووجه تضعيف قول أبي حنيفة،وضعف تأويله في هذه المسألة ظاهر، وذلك أن مسمى المسكين لا يصدقُ على المد، لا لغةً ولا شرعاً ولا عرفا، ولا يدلُ عليه بأي نوعٍ من أنواع الدلالة لا مطابقةً، ولا تضمناً، ولا التزاما، فكان تأويلاً بعيداً مرجوحاً، والراجح ما ذهبَ إليه الجمهور،
Adapun makna takwil mardud (tafsiran yang tertolak) adalah tidak diterima karena lemahnya dalil dan jauhnya dari kebenaran. Adapun kelemahan pendapat Abu Hanifah dan tafsirannya dalam permasalahan ini sangat jelas, karena sebutan “miskin” itu tidak bisa dipahami sebagai “satu mud” baik secara bahasa, syariat, maupun kebiasaan. Dan tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu, baik secara langsung, tersirat, maupun yang mengharuskan. Maka ini adalah tafsiran yang jauh dan tertolak. Adapun pendapat yang rajih (kuat) adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh jumhur ulama.
ولا يُشكل على تضعيف تأويلِ أبي حنيفة للمد بالمسكين جواز أن تعطى فديةُ الفطر في رمضان لمسكينٍ واحد، وذلك لأن كل يومٍ من رمضان عبادةٌ مستقلة فيجوزُ دفع الفدية المتعددة لواحدٍ فقط إذ العدد ليسَ شرطاً.
Dan tidak menjadi persoalan terhadap pendapat yang melemahkan tafsiran Abu Hanifah — bahwa “miskin” itu artinya satu mud — dengan kenyataan bahwa fidyah berbuka di bulan Ramadhan boleh diberikan kepada satu orang miskin saja, karena setiap hari di bulan Ramadhan adalah ibadah yang berdiri sendiri, maka boleh saja memberikan fidyah untuk beberapa hari kepada satu orang miskin saja, karena jumlah penerima tidak menjadi syarat dalam hal ini.
قال في الإنصاف: يجوز صرف الإطعام إلى مسكين واحد جملة واحدة. انتهـى.
Disebutkan dalam kitab Al-Inshaf: “Boleh menyalurkan pemberian makanan (fidyah) kepada satu orang miskin saja secara keseluruhan.” — Selesai.
وجاء في “فتاوى اللجنة الدائمة”: متى قال الأطباء إن هذا المرض الذي تشكو منه، ولا تستطيع معه الصوم – لا يرجى شفاؤه-، فإن عليك أن تطعم عن كل يوم مسكيناً نصف صاع من قوت البلد، من تمر أوغيره، وإذا عشيت مسكيناً أو غديته بعدد الأيام التي عليك كفى ذلك” انتهـى.
Dan disebutkan dalam Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah: “Jika para dokter mengatakan bahwa penyakit yang engkau keluhkan itu menyebabkan engkau tidak mampu berpuasa — dan tidak diharapkan kesembuhannya — maka wajib atasmu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari (yang tidak berpuasa) sebanyak setengah sha’ dari makanan pokok negeri tersebut, seperti kurma atau selainnya. Dan jika engkau mengundang seorang miskin untuk makan malam atau makan siang sebanyak hari-hari yang engkau tinggalkan, maka itu sudah mencukupi.” — Selesai.
وأما ما كان العدد شرطاً فيه كإطعام العشرة في كفارة اليمين، وإطعام ستين مسكيناً في كفارة الجماع في نهار رمضان، وفي كفارة الظهار، فلا بد من استيعاب العدد المنصوص عليه في مذهب الجمهور خلافاً لأبي حنيفة رحمه الله، وبهذا يتضح لك الفرق بين المسألتين، وأن فتوانا -بحمد الله- غير متناقضة.
Adapun dalam hal yang jumlahnya menjadi syarat seperti memberi makan sepuluh orang miskin dalam kafarat sumpah, memberi makan enam puluh orang miskin dalam kafarat jima’ di siang hari Ramadhan, dan dalam kafarat zhihar, maka wajib mencakup jumlah yang disebutkan dalam nash menurut madzhab jumhur ulama, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah rahimahullah. Dengan ini menjadi jelas bagimu perbedaan antara kedua permasalahan tersebut, dan bahwa fatwa kami — alhamdulillah — tidak bertentangan.
وأما مسألةُ تأخير قضاء رمضان بغير عذرٍ حتى يجيء رمضانُ التالي ففيها الخلاف المشهور، فمذهب أبي حنيفة والبخاري أنه لا يجبُ سوى القضاء، ومذهب الجمهور أنه يجبُ مع القضاء إطعام مسكين عن كل يوم أخره، ودليل الجمهور فتوى أبي هريرة وابن عباسٍ بذلك، ولا يُعلم لهما مخالفٌ من الصحابة، وهذا كافٍ في ترجيح هذا المذهب، فضلاً عن كونه أحوط وأبرأ للذمة، ومن ترجح له القول الثاني فلا تثريب عليه.
Adapun permasalahan menunda qadha puasa Ramadhan tanpa udzur hingga datang Ramadhan berikutnya, maka terdapat perbedaan pendapat yang masyhur. Madzhab Abu Hanifah dan Al-Bukhari berpendapat bahwa yang wajib hanya qadha saja. Adapun madzhab jumhur (mayoritas ulama) menyatakan bahwa wajib selain qadha juga membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditunda. Dalil jumhur dalam hal ini adalah fatwa Abu Hurairah dan Ibnu Abbas, dan tidak diketahui adanya sahabat yang menyelisihi keduanya. Ini sudah cukup untuk menguatkan madzhab ini, selain karena lebih berhati-hati dan lebih melepaskan tanggungan. Adapun siapa saja yang lebih condong kepada pendapat kedua (tidak wajib fidyah) maka tidak ada celaan baginya.
ومسائل الاجتهاد مما ينبغي تركُ التغليظِ والتعصب فيها، بل يسعنا ما وسع أهل العلم قبلنا.
Permasalahan ijtihad seperti ini seharusnya dijauhkan dari sikap keras dan fanatisme. Bahkan hendaknya kita cukup dengan apa yang telah menjadi kelapangan bagi para ulama sebelum kita.
وأما أن الكفارة لا تتضاعف بمرور السنوات فهذا ما بينه جمع من أهل العلم رحمهم الله.
Adapun mengenai fidyah yang tidak berlipat seiring berlalunya tahun, maka hal ini telah dijelaskan oleh sekelompok ulama rahimahumullah.
قال ابن قدامة في المغني: فإن أخره لغيرعذر حتى أدركه رمضانان أو أكثر لم يكن عليه أكثر من فدية مع القضاء، لأن كثرة التأخير لا يزداد بها الواجب، كما لو أخر الحج الواجب سنين لم يكن عليه أكثر من فعله.
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni: “Jika seseorang menunda qadha puasa tanpa udzur hingga datang dua Ramadhan atau lebih, maka tidak wajib atasnya lebih dari fidyah dan qadha saja. Karena keterlambatan yang panjang tidak menambah kewajiban. Sebagaimana jika seseorang menunda haji wajib selama bertahun-tahun, maka yang wajib atasnya hanyalah melaksanakan hajinya saja.”
والله أعلم.
Sumber : IslamWeb
Leave a Reply