موسوعة اليهود واليهودية والصهيونية
Ensiklopedia Yahudi, Yudaisme, dan Zionisme (12) : Kerangka Teoritis (2)
للدكتور عبد الوهاب المسيري
Dr. Abdul Wahab Al Masiri
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Kategori Ensiklopedia Yahudi, Yudaisme, dan Zionisme kami buat khusus untuk seluruh terjemahan kitab ini in sya Allah
ولنضرب مثلاً آخر على عدم جدوى استخدام مقولة «الاعتدال» لتفسير الظواهر. فمن المعروف أن الاعتدال الصهيوني اختلف من جيل إلى جيل، حتى أن المعتدلين الآن (بعد تآكل العرب) هم في واقع الأمر متطرفو الأمس. ولذا، فإن طالب العرب (على سبيل المثال) بقبول قرار تقسيم فلسطين الصادر عام ١٩٤٨ كأساس لحل القضية الفلسطينية عام ١٩٩٦، أو حتى بالانسحاب لحدود عام ١٩٦٧، فإن مثل هذه المطالب يُعتبَر تطرفاً وتشدداً وإرهاباً. ويُطلَب من العرب بعد ذلك أن يُظهروا شيئاً من التسامح وأن يتنازلوا عن أوطانهم حتى يمكن وصفهم بالاعتدال!
Mari kita ambil contoh lain tentang ketidakbergunaan menggunakan istilah “moderasi” untuk menjelaskan fenomena. Diketahui bahwa moderasi Zionis berubah dari generasi ke generasi, sehingga mereka yang dianggap moderat sekarang (setelah melemahnya posisi Arab) sebenarnya adalah ekstremis di masa lalu. Maka, ketika Arab diminta, misalnya, untuk menerima keputusan pembagian Palestina yang dikeluarkan pada tahun 1948 sebagai dasar penyelesaian masalah Palestina di tahun 1996, atau bahkan untuk mundur ke batas tahun 1967, permintaan semacam ini dianggap ekstremis, radikal, dan teroris. Selanjutnya, Arab diminta untuk menunjukkan sedikit toleransi dan menyerahkan tanah air mereka agar mereka dapat disebut moderat!
أما الإنصاف، فيمكن أن أضرب مثلاً على انعدام قيمته التفسيرية من كتاب صدر عن اليهود والماسون في مصر وحاول مؤلفه أن يكون “منصفاً”، فبيَّن أنه ليس كل اليهود ماسوناً وليس كل الماسون يهوداً، وأن هناك قيادات وطنية مصرية لا شبهة في وطنيتها انضمت للحركة الماسونية وهناك قيادات أخرى لم تنضم. وقد وثَّق المؤلفُ كل هذا بمادة أرشيفية ممتازة دون أن يُفسِّر لنا شيئاً عن الماسونية أو عن الظواهر التي أشار لها.
Adapun soal “keadilan,” saya dapat memberikan contoh tentang tidak adanya nilai penjelasannya dari sebuah buku yang diterbitkan mengenai Yahudi dan Freemason di Mesir. Penulisnya mencoba bersikap “adil” dengan menjelaskan bahwa tidak semua Yahudi adalah Freemason dan tidak semua Freemason adalah Yahudi. Ia juga menunjukkan bahwa ada tokoh-tokoh nasional Mesir yang tidak diragukan nasionalismenya telah bergabung dengan gerakan Freemason, sementara tokoh-tokoh lain tidak bergabung. Penulis tersebut mendokumentasikan semuanya dengan bahan arsip yang sangat baik, tetapi gagal memberikan penjelasan apa pun tentang Freemason atau fenomena yang ia tunjukkan.
وقد ظهرت مؤخراً مصطلحات أخلاقية مثل «ثقافة السلام وثقافة الحرب» ليست لها قيمة تحليلية كبيرة، وهي مصطلحات تخلق الوهم بوجود شيء أخلاقي مطلق اسمه «السلام» مقابل شيء آخر لا أخلاقي مطلق يُسمَّى «الحرب» ولا يوجد أي منهما داخل أي سياق إنساني وتاريخي أو اجتماعي.
Belakangan ini muncul istilah-istilah moral seperti “budaya damai” dan “budaya perang” yang tidak memiliki nilai analitis yang besar. Istilah-istilah ini menciptakan ilusi adanya sesuatu yang sepenuhnya bermoral yang disebut “damai,” berlawanan dengan sesuatu yang sepenuhnya tidak bermoral yang disebut “perang.” Padahal, keduanya tidak pernah eksis di dalam konteks manusiawi, historis, atau sosial mana pun.
وقد تمت تعبئة مصطلح «ثقافة السلام» بكل الإيحاءات الإيجابية الممكنة وأصبح الحديث عن “الحرب” مهما كانت أسبابها ومهما كانت الدوافع وراءها (مثل الحرب من أجل تحرير الأرض والذات على سبيل المثال) أمراً سلبياً وشكلاً من أشكال العنف.
Istilah “budaya damai” telah diisi dengan segala konotasi positif yang mungkin, sehingga berbicara tentang “perang,” apa pun alasannya dan apa pun motivasinya (seperti perang untuk membebaskan tanah dan diri, misalnya), menjadi sesuatu yang negatif dan bentuk kekerasan.
ونحن نطرح جنباً إلى جنب مع «ثقافة السلام والحرب» مصطلح «ثقافة العدل والظلم» . ولذا يمكننا أن نتحدث عن «ثقافة السلام والعدل» مقابل «ثقافة الحرب والظلم» . كما يمكن أن نتحدث عن «ثقافة السلام والظلم» وثقافة «الحرب والعدل» .
Bersamaan dengan “budaya damai dan perang,” kita juga memperkenalkan istilah “budaya keadilan dan ketidakadilan.” Dengan demikian, kita dapat berbicara tentang “budaya damai dan keadilan” berlawanan dengan “budaya perang dan ketidakadilan.” Kita juga dapat berbicara tentang “budaya damai dan ketidakadilan” serta “budaya perang dan keadilan.”
والهدف من كل هذا هو أن نبيِّن البُعد الأخلاقي لمثل هذه المصطلحات وأنها ليست، في واقع الأمر، مصطلحات وصفية وإنما هي مصطلحات وعظية وتعبوية، وأن نزيد من تركيبيتها ومقدرتها على التعامل مع واقع الإنسان المُركَّب.
Tujuan dari semua ini adalah untuk menunjukkan dimensi moral dari istilah-istilah semacam itu, bahwa istilah-istilah tersebut pada kenyataannya bukanlah istilah deskriptif, melainkan istilah yang bersifat moralistis dan retoris, sehingga kita dapat meningkatkan kompleksitasnya dan kemampuannya dalam menangani realitas manusia yang kompleks.
ونحن لا نرفض القيم الأخلاقية وضرورتها للإنسان كإنسان، بل نرى أن التفسير لابد أن يُترجم نفسه في نهاية الأمر إلى فعل إنساني فاضل، بحيث يقف الإنسان وراء ما يُتصوَّر أنه إنساني وأخلاقي (المعروف) ، ويقف ضد ما يُتصوَّر أنه غير إنساني وغير أخلاقي (المنكر) . إلا أن مثل هذا الموقف الأخلاقي الإنساني، هذا الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، لابد أن يسبقه إدراك كامل لطبيعة الموقف الأخلاقي وتحليل للواقع المتعيِّن بكل مكوناته وتركيبيته حتى يمكن فهمه قبل الحكم عليه.
Kami tidak menolak nilai-nilai moral dan pentingnya nilai-nilai tersebut bagi manusia sebagai manusia. Namun, kami berpendapat bahwa penjelasan harus pada akhirnya diterjemahkan ke dalam tindakan manusia yang luhur, sehingga seseorang mendukung apa yang dianggap manusiawi dan bermoral (kebaikan) dan menentang apa yang dianggap tidak manusiawi dan tidak bermoral (kejahatan). Namun, sikap moral manusiawi semacam ini—seruan untuk melakukan kebaikan dan mencegah kejahatan—harus diawali dengan pemahaman menyeluruh tentang sifat situasi moral tersebut serta analisis terhadap realitas konkret dengan semua komponennya dan kompleksitasnya, agar dapat dipahami sebelum dijatuhkan penilaian.
ويمكننا الآن أن ننصرف إلى عيوب الخطاب التحليلي الذي يهدف إلى تفسير الواقع:
Kini, kita dapat beralih pada kelemahan wacana analitis yang bertujuan untuk menjelaskan realitas:
١ ـ ولنبدأ بأهم الأشياء، أعني المسلمات أو المقولات التحليلية الأساسية. فمن الواضح أن كثيراً من الدراسات العربية تبنت (عن وعي أو عن غير وعي) معظم أو كل المسلمات أو المقولات التحليلية الغربية التي تتعامل الحضارة الغربية من خلالها مع العقيدة اليهودية ومع أعضاء الجماعات اليهودية، وهي مقولات أو مسلمات في معظمها ذات أصل إنجيلي مثل «التاريخ اليهودي» و «الشعب اليهودي» .
- Mari kita mulai dari hal-hal yang paling penting, yaitu asumsi dasar atau istilah analitis yang mendasar. Jelas bahwa banyak kajian Arab telah mengadopsi (secara sadar atau tidak) sebagian besar atau bahkan seluruh asumsi atau istilah analitis Barat yang digunakan oleh peradaban Barat untuk mendekati doktrin Yahudi dan anggota komunitas Yahudi. Istilah-istilah atau asumsi-asumsi ini, sebagian besar, berasal dari tradisi Injili, seperti “sejarah Yahudi” dan “bangsa Yahudi.”
وهذه المقولات الإنجيلية احتفظت ببنيتها الأساسية دون تغيير، حتى بعد أن تم علمنتها وتفريغها من القداسة والأبعاد الدينية، فاليهود لا يزالون (في الوجدان الغربي الحديث) كياناً مستقلاً يتحركون داخل تاريخهم المستقل.
Istilah-istilah Injili ini mempertahankan struktur dasarnya tanpa perubahan, bahkan setelah disekularisasi dan dilucuti dari kesakralan serta dimensi religiusnya. Dalam imajinasi Barat modern, Yahudi tetap menjadi entitas yang berdiri sendiri, bergerak dalam sejarah mereka sendiri yang terpisah.
وبعد أن كانوا يهيمون في البرية ويصعدون إلى كنعان ويهبطون إلى مصر، أصبحوا الآن يهيمون في أنحاء العالم، وبخاصة العالم الغربي، متطلعين طيلة الوقت إلى الصعود إلى فلسطين.
Dulu mereka digambarkan mengembara di padang gurun, naik ke Kanaan, dan turun ke Mesir. Kini mereka digambarkan mengembara ke seluruh dunia, khususnya dunia Barat, sambil terus-menerus bercita-cita untuk kembali ke Palestina.
ومن ثم، يخلع الوجدان الغربي على اليهود التفرُّد باعتبارهم الشعب المختار، وينزع عنهم القداسة باعتبارهم قتلة الرب والشعب المنبوذ الذليل، ثم يُحيِّدهم تماماً باعتبارهم مادة استعمالية ليس لها أهمية خاصة.
Dengan demikian, imajinasi Barat memberikan kesan unik kepada Yahudi sebagai “bangsa pilihan,” lalu mencabut kesucian mereka dengan menganggap mereka pembunuh Tuhan dan bangsa terbuang yang hina, serta akhirnya menjadikan mereka entitas netral sebagai bahan utilitas tanpa kepentingan khusus.
Bersambung ke Bagian Berikutnya in sya Allah
Leave a Reply