مَا مِنْكُم مِنْ أَحَدٍ إِلَّا سَيُكَلِّمُهُ رَبُّهُ
Tidak Ada Seorangpun Melainkan Pasti Diajak Bicara Rabbnya (Bagian Kelima)
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Artikel Tiap Kalian Pasti Diajak Bicara Oleh Rabbnya ini termasuk dalam Kategori Aqidah
ثالثا: أقوالِ بعض الأئمة والعلماء في صفة الكلام لله عز وجل
Ketiga: Perkataan Beberapa Imam dan Ulama tentang Sifat Kalam bagi Allah ‘Azza wa Jalla
قال ابنُ بطَّةَ العُكْبَري في “الإبانة الكبرى”: “اعلَموا – رحمكم الله – أنَّه مَنْ زعم أنَّه على مِلَّة إبراهيم ودين محمَّدٍ صلى الله عليه وسلم، وأنَّه مِنْ أهل شَريعة الإسلام، ثمَّ جحد أنَّ الله كَلَّم موسى، فقد أبطل فيما ادَّعاه مِنْ دينِ الإسلام، وكَذَب في قوله: إنَّه من المسلمين، ورَدَّ على الله قَولَه، وكَذَّب بما جاء به جبريل إلى محمَّدٍ صلى الله عليه وسلم، ورَدَّ الكتاب والسُّنَّةَ وإجماع الأمَّة”.
Ibnu Baththah Al-‘Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra berkata: “Ketahuilah – semoga Allah merahmati kalian – bahwa barangsiapa mengaku berada di atas millah Ibrahim dan agama Muhammad ﷺ, serta mengaku termasuk Ahlus Syari’ah Islam, kemudian mengingkari bahwa Allah telah berbicara kepada Musa, maka ia telah membatalkan pengakuannya sebagai pemeluk agama Islam, ia telah berdusta dalam ucapannya bahwa ia termasuk orang-orang muslim, ia telah menolak firman Allah, mendustakan apa yang dibawa Jibril kepada Muhammad ﷺ, serta menolak Al-Kitab, As-Sunnah, dan ijma’ umat.”
وقال حَنبَل بن إسحاق: “قُلتُ لأبي عَبدِ الله: يُكَلِّمُ عَبدَه يَوم القيامة؟! قال: نَعَمْ، فمَن يَقضي بَينَ الخَلقِ إلَّا اللهُ؟! يُكَلِّمُ اللهُ عَبْدَه ويَسألُه، اللهُ مُتكَلِّمٌ، لم يَزَلِ اللهُ يأمُر بما شاء ويَحْكُم، وليس لِله عِدْلٌ ولا مِثْلٌ، كيف شاءَ، وأنَّى شاء”.
Hanbal bin Ishaq berkata: “Aku bertanya kepada Abu ‘Abdillah (Imam Ahmad): ‘Apakah Allah akan berbicara kepada hamba-Nya pada hari kiamat?’ Beliau menjawab: ‘Ya, lalu siapa lagi yang akan memutuskan perkara di antara makhluk selain Allah? Allah berbicara kepada hamba-Nya dan bertanya kepadanya. Allah adalah Dzat yang Maha Berbicara; senantiasa Allah memerintah apa yang Dia kehendaki dan menetapkan hukum, tidak ada yang setara dan serupa dengan Allah, sesuai kehendak-Nya dan kapan saja Dia kehendaki.’”
وقال عبد الله بن أحمد في “السُنة”: “سألتُ أَبي ـ رَحِمه الله – عن قومٍ يقولون: لَمَّا كلَّمَ اللهُ عزَّ وجلَّ موسى لم يَتكلَّمْ بصَوت، فقال أبي: بلَى! إنَّ ربَّكَ عزَّ وجلَّ تكلَّمَ بصوت، هذه الأحاديث نرويها كما جاءت”.
Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah berkata: “Aku bertanya kepada ayahku – rahimahullah – tentang suatu kaum yang mengatakan: Ketika Allah ‘Azza wa Jalla berbicara kepada Musa, Dia tidak berbicara dengan suara. Ayahku menjawab: ‘Bahkan! Sesungguhnya Rabbmu ‘Azza wa Jalla berbicara dengan suara. Hadits-hadits ini kami riwayatkan sebagaimana datangnya.’”
وقال ابن أبي زيدٍ القيرواني في “الجامع في السنن والآداب”: “ممَّا أجمعت عليه الأمَّةُ من أمورِ الدِّيانة، ومِنَ السُّنَن التي خلافها بدعة وضلالة: .. أنَّ كلامه صِفةٌ مِن صفاتِه.. وأنَّ اللهَ عزَّ وجَلَّ كَلَّم موسى بذاتِه، وأسمعه كلامَه… وكُلُّ ما قَدَّمْنا ذِكْرَه فهو قول أهل السُّنَّة وأئمَّة النَّاس في الفِقه والحَديث على ما بَيَّنَّاه، وكُلُّه قَول مالِك، فمنه منصوصٌ مِن قوله، ومنه معلومٌ مِن مَذهَبه”.
Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani dalam Al-Jami’ fi As-Sunan wal-Adab berkata: “Termasuk perkara agama yang telah disepakati oleh umat, dan termasuk sunnah yang menyelisihinya adalah bid’ah dan kesesatan, ialah bahwa kalam Allah adalah salah satu sifat-Nya. Dan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla telah berbicara kepada Musa dengan Dzat-Nya, dan memperdengarkan kepadanya kalam-Nya. Semua yang telah kami sebutkan adalah pendapat Ahlus Sunnah dan para imam manusia dalam fiqh dan hadits sebagaimana telah kami jelaskan. Semuanya adalah pendapat Imam Malik, sebagian dinukil langsung dari ucapannya, dan sebagian lagi diketahui dari madzhab beliau.”
والذي عليه أهل السُنة أن الكلام صفة ذاتية فِعْلية لله عز وجل، فهو صفة ذاتية باعتبار أصله، لأن الله تعالى لم يزل ولا يزال متكلماً، وصفة فعلية لأن الكلام يتعلق بمشيئته فيتكلم كيف شاء ومتى شاء.. وكما أنَّ ذات الله سبحانه حقيقيَّة لا تُشبِه الذَّوات، فهي متَّصفة بصِفاتٍ حقيقيَّةٍ لا تُشبِه الصِّفات، وكما أنَّ إثباتَ الذَّات إثبات وجودٍ لا إثبات كيفيَّة، كذلك إثبات الصِّفات إثبات وجودٍ لا إثبات كيفيَّة.
Ahlus Sunnah berpendapat bahwa kalam adalah sifat dzatiyyah sekaligus fi‘liyyah bagi Allah ‘Azza wa Jalla. Ia merupakan sifat dzatiyyah dilihat dari asalnya, karena Allah Ta’ala senantiasa dan selamanya Maha Berbicara. Ia juga merupakan sifat fi‘liyyah karena kalam Allah terkait dengan kehendak-Nya; Dia berbicara kapan saja dan bagaimana saja yang Dia kehendaki. Sebagaimana Dzat Allah Subhanahu hakiki dan tidak menyerupai dzat-dzat lainnya, maka Ia juga memiliki sifat-sifat hakiki yang tidak menyerupai sifat-sifat makhluk. Sebagaimana penetapan dzat adalah penetapan keberadaan, bukan penetapan bentuk atau kaifiyah, demikian pula penetapan sifat adalah penetapan keberadaan, bukan penetapan bentuk atau kaifiyah.
قال الخطيب البغداديّ في “مسألة في الصفات”: “أمَّا الكلام في الصِّفات فإنَّ ما رُوِي منها في السُّنَن الصِّحاح مَذهب السَّلف رضي الله عنهم إثباتها وإجراؤها على ظاهِرها، ونَفي الكيفيَّة والتَّشبيه عنها، والأصل في هذا أنَّ الكلام في الصِّفاتِ فَرعٌ على الكلامِ في الذَّات، ويُحتذَى في ذلك حَذْوه ومِثاله، فإذا كان مَعْلُومًا أنَّ إثبات رَبّ العالمين عزَّ وجَلَّ إنَّما هو إثبات وجودٍ لا إثبات تحديدٍ وتكييف، فكذلك إثبات صِفاتِه إنَّما هو إثبات وجودٍ لا إثبات تحديدٍ وتكييف، فإذا قُلْنا: لله تعالى يَدٌ وسَمعٌ وبَصَرٌ، فإنَّما هو إثبات صِفاتٍ أثبَتها اللهُ تعالى لنَفْسِه، ولا نقول: إنَّ معنى اليَدِ: القُدرة، ولا أنَّ معنى السَّمع والبَصَر: العِلْم.. ونقول: إنَّما ورد إثباتُها، لأنَّ التَّوقيفَ وَرَد بها، ووَجَب نَفيُ التَّشبيه عنها لقوله تبارك وتعالى:
Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Mas’alah fi As-Shifat berkata: “Adapun pembahasan sifat-sifat Allah, maka apa saja yang diriwayatkan dalam hadits-hadits sahih menurut madzhab salaf radhiyallahu ‘anhum wajib ditetapkan dan dibawa sesuai zahirnya, serta menafikan kaifiyah dan penyerupaan dari sifat-sifat tersebut. Prinsip dasarnya adalah bahwa pembahasan sifat adalah cabang dari pembahasan dzat, dan dalam hal ini mengikuti pola dan ketentuannya. Jika sudah diketahui bahwa penetapan Rabbul ‘Alamin ‘Azza wa Jalla adalah penetapan keberadaan, bukan penetapan pembatasan dan kaifiyah, maka demikian pula penetapan sifat-sifat-Nya adalah penetapan keberadaan, bukan penetapan pembatasan dan kaifiyah. Maka ketika kita berkata: Allah Ta’ala memiliki tangan, pendengaran, dan penglihatan, itu adalah penetapan sifat-sifat yang Allah tetapkan bagi diri-Nya. Kita tidak mengatakan bahwa makna tangan adalah kekuasaan, atau makna pendengaran dan penglihatan adalah ilmu. Kita menetapkannya karena dalil yang sahih menetapkannya, dan wajib menafikan penyerupaan darinya berdasarkan firman-Nya Tabaraka wa Ta’ala:
{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ} (الشورى:١١)،
{Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat} (Asy-Syura: 11),
وقوله:
dan firman-Nya:
{وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ} (الإخلاص: ٤)”.
{Dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia} (Al-Ikhlash: 4).”
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber: IslamWeb
Leave a Reply