دلالات تربوية من سورة الإخلاص
Makna-Makna Pendidikan dari Surah Al-Ikhlash (Bagian Kedua)
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Artikel Makna Pendidikan Surah Al-Ikhlash ini termasuk dalam Kategori Tadabbur al Quran
الفائدة الثالثة
Faedah Ketiga:
أن الله – تعالى – قد وصف نفسَه بخمس صفاتٍ، تشتمل على استحقاقه للألوهية والتفرد وحده بالعبادة؛ تفرده بالألوهية، تفرده بالصمدية، ليس له نهاية، وليست له بداية، ليس له مثيل، تفصيل ذلك على الوجه التالي:
Bahwa Allah Ta’ala telah menggambarkan diri-Nya dengan lima sifat yang mencakup hak-Nya untuk disembah dan keesaan-Nya dalam ibadah: keesaan dalam ulūhiyyah, keesaan dalam ash-shamadiyyah, tidak memiliki akhir, tidak memiliki awal, dan tidak memiliki yang serupa dengan-Nya. Rinciannya adalah sebagai berikut:
أولًا: تفرده بالألوهية
Pertama: Keesaan-Nya dalam Ulūhiyyah
١) الله سبحانه لا يقبل أن يشرك به أحد، ولا يقبل من الأعمال إلا ما كان يقصد به وجهه خالصًا، فلا يقبلُ من الأعمال ما يقصد به غير الله تعالى فالرياء وحبُّ السمعة تفسدُ العملَ الصالحَ؛ قال سبحانه:
1) Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā tidak menerima bila disekutukan dengan siapa pun, dan tidak menerima amal kecuali yang diniatkan dengan tulus hanya untuk-Nya. Ia tidak menerima amal yang diniatkan untuk selain Allah Ta‘ālā, karena riya’ dan cinta akan popularitas akan merusak amal saleh. Allah berfirman :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا [النساء: ٤٨]؛
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah membuat dosa besar.” (Surah An-Nisa: 48).
لذا كان من المتعيَّن على العبد أن يقصد من أعماله الصالحة رضا الله وحده سبحانه إذ قال في كتابه:
Karena itu, seorang hamba wajib meniatkan amal salehnya untuk mencari ridha Allah semata, sebagaimana firman-Nya :
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَن كَانَ يَرْجُو لِقَاء رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا [الكهف: ١١٠].
“Katakanlah: Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku bahwa sesungguhnya Tuhan kalian adalah Tuhan Yang Maha Esa. Maka barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah ia beramal saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (Surah Al-Kahfi: 110).
٢) والمسلم عليه أن يتحرَّى الإخلاصَ في كل أعماله، ويكون ذلك قبل البدء في العمل وأثناء العمل وبعده، فأما قبل العمل، فإنه يبحث في نيته هل يقصد من هذا العمل رضا الله فحسب، أم أنه يبتغي منه – فضلًا عن ذلك – مدحَ الناس والثناءَ عليه، فإذا وجد خللًا في نيته، فلا يصرفه ذلك عن الإقبال على عمله، وإنما يتعيَّن عليه أن يصححَ نيتَه ويجعلَها لله – تعالى – فحسب، ويجتهد في تحقيق ذلك؛ قال تعالى:
2) Seorang muslim harus menjaga keikhlasan dalam seluruh amalnya, baik sebelum memulai, ketika sedang melaksanakan, maupun setelah selesai. Sebelum memulai amal, ia perlu memeriksa niatnya: apakah ia hanya mengharap ridha Allah semata, atau ada keinginan lain seperti pujian dan sanjungan manusia. Jika ia mendapati kekurangan dalam niatnya, hal itu tidak seharusnya menghalanginya dari beramal, namun ia wajib memperbaiki niatnya agar murni hanya untuk Allah Ta‘ālā dan bersungguh-sungguh mencapainya. Allah Ta‘ālā berfirman :
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا فَمَا كَانَ لِشُرَكَائِهِمْ فَلَا يَصِلُ إِلَى اللَّهِ وَمَا كَانَ لِلَّهِ فَهُوَ يَصِلُ إِلَى شُرَكَائِهِمْ سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ [الأنعام: ١٣٦].
“Dan mereka menetapkan bagi Allah sebagian dari hasil tanaman dan ternak yang telah Dia ciptakan, lalu mereka berkata: Ini untuk Allah menurut persangkaan mereka, dan ini untuk sekutu-sekutu kami. Maka apa yang untuk sekutu-sekutu mereka itu tidak sampai kepada Allah; dan apa yang untuk Allah, maka itu sampai kepada sekutu-sekutu mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu.” (Surah Al-An‘am: 136).
٣) أما أثناء العمل، فإن علامة إخلاصه أن يستمرَّ في عمله لله – تعالى – دون أن ينتظرَ الشكرَ والثناءَ من الناس، فلا يكونُ تشجيعُ الناس له سببًا في زيادة أعماله الصالحة، ولا ذمُّ الناس له سببًا في التقصير في تلك الطاعات، وإنما هو يبتغي وجهَ الله فحسب، لا غبارَ عليه أن يفرحَ بمدحِ الناس له، إذ لن يؤثرَ ذلك في إخلاصه – إن شاء الله – فعن أبي ذر قال: قيل لرسول الله صلى الله عليه وسلم: أرأيتَ الرجل يعملُ العملَ من الخير ويحمده الناسُ عليه؟ قال:
3) Adapun ketika sedang beramal, tanda keikhlasan adalah ia tetap melanjutkan amalnya karena Allah Ta‘ālā tanpa menunggu ucapan terima kasih atau pujian dari manusia. Dukungan atau pujian manusia tidak menjadi penyebab bertambahnya amal salehnya, dan celaan manusia tidak menjadi alasan baginya untuk mengurangi ketaatan itu. Ia hanya mengharap wajah Allah semata. Tidak mengapa ia merasa senang ketika dipuji oleh manusia, selama hal itu tidak memengaruhi keikhlasannya — insya Allah. Dari Abu Dzar, ia berkata: Dikatakan kepada Rasulullah ﷺ: “Bagaimana pendapat Anda tentang seseorang yang mengerjakan suatu amal kebaikan lalu manusia memujinya?” Beliau bersabda :
تلك عاجل بُشرى المؤمن
“Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi seorang mukmin.”1.
المهم ألا يكون ذلك سببًا في أن يغيرَ من طبيعة عمله، إلا إذا كان يتنافسُ على الخير لما يراه من غيره من إقبالٍ شديدٍ على الطاعة أفضل منه، فيكون التسابق على الأعمال الصالحة منهما محمودًا.
Yang penting, pujian itu tidak menjadi sebab ia mengubah sifat amalnya, kecuali jika ia berlomba dalam kebaikan karena melihat orang lain sangat bersemangat dalam ketaatan yang lebih baik darinya, maka persaingan dalam amal saleh seperti ini terpuji.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : Alukah
Leave a Reply