Makna-Makna Pendidikan Surah Al-Ikhlash (5)



دلالات تربوية من سورة الإخلاص

Makna-Makna Pendidikan dari Surah Al-Ikhlash (Bagian Kelima)

Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu

Artikel Makna Pendidikan Surah Al-Ikhlash ini termasuk dalam Kategori Tadabbur al Quran

٣) وفي ذلك فائدةٌ أخرى، وهي أن الإنسان المؤمن يكون في راحة من أمره، لا يعاني كبدَ ومشقةَ تحصيلِ النتائج؛ لأنه باتكاله على الله بعد أن نفذ أمره – سبحانه – في الأخذ بالأسباب الشرعية – يكون قد حقق النتيجة الشرعية بصرف النظر عن النتيجة الكونية، فالنتيجة الشرعية هي رضا الله – تعالى – وتتحصل بتنفيذ أمره، مثلَ قوله – تعالى -:

3) Ada faedah lain dari pembahasan ini, yaitu bahwa seorang mukmin akan berada dalam ketenangan dan kenyamanan hidupnya, tidak merasa terbebani oleh kesulitan dan kepayahan dalam memperoleh hasil. Sebab, dengan bersandar kepada Allah setelah melaksanakan perintah-Nya dalam mengambil sebab-sebab yang syar’i, ia telah meraih hasil yang syar’i terlepas dari hasil secara kauni. Hasil syar’i adalah ridha Allah Ta‘ālā, dan itu tercapai dengan melaksanakan perintah-Nya, seperti Firman-Nya:

﴿ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ ﴾ [الأعراف: ٣١]،

“Makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Surah Al-A‘raf: 31),

وقوله سبحانه: ﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ ﴾ [البقرة: ١٧٢]، 

dan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah dari rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepada kalian, dan bersyukurlah kepada Allah jika hanya kepada-Nya kalian menyembah.” (Surah Al-Baqarah: 172).

فإذا أكلتَ الطيبات تنفيذًا لأمر الله – تعالى – تكون قد أطعتَه ونلتَ بذلك رضاه، وإن كان المقصد من ذلك هو أن تتقوى على عبادة الله – تعالى – إلا أنه قد حصل عكس ذلك بأن كان هناك داءٌ في هذا الطعام فمرضتَ بسببه، فإنك قد نجحتَ شرعًا، وإن لم تنجح كونًا؛ لأنك قد مرضتَ، 

Jika engkau memakan makanan yang baik sebagai pelaksanaan perintah Allah, berarti engkau telah taat kepada-Nya dan meraih ridha-Nya. Walaupun tujuanmu adalah untuk menguatkan diri agar bisa beribadah kepada Allah Ta‘ālā, namun ternyata yang terjadi sebaliknya — misalnya, dalam makanan itu ada penyakit sehingga engkau jatuh sakit — maka secara syar’i engkau telah berhasil, meskipun secara kauni engkau tidak berhasil karena sakit tersebut.

فهذه هي إرادة الله – تعالى – التي ينبغي عليك أن تُسلم لها وترضى بها، وهذا المثال ينطبق كذلك في مذاكرة الطالب لدرسه، وتطبيب الطبيب لمريضه، وتأديب الأب لابنه، وكسب العامل رزقَه، وإرضاء المرأة زوجها…إلخ، إذًا عليك – أخي المسلم – أن تشغل بالَك بتحصيل الأسباب التي ترضي خالقك ورازقك وإلهك، ولا تشغل بالك بالنتائج التي يقدرها الله – تعالى.

Itu adalah kehendak Allah Ta‘ālā yang wajib engkau terima dan ridhai. Contoh ini berlaku juga dalam belajar seorang siswa, upaya dokter mengobati pasiennya, ayah mendidik anaknya, pekerja mencari nafkah, istri berusaha menyenangkan suaminya, dan seterusnya. Maka, wahai saudaraku, fokuskan pikiranmu untuk mengambil sebab-sebab yang mendatangkan ridha Pencipta, Pemberi rezeki, dan Ilahmu, dan jangan sibukkan pikiranmu dengan hasil yang Allah Ta‘ālā takdirkan.

ثالثًا: تفرده بالملك واستغنائه عن خلقه

Ketiga: Keesaan-Nya dalam Kepemilikan dan Tidak Membutuhkan Makhluk-Nya

١) إن الله سبحانه غنيٌّ عن الولد والوالد، فهو مستغنٍ بنفسه عن خلقه، وهذا أمر بديهي للعقل البشري، إذ لو كان له ولد لكان ذلك دالًّا على انتهاء عمره، لأن الولد يرث عن والده ويكمل مسيرة الحياة التي بدأها، إذن فلماذا يرغب الإنسان في الولد؟ الإنسان يتمنى أمورًا كثيرة في هذه الدنيا، فيحقق بعضها ويفشل في تحقيق البعض الآخر، لذا كان تمني الولد هو أمل أن يحقق هذا الولد ما لم يتمكن الأب من تحقيقه، إذ لو علم الأب أن ابنه سوف يكون فاشلًا في الحياة لما تمنى أن يولد، إنما هو يأمل في ابنه وولده أن يكون أفضل منه، ويرتقي أعلى المراتب، ويحقق نجاحًا باهرًا في حياته، قد يكون الأبُ قد عجز عن تحصيله، ولو استشعر الأب نجاحه في نفسه، فإنه كذلك يعلم علمًا يقينيًّا أن هذا النجاح سوف يتلاشى بعد وفاته، إذا لم يتمكن من توريثه لغيره، وخير من يرث هذا النجاح – سواءٌ في العلم أو المال أو السلطة… إلخ – هو الابن.

1) Sesungguhnya Allah Subḥānahu wa Ta‘ālā Maha Kaya, tidak membutuhkan anak maupun orang tua. Dia berdiri sendiri tanpa bergantung kepada makhluk-Nya. Hal ini adalah perkara yang jelas bagi akal manusia. Seandainya Dia memiliki anak, hal itu menunjukkan akhir dari keberadaan-Nya, karena anak akan mewarisi dari orang tuanya dan melanjutkan perjalanan hidup yang telah dimulai. Lalu mengapa manusia menginginkan anak? Manusia memiliki banyak harapan di dunia ini, sebagian tercapai dan sebagian lainnya gagal. Maka keinginan memiliki anak adalah harapan agar anak tersebut dapat meraih apa yang tidak mampu diraih oleh sang ayah. Jika seorang ayah mengetahui bahwa anaknya kelak akan gagal dalam hidup, tentu ia tidak akan menginginkan kelahirannya. Ia berharap anaknya menjadi lebih baik darinya, meraih derajat tertinggi, dan mencapai kesuksesan gemilang yang mungkin sang ayah tidak mampu meraihnya. Meskipun seorang ayah merasa telah sukses, ia tetap meyakini bahwa kesuksesan itu akan sirna setelah kematiannya jika ia tidak dapat mewariskannya kepada orang lain. Dan pewaris terbaik dari kesuksesan tersebut — baik dalam ilmu, harta, kekuasaan, dan lainnya — adalah anak.

فإذا نظرنا في هذه الأسباب وتأملنا فيها لعلمنا أن الله – تعالى – مستغنٍ عنها بنفسه جميعًا، فهو – سبحانه – ليست له نهاية فهو الأول والآخر، وهو – سبحانه – لا يُورثُ، وإنما هو – سبحانه – يرث الأرض ومن عليها، فهو الوارث وليس الموروث، كما أنه – سبحانه – لا يعجز عن تحقيق شيء، فإنما أمره إذا أراد شيئًا أن يقول له كن فيكون.

Jika kita melihat dan merenungkan semua sebab ini, kita akan mengetahui bahwa Allah Ta‘ālā sama sekali tidak membutuhkannya. Dia tidak memiliki akhir; Dia adalah Al-Awwal (Yang Pertama) dan Al-Akhir (Yang Terakhir). Dia tidak diwarisi, tetapi justru Dia-lah yang mewarisi bumi dan semua yang ada di atasnya. Dia adalah Al-Wārits (Pewaris), bukan yang diwarisi. Dia juga tidak lemah untuk mewujudkan sesuatu, karena sesungguhnya perintah-Nya, apabila Dia menghendaki sesuatu, hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka jadilah ia.

Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah

Sumber : Alukah



Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*


This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.