الأرض المقدسة بين اليهودية والنصرانية والإسلام
Tanah Suci antara Yudaisme, Kekristenan, dan Islam (5)
Oleh : Hudzaifah Samir al Kahlut
Dibawah Bimbingan : DR. Ahmad Jaber al-‘Amshi
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Rangkaian terjemahan tesis ini dapat anda ikuti pada Kategori : Tanah Suci antara Yudaisme, Kekristenan, dan Islam
المطلب الأول
Pembahasan Pertama
معنى القدسية والبركة لغة
Makna al-Qudsiyyah (Kekudusan) dan Barakah Secara Bahasa
أولًا: معنى القدسية:
Pertama: Makna Kekudusan:
القدسية: ” (قاف ودال وسين) أصل صحيح، وهو من الكلام الشرعيِّ الإسلاميِّ، و يدلُّ على الطُّهرِ، ومن ذلك: الأرضُ المقدَّسةُ، أي: المطهَّرةُ، وتُسمَّى الجنَّةُ حظيرةَ القُدس، أي: الطُّهرِ، وجِبريلُ عليه السلام روحُ القُدس، وكلُّ ذلك معناه واحد”. (١)
Kata al-qudsiyyah (huruf qaf–dal–sin) memiliki akar yang sahih; ia termasuk istilah syar‘i dalam Islam dan menunjukkan makna kesucian. Dari sini, frasa al-ardh al-muqaddasah berarti “tanah yang disucikan”; surga juga disebut hadhīrat al-quds (kawasan kesucian), yakni tempat yang suci; dan Jibril ‘alaihissalam disebut Rūḥ al-Quds. Semua itu memiliki makna yang sama. 1
وفي صفةِ اللهِ تعالى: القُدُّوس، فقولُه من القُدس وهو الطهارة، قال الأزهريُّ: لم يجئْ في صفاتِ اللهِ عزَّ وجلَّ ـ أي في هذا الباب ـ غيرُ القُدُّوسِ وهو الطاهرُ المُنزَّهُ عن العيوبِ والنقائصِ، والتقديسُ: التطهيرُ والتنزيهُ، وقدَّسَ: أي طهَّرَ؛ وفي التنزيل: ﴿وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ﴾ (البقرة/٣٠)، قال الزجّاج: معنى نُقَدِّسُ لك: أي نُطَهِّرُ أنفسَنا لك وكذلك نفعل بمن أطاعك نُقَدِّسُه أي نُطَهِّرُه. (٢)(٣)(٤)
Pada sifat Allah Ta‘ala terdapat nama al-Quddūs, yaitu bentuk dari kata al-quds yang berarti kesucian. Al-Azhari berkata: dalam pembahasan sifat-sifat Allah—pada bab ini—yang datang hanyalah sebutan al-Quddūs, yakni Yang Mahasuci, yang disucikan dari segala aib dan kekurangan. 2 Adapun at-taqdīs bermakna penyucian dan pensucian (tanzīh), sedangkan qaddasa berarti “menyucikan”. Dalam Al Quran :
وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ
“Dan kami bertasbih memuji-Mu dan kami menyucikan untuk-Mu” (Surah Al-Baqarah ayat 30).
Az-Zajjāj menjelaskan: makna nuqaddisu laka ialah “kami menyucikan diri kami untuk-Mu; demikian pula kami menyucikan orang yang taat kepada-Mu.” 3 Ungkapan “kami menyucikannya” bermakna “kami memurnikannya dari kotoran dan cela.” 4
“وحكى ابن الأعرابي(١): (لا قدَّسه الله) أي: لا بارك عليه، قال: والمقدَّس المبارك، و﴿الأرْضُ المُقَدَّسَةُ﴾ (المائدة/٢١): المطهَّرة، وقال الفراء(٢): الأرض المقدَّسة: الطاهرة، وهي دمشق(٣)، وفلسطين وبعض الأردن، وقال: أرض مقدَّسة، أي: مباركة، وهو قول قتادة(٤)، وإليه ذهب ابن الأعرابي، وقال الشاعر مخاطبًا ناقته: لا تَرِمْ حتى تُبَلِّغَني أرْضَ القُدُس * وتُسقِيَ من خِبْرِ مَاءِ قُدْسٍ، أراد الأرض المقدَّسة(٥).
Ibnu al-A‘rabi 5 meriwayatkan: ucapan “lā qaddasahullāh” artinya “semoga Allah tidak memberkahinya”. Ia berkata: al-muqaddas berarti “yang diberkahi”. Adapun firman Allah Ta‘ala ﴿الأرْضُ المُقَدَّسَةُ﴾ (Surah Al-Maidah ayat 21) bermakna “tanah yang disucikan”. Al-Farrā’ 6 berpendapat: al-ardh al-muqaddasah maksudnya “tanah yang suci”, yaitu Damaskus 7 , Palestina, dan sebagian Yordania. Ia juga berkata: “tanah suci” maksudnya “tanah yang penuh keberkahan”. Demikian pula pendapat Qatādah . 8 , dan ke sanalah arah pandangan Ibnu al-A‘rabi. Seorang penyair pun berkata kepada untanya: “Janganlah engkau berhenti hingga mengantarkanku ke tanah al-Quds, dan engkau memberi minum dari air segar Quds.” Maksudnya adalah tanah yang diberkahi, yaitu tanah suci (Palestina)9
أما في البلدان: “قُدس بالضم ثم السكون، قال الليث(٦): هو جبل عظيم بأرض نجد”. (٧)
Adapun dalam penamaan tempat: “Quds” dengan dhammah lalu sukun. Al-Layts 10 berkata: ia adalah sebuah gunung besar di wilayah Najd. 11
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : Universitas Islam Gaza
Catatan Kaki
- Rujukan: Mu‘jam Maqāyīs al-Lughah, Abu al-Ḥusain Aḥmad bin Fāris bin Zakariyā ibn Fāris; tahqiq: ‘Abd al-Salām Muḥammad Hārūn; Dar al-Fikr, cet. 1, 1399 H/1979 M, jilid 5 hlm. 64, dengan sedikit penyesuaian.
- Tentang al-Azhari (282–370 H): Abu Manṣūr Muḥammad bin Aḥmad al-Azhari al-Harawi, pakar besar bahasa dan adab (sastra); mula-mula masyhur dalam kajian dialek, kemudian mendalam dalam bahasa Arab; ia melakukan rihlah, mendatangi kabilah-kabilah, dan memperluas periwayatan tentang mereka. Lihat: al-Ziriklī, al-A‘lam, Dar al-‘Ilm li-l-Malāyīn, Beirut, cet. 15, 2002 M, jilid 5 hlm. 311, dengan penyesuaian ringan.
- Tentang az-Zajjāj (241–311 H): Ibrāhīm bin as-Sarī bin Sahl, Abu Isḥāq; ahli nahwu dan bahasa, lahir dan wafat di Baghdad. Pada masa mudanya ia menjahit kaca (zujāj), lalu condong ke ilmu nahwu dan belajar kepada al-Mubarrad. Ia kemudian menjadi pendidik putra menteri ‘Ubaydullāh bin Sulaimān (wazir al-Mu‘taḍid). Di masa itu ia memperoleh kedudukan dan harta; di antara karyanya: Ma‘ānī al-Qur’ān, Khalq al-Insān, al-Amālī, dan I‘rāb al-Qur’ān. Lihat: al-Ziriklī, al-A‘lam, 1/40, dengan penyesuaian.
- Rujukan: Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab, tahqiq ‘Abdullāh al-Kabīr, Muḥammad Ḥasballāh, dan Hāshim al-Shādhilī; Dār al-Ma‘ārif, Kairo, (tanpa keterangan cetakan), 5/3549, dengan penyesuaian.
- Tentang Ibn al-A‘rabi (150–231 H): Abu ‘Abdullāh Muḥammad bin Ziyād bin al-A‘rabi al-Hāshimī, mawlā mereka; seorang imam bahasa, hafizh, jujur, tsiqah; mendengar dari Ibn Nubātah, Ibn ‘Uyaynah, Ibn Asad, dan lainnya. Sahabat al-Kisā’ī dalam nahwu, dan memiliki karya banyak. Lihat: al-Dhahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā’, 10/687.
- Tentang al-Farrā’ (144–207 H): Abū Zakariyyā Yaḥyā bin Ziyād bin ‘Abdullāh bin Manẓūr al-Asadī, ahli nahwu Kufah, murid al-Kisā’ī, guru banyak orang. Ia dikenal sebagai “Amīr al-Mu’minīn dalam bidang nahwu”. Lihat: al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā’, 10/118–121.
- Damaskus: ibu kota Syam, sering disebut dalam kitab-kitab tafsir dan tarikh. Lihat: Mu‘jam al-Buldān, 2/463.
- Tentang Qatādah bin Di‘āmah as-Sadūsī (61–118 H): seorang ahli tafsir besar Basrah, hafizh hadits, ahli nasab, murid Anas bin Mālik. Wafat di tahun 117 H. Lihat: al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā’, 5/189.
- Bait syair ini disebutkan oleh para ahli bahasa sebagai kiasan untuk “tanah suci”, yaitu Palestina. Lihat: Lisān al-‘Arab, 5/3550.
- Tentang al-Layts bin Sa‘d (94–175 H): imam ahli fiqh Mesir, mufti, ahli hadits, hafizh, alim besar, dianggap setara dengan Mālik dan al-Tsawrī. Ia termasuk orang besar Mesir, dan wafat di sana tahun 175 H. Lihat: al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā’, 8/136–140.
- Rujukan: Mu‘jam al-Buldān, Yāqūt al-Ḥamawī, Dār Ṣādir, Beirut, 1397 H/1977 M, 5/352.
Leave a Reply