الأرض المقدسة بين اليهودية والنصرانية والإسلام
Tanah Suci antara Yudaisme, Kekristenan, dan Islam (9)
Oleh : Hudzaifah Samir al Kahlut
Dibawah Bimbingan : DR. Ahmad Jaber al-‘Amshi
Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Rangkaian terjemahan tesis ini dapat anda ikuti pada Kategori : Tanah Suci antara Yudaisme, Kekristenan, dan Islam
المطلب الثاني
Pembahasan Kedua
معنى القدسية والبركة اصطلاحًا
Makna Kekudusan dan Barakah Secara Istilah
لا شك أن هناك ارتباطًا وثيقًا بين المعنى اللغوي والاصطلاحي للقدسية والبركة، حيث إن المفسرين للقرآن الكريم يعتمدون على اللغة العربية وأقوال العرب كركيزة أساسية لفهم المعاني القرآنية التي جاء فيها مصطلحات البركة والتقديس؛ لأن القرآن نزل ﴿بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ﴾ (الشعراء/١٩٥).
Tidak diragukan lagi bahwa terdapat hubungan erat antara makna bahasa dan makna istilah dari qudsiyyah (kekudusan) dan barakah. Para mufasir Al Quran sangat bergantung pada bahasa Arab dan ungkapan-ungkapan orang Arab sebagai landasan utama dalam memahami makna-makna Al Quran yang di dalamnya terdapat istilah barakah dan taqdīs. Sebab Al Quran diturunkan dengan ﴿بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُبِينٍ﴾ (Surah asy-Syu‘arā’ ayat 195).
أولًا: القدسية في الاصطلاح الشرعي:
Pertama: Kekudusan dalam Istilah Syar‘i:
قال القرطبي(١) رحمه الله: “لقد جعل الله لبعض الأماكن زيادة فضل على بعض؛ كما قد جعل لبعض الأزمان زيادة فضل على بعض، ولِبعض الحيوان كذلك، ولِبعض يُبْجِّل أن يُفَضِّل ما شاء، وعلى هذا فلا اعتبار بكونه مقدسًا بإخراج الكافرين وإسكان المؤمنين؛ فقد شاركه في ذلك غيره”(٢).
Al-Qurṭubī raḥimahullāh berkata: “Sesungguhnya Allah telah menjadikan sebagian tempat memiliki keutamaan lebih dibanding sebagian lainnya, sebagaimana Dia menjadikan sebagian waktu lebih utama dari sebagian lainnya, juga sebagian hewan. Allah memuliakan dan memberi keutamaan pada apa saja yang Dia kehendaki. Oleh karena itu, tidak dapat dijadikan ukuran bahwa suatu tempat disebut suci hanya karena diusir darinya orang kafir dan ditinggali oleh orang-orang beriman; sebab dalam hal itu ada tempat lain yang sepadan.” 1 2
لذا قال مجاهد(٣): “الأرض المقدسة هي المباركة، والبركة التطهير من القحوط والجوع ونحوه.” وقال: هي الطور وما حوله، وروي عن قتادة: أنها الشام كلها، وعن ابن عباس: أنها أريحا.
Oleh karena itu, Mujāhid berkata: “Tanah suci adalah tanah yang penuh barakah, dan barakah itu berarti kesucian dari kekeringan, kelaparan, dan semisalnya.” Ia juga berkata: “Tanah suci itu adalah Gunung Ṭūr dan sekitarnya.” Qatādah meriwayatkan bahwa tanah itu adalah seluruh negeri Syam. 3
وعن ابن عباس: أنها أريحاء(١)، وعن الزجاج وغيره هي: دمشق وفلسطين وبعض الأردن، وقول قتادة: أي الشام – يجمع هذا كله(٢).
Sedangkan Ibnu ‘Abbās berkata: “Itu adalah kota Ariḥā (Yerikho).” 4 Sedangkan menurut al-Zujāj dan selainnya: “Itu adalah Damaskus, Palestina, dan sebagian wilayah Yordania.” Sementara Qatādah berkata: “Yang dimaksud adalah seluruh negeri Syam.” Hal ini mencakup semuanya. 5
وقال الضحاك(٣): هي إيلياء وبيت المقدس، وقال كعب(٤): وجدت في كتاب الله المنزل أن الشام كنز الله من أرضه، وبها كثرة من عباده(٥).
Al-Ḍaḥḥāk berkata: “Yang dimaksud adalah Īliyā’ (Yerusalem) dan Baitul Maqdis.” 6 Dan Ka‘b berkata: “Aku dapati dalam Kitab Allah yang diturunkan bahwa negeri Syam adalah perbendaharaan Allah di bumi-Nya, dan di sana terdapat banyak hamba-Nya.” 7 8
قال الحرالي(٦): “القدس طهارة دائمة لا يلحقها نجس ظاهر ولا رجس باطن”(٧).
Al-Ḥarālī berkata: “Al-Quds adalah kesucian yang kekal; tidak akan terkena oleh najis lahir maupun kotoran batin.” 9
وقيل في التقديس في حق الله ﷺ: هو لغة التطهير؛ واصطلاحًا: تنزيه الحق ﷺ عن كل ما لا يليق بجنابه، وعن النقائص الكونية، وعن جميع ما يُعد كمالًا بالنسبة إلى غيره من الموجودات، مجردة كانت أو غير مجردة، وهو أخص من التسبيح كيفية وكمية، أي أشد تنزيهًا منه وأكثر؛ ولذلك أُثر عنه في قولهم: سبوح قدوس(١).
Dikatakan mengenai taqdīs dalam hak Allah ﷺ: secara bahasa berarti pensucian; sedangkan secara istilah, artinya mensucikan Allah dari segala sesuatu yang tidak layak bagi-Nya, dari segala kekurangan alamiah, dan dari semua hal yang dianggap sempurna bagi selain-Nya dari makhluk, baik yang bersifat abstrak maupun nyata. Maknanya lebih khusus dibanding tasbīḥ baik secara kualitas maupun kuantitas, yakni lebih tinggi tingkat pensuciannya. Karena itu dikenal dalam ucapan mereka: “Subbūḥ Quddūs.” 10
ومن هنا فإن التقديس يستعمل للأماكن، ومن ذلك: ﴿ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ﴾ (المائدة/٢١)، يعني: أرض الشام، كما يستعمل التقديس في حق الآدميين؛ فيقال: فلان رجل مقدس؛ إذا أُريد تبعيده عن مسقطات العدالة ووصفه بالخير، ولا يقال: رجل مسبح، بل ربما يُستعمل في غير ذوي العقول أيضًا، فيقال: قدس الله روح فلان، ولا يقال: سبحه(٢).
Dari sini, istilah taqdīs juga digunakan untuk tempat, seperti dalam firman Allah: ﴿ادْخُلُوا الْأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ﴾ (Surah al-Mā’idah: 21), yaitu negeri Syam. Kata ini juga digunakan untuk manusia; dikatakan: “Si Fulan adalah orang yang suci (muqaddas),” jika dimaksudkan untuk menyifatinya dengan keadilan dan kebaikan. Tidak dikatakan: “Si Fulan orang yang bertasbih.” Bahkan istilah ini kadang digunakan untuk yang bukan manusia, seperti ucapan: “Qaddasallāh rūḥa fulān” (Semoga Allah mensucikan ruh si fulan), dan tidak dikatakan: “Sabbaha.” 11
إذًا، يتضح مما سبق أن المعنى الاصطلاحي الشرعي للقدسية والتقديس لا ينفك عن معناهما اللغوي إذ هو: طهر وتشريف ثابت في ذات الله ﷺ، فهو القدوس، وكذلك يبهل الله الخاصة من عباده وأرضه وفق مقتضيات حكمته ﷺ.
Dengan demikian, jelaslah dari uraian di atas bahwa makna istilah syar‘i dari qudsiyyah dan taqdīs tidak terpisah dari makna bahasa keduanya, yakni: kesucian dan kemuliaan yang tetap ada pada Dzat Allah ﷺ, karena Dia adalah al-Quddūs. Demikian pula Allah menganugerahkan hal tersebut kepada hamba-hamba pilihan-Nya dan bumi-Nya, sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya ﷺ.
Bersambung ke bagian berikutnya in sya Allah
Sumber : Universitas Islam Gaza
Catatan Kaki
- Tentang al-Qurṭubī (w. 671 H): Muḥammad bin Aḥmad bin Abī Bakr bin Faraj al-Anṣārī al-Khazrajī al-Andalusī, Abū ‘Abdillāh al-Qurṭubī, salah satu mufassir besar. Ia dikenal dengan ketakwaan dan kezuhudannya, serta merupakan penulis tafsir terkenal al-Jāmi‘ li-Aḥkām al-Qur’ān. Lihat: al-Ziriklī, al-A‘lam, 5/322.
- Lihat juga: al-Qur’ān al-Karīm, dengan tahqīq Hishām al-Bukhārī, Dār ‘Ālam al-Kutub, Riyāḍ, 1423 H/2003 M, jilid 11 hlm. 175.
- Tentang Mujāhid bin Jabr al-Aswad al-Makkī (21–104 H): Abū al-Ḥajjāj, seorang imam, guru para qārī’ dan mufasir. Ia adalah murid sahabat besar seperti Ibnu ‘Abbās, Abū Hurairah, ‘Ā’isyah, dan Ibnu ‘Umar. Mujāhid termasuk ahli tafsir yang diakui, dan Imam al-Syāfi‘ī berkata: “Jika datang tafsir dari Mujāhid, maka cukuplah dengannya.” Lihat: al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā’, 4/449–454.
- Ariḥā: sebuah kota di lembah Yordania, terletak antara Baitul Maqdis dan sungai Yordan, dikenal sejak zaman kuno. Disebutkan dalam literatur tafsir sebagai bagian dari tanah suci. Lihat: Mu‘jam al-Buldān, 6/165.
- Lihat: al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li-Aḥkām al-Qur’ān, 6/125.
- Tentang al-Ḍaḥḥāk bin Muzāḥim al-Hilālī (w. 105 H): Abū Muhammad, seorang ahli tafsir, banyak meriwayatkan hadits, dikenal sebagai orang yang terpercaya namun bukan sahabat. Lihat: al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā’, 5/322.
- Tentang Ka‘b bin Māti‘ al-Ḥimyarī al-Yamānī (w. 32 H), dikenal dengan Ka‘b al-Aḥbār, seorang ulama Yahudi yang masuk Islam di masa ‘Umar. Ia meriwayatkan banyak atsar tentang keutamaan Syam. Lihat: al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā’, 3/489.
- Lihat juga: al-Ḥalabī, al-Sīrah al-Ḥalabiyyah, 1/269.
- Tentang al-Ḥarālī (w. 637 H): Abū al-Ḥasan ‘Alī bin Aḥmad bin Ḥasan al-Ḥarālī al-Andalusī, seorang ulama Andalusia, pakar tafsir, bahasa, dan balāghah. Ia tinggal di Ḥamā, menulis banyak karya dalam tafsir, fiqh, dan nasihat. Lihat: al-Dzahabī, Siyar A‘lām al-Nubalā’, 7/106.
- Lihat: Dustūr al-‘Ulamā’ atau Jāmi‘ al-‘Ulūm fī Iṣṭilāḥāt al-Funūn, karya al-Qāḍī ‘Abd Rabb al-Nabī bin ‘Abd Rabb al-Rasūl al-Aḥmad al-Nakrawī, Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut, cet. 1, 1421 H/2000 M, 1/232.
- Lihat: Abū Hilāl al-‘Askarī, Mu‘jam al-Furūq al-Lughawiyyah, Mu’assasat al-Nashr al-Islāmī, cet. 1, 1412 H, hlm. 125.
Leave a Reply