Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Namun, keputusasaan manusia dalam mengetahui tahapan makhluk secara rinci, baik di masa lalu maupun masa depan, disertai dengan keyakinan global yang setiap akal pasti mengakuinya—suka atau tidak suka. Yaitu bahwa betapapun panjangnya rangkaian sebab-sebab yang mungkin, baik diperkirakan berhingga atau tak berhingga, tetap saja untuk memahaminya dan menjelaskan keberadaannya, harus ditetapkan adanya sesuatu lain yang membawa pada dirinya sendiri sebab keberadaan dan kelangsungannya. Dialah yang menjadi Yang Pertama yang hakiki, yang tidak ada sesuatu pun sebelumnya. Jika tidak demikian, maka semua kemungkinan itu akan tetap tersembunyi (jika tidak memiliki permulaan dengan keberadaan yang mandiri).
Kita mendengar dan membaca berbagai syubhat yang telah dikemukakan sejak dahulu hingga kini, yang coba dipakai oleh sebagian orang untuk menjelaskan keberadaan alam semesta. Di sini kita akan memaparkan sebagian syubhat tersebut, kemudian menjelaskan kebatilannya.
Setelah ditegaskan dalil Al Quran yang berbicara kepada akal dan mewajibkannya mengakui adanya Sang Pencipta yang berhak disembah, maka mengatakan bahwa alam semesta ini tercipta secara kebetulan tanpa Pencipta, bukan hanya sekadar perkataan yang jauh dari kebenaran, melainkan juga perkataan yang jauh dari logika sehat. Perkataan itu menjerumuskan pengucapnya ke dalam golongan orang-orang yang kehilangan akal, atau hampir kehilangannya. Sebab mereka membangkang terhadap bukti yang tidak mungkin ditolak oleh akal sehat.
Ada yang berkata: “Seandainya enam ekor kera duduk di depan mesin ketik, lalu terus-menerus memukul tuts-tutsnya selama milyaran tahun, maka tidak mustahil pada sebagian lembaran terakhir yang ditulis mereka terdapat sebuah puisi karya Shakespeare. Demikian pula alam semesta yang ada sekarang, hanyalah akibat dari proses-proses buta yang terus berlangsung dalam ‘materi’ selama milyaran tahun.”