Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Ahlus Sunnah dan para pengikut hadits menetapkan sifat istiwā’ Allah di atas ‘Arsy, tidak menolaknya dan tidak pula menanyakan bagaimana caranya. Hal ini sebagaimana dinukil oleh Abu al-Hasan al-Asy‘ari rahimahullah.
Ahli bahasa juga menegaskan bahwa para ulama Arab yang fitrahnya tidak ternodai filsafat asing menolak menafsirkan istawā dengan istawlà (menguasai). Daud bin ‘Ali al-Ashbahani berkata: Aku pernah berada di majelis Ibnu al-A‘rabi. Datang seseorang lalu bertanya: “Apa makna firman Allah ﷻ (ar-Rahman ‘ala al-‘Arsy istawā)?” Ibnu al-A‘rabi menjawab: “Dia berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Dia kabarkan.” Orang itu berkata: “Wahai Abu Abdullah, maknanya hanyalah menguasai.” Ibnu al-A‘rabi berkata: “Dari mana engkau tahu? Orang Arab tidak mengatakan ‘istawlà’ atas sesuatu kecuali bila ada pihak yang menentang, lalu yang menang dikatakan telah menguasainya. Tidakkah engkau mendengar perkataan an-Nabighah:
‘Kecuali untuk orang sepertimu, atau orang yang engkau telah mendahuluinya, Seperti kuda pacu ketika menguasai garis akhir.’
Metode salaf shalih adalah memahami makna istiwā’ dalam bahasa Arab, namun tidak membahas bagaimana caranya, serta melarang bertanya tentang hal tersebut. Ketika Imam Malik ditanya: “Ar-Rahman istawā di atas ‘Arsy, bagaimana caranya?”
Maka Imam Malik menunduk, wajahnya berubah, lalu beliau berkata: “Ar-Rahman beristiwa di atas ‘Arsy sebagaimana Dia sifatkan diri-Nya. Tidak boleh dikatakan bagaimana. Bagaimana itu tidak bisa dijangkau. Engkau adalah ahli bid‘ah. Keluarkan dia.”
Dalam riwayat lain, Malik berkata: “Kaif (bagaimana) tidak dapat dipahami, istiwā’ itu tidak asing (maknanya diketahui), mengimaninya adalah wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid‘ah.”
Ucapan beliau “tidak asing” maksudnya adalah maknanya diketahui, yaitu sesuai dengan pemahaman bahasa Arab. Karena itu banyak ulama yang menukil perkataan Malik dengan redaksi: “Istiwa’ itu maknanya jelas, bagaimana caranya tidak diketahui, beriman kepadanya wajib, dan bertanya tentangnya adalah bid‘ah.” Tidak ada perbedaan hakiki antara “istiwa’ ma‘lum” (diketahui) dengan “ghair majhul” (tidak asing), karena maknanya sama.