Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Makna yang ditunjukkan ayat tersebut adalah bahwa Allah memiliki sifat mendengar dan melihat. Namun pendengaran dan penglihatan Allah sama sekali tidak menyerupai pendengaran dan penglihatan makhluk. Sifat mendengar dan melihat Allah sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya, sementara pendengaran dan penglihatan makhluk sesuai dengan keadaan mereka. Maka tidak ada persamaan antara sifat Allah dan sifat makhluk.
Landasan ketiga: yang menjadi pijakan dalam pembahasan sifat-sifat Allah – sebagaimana dikatakan Syaikh asy-Syinqithi – adalah memutus segala harapan untuk mengetahui hakikat “bagaimana”-nya (kaifiyyah). Karena hakikat kaifiyyah itu mustahil dapat diketahui. Hal ini telah dinyatakan oleh Allah dalam Surah Thaha, firman-Nya:
﴿يعلم ما بين أيديهم وما خلفهم ولا يحيطون به علماً﴾
(طه: ١١٠)
“Dia mengetahui apa yang ada di hadapan mereka dan apa yang ada di belakang mereka, sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi-Nya.” (Surah Thaha: 110)
Dalam firman-Nya “wa la yuhithuna bihi ‘ilma” (dan mereka tidak dapat meliputi-Nya dengan ilmu), kata kerja “yuhithuna” berbentuk fi’il mudhari’. Para ahli nahwu menyebut bahwa fi’il mudhari’, fi’il madhi, dan fi’il amr dapat dianalisis ke dalam unsur (masdar dan zaman/waktu). Para ulama balaghah dalam bahasan isti‘arah tabi‘iyyah menambahkan bahwa fi’il itu juga mengandung unsur nisbah. Maka dalam kata “yuhithuna” terkandung makna masdar “al-ihathah” (peliputan). Karena itu penafian dalam ayat ini diarahkan pada masdar yang tersembunyi dalam fi’il tersebut, sehingga bermakna: “Tidak ada sama sekali peliputan ilmu bagi makhluk terhadap Rabb langit dan bumi.”
Dengan demikian, segala bentuk peliputan terhadap kaifiyyah Allah ﷻ mustahil bagi makhluk. Peliputan ilmu manusia terhadap Rabbul ‘Alamin itu dinafikan secara mutlak.
Penjelasan Syaikh al-‘Allamah ini – tentang mustahilnya mengetahui bagaimana hakikat Allah atau bagaimana sifat-sifat-Nya – adalah logika yang benar. Sebab akal manusia, sekalipun mencapai tingkat kecerdasan tertinggi, tetaplah terbatas dan lemah untuk memahami hakikat sesuatu secara sempurna.
Buktinya, manusia tidak mampu mengetahui hakikat ruh yang berada di dalam dirinya. Ia juga tidak mampu memahami hakikat cahaya yang justru merupakan sesuatu yang paling jelas baginya. Ia tidak mampu menjangkau hakikat materi, bahkan hakikat atom-atom yang menjadi penyusun materi itu sendiri. Maka bagaimana mungkin ia bisa bercita-cita mengetahui hakikat dzat dan sifat-sifat Allah Yang Maha Tinggi?