Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Mereka (Ahlus Sunnah) menetapkan bahwa Allah memiliki sifat mendengar dan melihat, dan tidak menafikannya sebagaimana dilakukan oleh kaum Mu‘tazilah. Mereka juga menetapkan bahwa Allah memiliki kekuatan, sebagaimana firman-Nya:
﴿أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللَّهَ الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدُّ مِنْهُمْ قُوَّةً﴾
“Tidakkah mereka melihat bahwa Allah yang menciptakan mereka itu lebih kuat daripada mereka?” (Surah Fushshilat: 15)
Mereka berkeyakinan bahwa Al-Quran adalah kalamullah (firman Allah) dan bukan makhluk. Adapun perdebatan tentang masalah waqf (berhenti) dan lafzh (ucapan), maka barang siapa yang mengatakan dengan lafaz tertentu atau dengan berhenti tertentu, ia termasuk ahli bid‘ah menurut mereka. Tidak boleh dikatakan: “lafaz Al-Quran itu makhluk,” dan tidak pula boleh dikatakan: “lafaz Al-Quran bukan makhluk.”
Mereka beriman bahwa Allah Subhanahu wa Ta‘ala akan dilihat dengan mata pada hari kiamat, sebagaimana seorang melihat bulan purnama pada malamnya; kaum beriman akan melihat-Nya, sedangkan orang-orang kafir tidak akan dapat melihat-Nya, karena mereka terhalang dari melihat Allah. Sebagaimana firman-Nya:
﴿كَلَّا إِنَّهُمْ عَنْ رَبِّهِمْ يَوْمَئِذٍ لَمَحْجُوبُونَ﴾
“Sekali-kali tidak, sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat) Tuhan mereka.” (Surah Al-Muthaffifin: 15)
Mereka juga beriman bahwa Nabi Musa ‘alaihis salam pernah memohon agar dapat melihat Allah di dunia. Maka Allah menampakkan diri-Nya kepada gunung, dan gunung itu hancur luluh. Dengan peristiwa itu, Allah memberitahu Musa bahwa di dunia ia tidak mungkin dapat melihat-Nya, namun ia akan melihat-Nya di akhirat kelak.
Mereka membenarkan hadits-hadits sahih dari Rasulullah ﷺ, di antaranya bahwa Allah Subhanahu wa Ta‘ala turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir seraya berfirman: “Adakah orang yang memohon ampun, maka akan Aku ampuni?” sebagaimana datang dalam hadits-hadits Nabi ﷺ. Mereka juga menetapkan bahwa Allah datang pada hari kiamat, sebagaimana firman-Nya:
﴿وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا﴾
“Dan datanglah Tuhanmu; sedang malaikat berbaris-baris.” (Surah Al-Fajr: 22)
Mereka menetapkan bahwa Allah mendekat kepada makhluk-Nya sebagaimana Dia kehendaki, sebagaimana firman-Nya:
﴿وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ﴾
“Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Surah Qaf: 16)
Abu al-Hasan al-Asy‘ari menutup rangkuman keyakinan yang ia nukil dari Ahlus Sunnah dan pengikut hadits dengan perkataannya:
“Inilah sekumpulan hal yang mereka perintahkan, mereka amalkan, dan mereka yakini. Segala yang kami sebutkan dari perkataan mereka, kami pun berkata demikian, itulah jalan yang kami tempuh. Tidak ada taufik bagi kami kecuali dengan Allah. Dialah penolong kami, sebaik-baik pelindung, kepada-Nya kami memohon pertolongan, kepada-Nya kami bertawakal, dan kepada-Nya pula tempat kembali.” (Maqalat al-Islamiyyin, hlm. 290–297)
Dengan penukilan ini jelaslah bahwa keyakinan Abu al-Hasan al-Asy‘ari sejalan dengan keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam bab Asma’ dan Sifat Allah. (Lihat juga risalah Prof. Dr. Umar al-Asyqar yang membahas aqidah Abu al-Hasan al-Asy‘ari dan manhaj beliau).