Loading...

Maktabah Reza Ervani

15%

Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000



Judul Kitab : At-Taqiyyah Asasu Din asy-Syi'ah al-Imamiyah - Detail Buku
Halaman Ke : 10
Jumlah yang dimuat : 32
« Sebelumnya Halaman 10 dari 32 Berikutnya » Daftar Isi
Tabel terjemah Inggris belum dibuat.
Bahasa Indonesia Translation

Dengan batasan-batasan syariat yang jelas, maka dalam kondisi adanya rasa takut terhadap hilangnya salah satu dari kebutuhan pokok yang wajib dijaga, barulah taqiyah dibolehkan. Oleh karena itu, taqiyah menurut Ahlus Sunnah adalah perkara darurat yang sifatnya insidental, dilakukan untuk menolak bencana besar yang tidak mampu ditanggung jiwa manusia. Dan orang yang masih memiliki jalan keluar tanpa harus melakukan hal yang haram, tidak diperkenankan menggunakan taqiyah. Semua itu harus tetap disertai dengan kebersihan hati dan keyakinan yang penuh kepada iman.

Sehingga, pendapat jumhur ulama Ahlus Sunnah adalah bahwa hukum asal taqiyah adalah terlarang, dan kebolehannya hanya dalam kondisi darurat, serta dibatasi sebatas kadar kebutuhan darurat itu saja.

Said bin Jubair (w. 95 H) rahimahullah berkata: “Tidak ada taqiyah dalam Islam, taqiyah hanya berlaku terhadap orang-orang kafir dalam peperangan.”(1)

Al-Qurthubi (w. 671 H) rahimahullah berkata: “Taqiyah tidak halal kecuali dalam kondisi takut akan terbunuh, dipotong anggota badan, atau mendapatkan gangguan besar. Dan tidak ada riwayat yang menyelisihi hal itu menurut pengetahuan kami, kecuali apa yang dinukil dari sahabat Mu‘adz bin Jabal dan tabi‘in Mujahid.”(2)

Ibnul Qayyim (w. 751 H) rahimahullah berkata: “Taqiyah adalah ketika seorang hamba mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinannya untuk menghindari keburukan yang menimpanya jika ia tidak melakukannya.”(3)

Dasar dari hal ini adalah firman Allah Ta‘ala:

مَنْ كَفَرَ بِاللّهِ مِنْ بَعْدِ إيمَانِهِ إِلاَّ مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإِيمَانِ وَلَكِن مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Barang siapa yang kafir kepada Allah setelah ia beriman, kecuali orang yang dipaksa sementara hatinya tetap tenang dalam keimanan, akan tetapi barang siapa yang lapang dadanya untuk kekafiran, maka mereka akan mendapat murka Allah dan bagi mereka azab yang besar.” (QS. An-Nahl: 106)

Ibn Katsir (w. 774 H) rahimahullah berkata tentang ayat ini: “Ini adalah pengecualian bagi orang yang mengucapkan kekafiran dengan lisannya dan menyetujui orang-orang musyrik karena terpaksa, akibat pukulan dan siksaan yang menimpanya, sedangkan hatinya menolak ucapan itu dan tetap tenang dengan iman kepada Allah dan Rasul-Nya.”(4)

Abu Bakar al-Jasshas (w. 370 H) rahimahullah berkata: “Ayat ini menjadi dasar kebolehan menampakkan ucapan kufur dalam kondisi terpaksa.”(5)

Abu Bakar Ibnul ‘Arabi (w. 543 H) rahimahullah berkata: “Ketika Allah memberi keringanan dalam masalah kekufuran kepada-Nya—padahal itu adalah pokok syariat—dalam kondisi terpaksa, dan Dia tidak menghukuminya, maka para ulama pun mengqiyaskan hal ini pada cabang-cabang syariat lainnya. Jika ada yang terpaksa melakukannya, maka tidak dihukumi dosa.”(6)

Jika Allah tidak menghukum orang yang dipaksa untuk mengucapkan kekufuran dalam kondisi darurat, maka tentu saja apa pun yang lebih ringan dari itu juga lebih layak mendapatkan keringanan. Oleh karena itu, hal ini dianggap sebagai salah satu dasar penting dalam kaidah udzur karena terpaksa baik dalam pokok maupun cabang syariat.

Adapun dalil Ahlus Sunnah tentang taqiyah adalah firman Allah Ta‘ala:

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً

“Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong selain orang-orang mukmin. Barang siapa yang melakukan itu, maka lepaslah ia dari (pertolongan) Allah, kecuali jika kamu takut kepada mereka (dengan taqiyah).” (QS. Ali Imran: 28)

Ibn Katsir (w. 774 H) rahimahullah berkata tentang ayat ini: “Maksudnya adalah bahwa seorang mukmin tidak boleh menjadikan orang kafir sebagai penolong dan sekutu, kecuali dalam kondisi takut, maka diperbolehkan untuk bersikap taqiyah terhadap mereka.”


Catatan Kaki:

  1. (1) Lihat: Tafsir al-Baghawi, 2/26. Judul lengkap: Ma‘alim al-Tanzil fi Tafsir al-Qur’an. Penulis: Abu Muhammad al-Husain bin Mas‘ud al-Farra’ al-Baghawi al-Syafi‘i (w. 510 H). Tahqiq: Abdul Razzaq al-Mahdi. Penerbit: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, Beirut. Cetakan pertama, 1420 H. Jumlah jilid: 5.
  2. (2) al-Mausu‘ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 13/186–187. Diterbitkan oleh Kementerian Wakaf dan Urusan Islam, Kuwait. Jumlah jilid: 45. Cetakan jilid 1–23: cetakan kedua, Dar al-Salasil, Kuwait. Cetakan jilid 24–38: cetakan pertama, Mathba‘ah Dar al-Safwah, Mesir. Cetakan jilid 39–45: cetakan kedua, dicetak oleh Kementerian. Tahun terbit: 1404–1427 H.
  3. (3) Ibn al-Qayyim, Ahkam Ahl al-Dzimmah, 2/1038.
  4. (4) Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 2/587. Penulis: Abu al-Fida’ Isma‘il bin Umar bin Katsir al-Dimasyqi (w. 774 H). Tahqiq: Muhammad Husain Syamsuddin. Penerbit: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, Beirut. Cetakan pertama, 1419 H.
  5. (5) Al-Jasshas, Ahkam al-Qur’an, 3/192.
  6. (6) Ibnul ‘Arabi, Ahkam al-Qur’an, 3/1180.

Beberapa bagian dari Terjemahan di-generate menggunakan Artificial Intelligence secara otomatis, dan belum melalui proses pengeditan

Untuk Teks dari Buku Berbahasa Indonesia atau Inggris, banyak bagian yang merupakan hasil OCR dan belum diedit


Belum ada terjemahan untuk halaman ini atau ada terjemahan yang kurang tepat ?

« Sebelumnya Halaman 10 dari 32 Berikutnya » Daftar Isi