Loading...

Maktabah Reza Ervani

15%

Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000



Judul Kitab : At-Taqiyyah Asasu Din asy-Syi'ah al-Imamiyah - Detail Buku
Halaman Ke : 9
Jumlah yang dimuat : 32
« Sebelumnya Halaman 9 dari 32 Berikutnya » Daftar Isi
Tabel terjemah Inggris belum dibuat.
Bahasa Indonesia Translation

...dan kebutuhan pokok itu adalah: menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan (kehormatan), dan menjaga harta. Al-Ghazali (w. 505 H) menjelaskan tujuan lima kebutuhan pokok ini dalam kitab al-Mustashfa: “Sesungguhnya maksud syariat terhadap manusia ada lima: menjaga agama mereka, jiwa mereka, akal mereka, keturunan mereka, dan harta mereka. Maka setiap hal yang mengandung upaya menjaga kelima hal ini adalah sebuah kemaslahatan. Sebaliknya, setiap hal yang menghilangkan lima hal ini adalah sebuah kerusakan, dan menolak kerusakan itu merupakan kemaslahatan.”(1)

Ibn al-Azraq (w. 896 H) –rahimahullah– memberikan alasan perhatian terhadap lima kebutuhan pokok dalam Bada’i‘ al-Sulk: “Karena kemaslahatan agama dan dunia dibangun di atas penjagaan terhadapnya. Jika ia terganggu, maka tidak ada lagi keberlangsungan dunia dari sisi manusia yang dibebani syariat, dan tidak ada lagi akhirat dari sisi balasan yang dijanjikan. Jika agama hilang, hilang pula balasan yang diharapkan. Jika manusia tidak ada, tidak ada lagi yang bisa beragama. Jika akal hilang, maka hilanglah pengaturan. Jika keturunan lenyap, maka tidak mungkin ada kelanjutan hidup. Jika harta hilang, maka tidak ada lagi kehidupan.”(2)

Ibn al-Jauzi (w. 597 H) –rahimahullah– berkata: “Taqiyah adalah sebuah keringanan (rukhshah), bukan sesuatu yang bersifat wajib (‘azimah).”(3) Oleh karena itu Fakhr al-Razi (w. 606 H) –rahimahullah– berkata: “Jika seseorang menampakkan iman dan kebenaran di saat dibolehkan baginya untuk bertaqliah, maka hal itu lebih utama.”(4)

Inilah Imam Ahlus Sunnah wal Jamaah, Imam Ahmad bin Hanbal al-Syaibani, yang memilih mengambil sikap ‘azimah (teguh). Ketika beliau diuji dalam fitnah (mihnah) tentang ucapan “Al-Qur’an adalah makhluk”, beliau ditanya: “Jika engkau dihadapkan pada pedang, apakah engkau akan menjawab (mengakuinya)?” Beliau menjawab: “Tidak.” Beliau berkata lagi: “Jika seorang ulama menjawab dengan taqiyah, sedangkan orang awam dalam kebodohannya pun akan mengikuti, maka kapan kebenaran itu akan tampak?”(5)

Makna ini juga ditegaskan oleh Ibn Baththal (w. 449 H) –rahimahullah–: “Para ulama sepakat bahwa barangsiapa dipaksa untuk kufur lalu memilih terbunuh, maka ia mendapatkan pahala yang lebih besar di sisi Allah daripada orang yang memilih keringanan. Adapun jika ia dipaksa untuk makan babi atau minum khamr misalnya, maka melakukannya lebih utama (karena darurat).”(6)

Oleh karena itu, para ulama dari kalangan pengikut Abu Hanifah –rahimahullah– berkata: “Taqiyah adalah keringanan dari Allah Ta‘ala, namun meninggalkannya lebih utama. Jika seseorang dipaksa untuk kufur namun ia tidak melakukannya hingga terbunuh, maka itu lebih baik daripada orang yang menampakkannya. Begitu pula dalam setiap perkara yang mengandung pengagungan terhadap agama, maka maju menegakkannya hingga terbunuh lebih utama daripada mengambil keringanan.”(7)

Al-Razi –rahimahullah– juga berkata: “Taqiyah hanya boleh dilakukan bila seseorang berada di tengah kaum kafir dan ia khawatir terhadap keselamatan jiwa dan hartanya. Maka ia boleh menghadapi mereka dengan ucapan yang tidak menampakkan permusuhan. Bahkan boleh juga menampakkan perkataan yang seakan-akan menunjukkan cinta dan loyalitas, tetapi dengan syarat bahwa ia menyembunyikan kebalikannya dalam hati, serta menyelipkan maksud lain dalam setiap ucapan. Sebab taqiyah pengaruhnya hanya pada hal lahiriah, bukan pada keadaan hati.”(8)

Dari sini kita semakin yakin bahwa taqiyah dalam Islam disyariatkan hanya dalam kondisi yang sangat terbatas...


Catatan Kaki:

  1. (1) Al-Ghazali, al-Mustashfa, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. 1, 1413 H/1993 M, hlm. 174.
  2. (2) Ibn al-Azraq, Bada’i‘ al-Sulk fi Thaba’i‘ al-Mulk, 1/194–195.
  3. (3) Ibn al-Jauzi, Zad al-Masir fi ‘Ilm al-Tafsir, 1/272. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, cet. 1, 1422 H.
  4. (4) Fakhr al-Razi, Mafatih al-Ghayb (Tafsir al-Kabir), 4/170. Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, cet. 3, 1420 H.
  5. (5) Ibn al-Jauzi, Zad al-Masir, 1/372.
  6. (6) Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari, 12/317.
  7. (7) Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhit, 3/191. Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H.
  8. (8) Fakhr al-Razi, Tafsir al-Kabir, 4/170.

Beberapa bagian dari Terjemahan di-generate menggunakan Artificial Intelligence secara otomatis, dan belum melalui proses pengeditan

Untuk Teks dari Buku Berbahasa Indonesia atau Inggris, banyak bagian yang merupakan hasil OCR dan belum diedit


Belum ada terjemahan untuk halaman ini atau ada terjemahan yang kurang tepat ?

« Sebelumnya Halaman 9 dari 32 Berikutnya » Daftar Isi