Loading...

Maktabah Reza Ervani

15%

Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000



Judul Kitab : At-Taqiyyah Asasu Din asy-Syi'ah al-Imamiyah - Detail Buku
Halaman Ke : 11
Jumlah yang dimuat : 32
« Sebelumnya Halaman 11 dari 32 Berikutnya » Daftar Isi
Tabel terjemah Inggris belum dibuat.
Bahasa Indonesia Translation

Pada ayat tersebut disebutkan: “... kecuali jika kamu takut kepada mereka dengan taqiyah.” Maksudnya, kecuali orang yang khawatir di suatu negeri atau pada waktu tertentu dari keburukan mereka, maka boleh baginya melakukan taqiyah secara lahiriah saja, tidak dengan batin dan niatnya. Sebagaimana disebutkan oleh al-Bukhari dari Abu ad-Darda’, ia berkata: “Sesungguhnya kami menampakkan senyum di wajah sebagian kaum, padahal hati kami melaknat mereka.”(1)

Maksud kedua: Konsep taqiyah menurut ulama Rafidhah

Syekh mereka, al-Mufid Abu Abdullah Muhammad bin Muhammad bin an-Nu‘man, yang dikenal dengan sebutan Ibnul Mu‘allim (w. 413 H), berkata: “Taqiyah adalah menyembunyikan kebenaran, menutupi keyakinan, merahasiakan dari pihak yang menyelisihi, serta tidak menampakkan hal-hal yang bisa mendatangkan bahaya pada agama dan dunia.”(2)

Dengan demikian, menurut al-Mufid—tokoh Rafidhah—taqiyah berarti menyembunyikan keyakinan karena takut bahaya dari pihak yang berbeda dengan mereka, yaitu Ahlus Sunnah (sebagaimana biasanya mereka gunakan istilah ini). Artinya, mereka menampakkan ajaran Ahlus Sunnah (yang menurut mereka batil), sementara menyembunyikan ajaran Rafidhah (yang mereka anggap sebagai kebenaran). Dari sinilah sebagian ulama Ahlus Sunnah berpendapat bahwa penganut keyakinan ini lebih buruk daripada kaum munafik. Sebab, kaum munafik yakin bahwa apa yang mereka sembunyikan berupa kekafiran adalah batil, lalu mereka menampakkan Islam karena takut. Sedangkan kaum Rafidhah menganggap apa yang mereka sembunyikan itulah kebenaran, dan jalan mereka adalah jalan para nabi serta imam.(3)

Abdullah bin Muhammad al-Qahthani al-Andalusi rahimahullah berkata dalam syair Nūniyyah-nya:(4)

إِنَّ الرَّوَافِضَ شَرُّ مَنْ وَطِئَ الحَصَى … مِنْ كُلِّ إِنْسٍ نَاطِقٍ أَوْ جَانِ
قَدَحُوا النَّبِيَّ وَخَوَّنُوا أَصْحَابَهُ … وَرَمَوْهُمُ بِالظُّلْمِ وَالعُدْوَانِ
حَبُّوا قَرَابَتَهُ وَسَبُّوا … جَدَلانِ عِنْدَ اللهِ مُنْتقضَانِ

“Sesungguhnya Rafidhah adalah seburuk-buruk manusia yang berjalan di atas bumi, baik manusia maupun jin. Mereka mencela Nabi dan menuduh para sahabatnya berkhianat, menuduh mereka dengan kezhaliman dan permusuhan. Mereka berpura-pura mencintai kerabat Nabi, namun mencaci sahabat-sahabatnya. Dua klaim itu, di hadapan Allah, saling bertentangan dan akan terbantahkan.”(5)

Dengan memperhatikan konsep taqiyah dalam bahasa maupun istilah, maka jelas bahwa taqiyah bagi mereka adalah menampakkan sesuatu yang berlawanan dengan apa yang mereka sembunyikan sebagai bentuk agama. Kaum Rafidhah dengan keyakinan rusak ini menisbatkan dusta, kebohongan, dan tipu daya kepada agama Allah dengan cara yang zalim, batil, dan penuh permusuhan. Mereka seperti yang Allah gambarkan tentang orang-orang munafik dalam firman-Nya:

إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, padahal Allah-lah yang menipu mereka.” (QS. An-Nisa’: 147)

Bab Kedua: Taqiyah menurut Rafidhah

Terdiri dari tiga pembahasan.

Pembahasan Pertama: Taqiyah sebagai pokok ajaran Rafidhah

Di dalamnya terdapat empat poin: Pertama-tama perlu diketahui bahwa taqiyah merupakan pokok yang sangat mendasar dari agama Rafidhah (Syi‘ah Imamiyah Itsna ‘Asyariyah), yang menjadi landasan keyakinan dan agama mereka. Mereka senantiasa berdusta, bahkan dalam hal akidah, kemudian menjadikan hal itu sebagai agama dan bentuk pendekatan diri yang paling agung. Dengan cara ini, mereka menyalahi mayoritas kaum muslimin dari Ahlus Sunnah wal Jama‘ah, dan keluar dari jalan Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.


Catatan Kaki:

  1. (1) Tafsir Ibn Katsir, 2/30.
  2. (2) Sahih al-I‘tiqad, karya al-Mufid, hal. 66.
  3. (3) Lihat: Ushul Madzhab asy-Syi‘ah al-Imamiyyah, 2/805.
  4. (4) Disebutkan bahwa ia wafat pada tahun 379 H, atau 383 H, atau 387 H, di Bukhara.
  5. (5) Syair ini diambil dari Nūniyyah al-Qahthani yang masyhur, yang jumlah baitnya lebih dari 600 bait.

Beberapa bagian dari Terjemahan di-generate menggunakan Artificial Intelligence secara otomatis, dan belum melalui proses pengeditan

Untuk Teks dari Buku Berbahasa Indonesia atau Inggris, banyak bagian yang merupakan hasil OCR dan belum diedit


Belum ada terjemahan untuk halaman ini atau ada terjemahan yang kurang tepat ?

« Sebelumnya Halaman 11 dari 32 Berikutnya » Daftar Isi