Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Sub-Bahasan Pertama: Kedudukan Taqiyyah Menurut Rafidhah
Taqiyyah dalam agama Rafidhah memiliki kedudukan yang agung dan posisi yang besar. Ia dianggap sebagai salah satu pokok agama mereka, yang tidak boleh bagi siapa pun untuk meninggalkannya. Mereka telah menuliskan hal ini dalam kitab-kitab mereka, menjelaskan keutamaan dan hukum-hukum yang berkaitan dengannya, serta menjelaskan pahala besar dan balasan agung bagi orang yang senantiasa melaziminya. Hal ini tampak jelas dalam sumber mereka yang paling penting, yaitu kitab al-Kāfī karya al-Kulainī, yang mereka sejajarkan dengan Ṣaḥīḥ al-Bukhārī bagi Ahlus Sunnah.
Al-Kulainī (w. 329 H) meriwayatkan dalam al-Kāfī dari Abū ‘Abdillāh, ia berkata: “Bergaullah dengan mereka secara lahiriah, namun selisihilah mereka dalam batin.” (1) Tidak diragukan lagi, ini adalah kemunafikan yang nyata.
Al-Kulainī juga meriwayatkan dari Muḥammad bin Khallād, ia berkata: “Aku bertanya kepada Abū al-Ḥasan ‘alaihis-salām tentang berdiri untuk menunjukkan loyalitas, maka ia berkata: Abū Ja‘far ‘alaihis-salām berkata: ‘Taqiyyah adalah agamaku dan agama nenek moyangku. Tidak ada iman bagi orang yang tidak memiliki taqiyyah.’” (2)
Maka jelaslah, taqiyyah adalah fondasi agama mereka yang dibangun di atas kemunafikan dan kebohongan. Muḥammad Jawād Mughniyah, ketua pengadilan Ja‘fariyyah di Beirut, berkata: “Taqiyyah adalah engkau mengatakan atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan keyakinanmu.” (3) Pernyataan yang begitu terus terang tanpa batasan apa pun.
Bahkan perhatian mereka terhadap taqiyyah sampai pada taraf menakwilkan ayat-ayat Al-Quran untuk mendukungnya. Seperti firman Allah Ta‘ala:
(وَلا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلا السَّيِّئَةُ)
“Tidaklah sama kebaikan dan keburukan.”
(Surah Fushshilat ayat 34)
Abū ‘Abdillāh –sebagaimana dinukil al-Kulainī– berkata: “Kebaikan itu adalah taqiyyah, sedangkan keburukan adalah menyebarkan (rahasia).” (4) Dengan demikian, kaum Rafidhah menegaskan bahwa agama mereka dibangun di atas kebohongan, fitnah, dan penyelewengan teks-teks agama sesuai hawa nafsu mereka.
Kaum Rafidhah bahkan berlepas diri dari orang yang tidak melazimi taqiyyah. Mereka berkata: “Bukan golongan kami orang yang tidak berpegang pada taqiyyah, dan ia menjaga kami dari kaum rendahan.” (5) Dengan segala keburukan ini, mereka tetap menegaskan bahwa taqiyyah harus dilazimi setiap waktu dan dalam segala keadaan. Karena itu, mereka menuliskannya dalam sumber-sumber utama mereka dengan pernyataan: “Wajib atas kalian untuk berpegang pada taqiyyah; karena bukan golongan kami orang yang tidak menjadikannya sebagai syiar dan selimutnya bersama orang yang ia percayai, dan sebagai tabiatnya bersama orang yang ia takuti.” (6)
Dengan semua ini jelaslah, taqiyyah menurut mereka digunakan untuk keselamatan diri, bukan untuk keselamatan agama. Salah satu sebab tingginya kedudukan taqiyyah menurut mereka adalah karena –menurut keyakinan mereka– ia termasuk sunnah para rasul. Mereka berkata: “Wajib atasmu untuk berpegang pada taqiyyah; karena ia adalah sunnah Ibrāhīm, Mūsā, dan Hārūn.” (7) Maha suci Allah dari apa yang mereka sifatkan, karena para rasul Allah yang mulia tidak pernah seperti yang mereka gambarkan. Dengan itu, mereka telah menyeret para rasul untuk dijadikan tameng bersama Ahlul Bait demi menutupi aib agama mereka dan kebusukan ...
(1) Al-Kāfī, 2/175.
(2) Al-Kāfī, 2/174.
(3) Asy-Syī‘ah fī al-Mīzān, hlm. 48.
(4) Al-Kāfī, 2/173.
(5) Al-Amālī, ath-Ṭūsī, 1/287; Biḥār al-Anwār, 39/72.
(6) Ibid.
(7) Ma‘ānī al-Akhbār, hlm. 386; Biḥār al-Anwār, 72/963.