Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
keluar dari agama Allah. Kaum Rafidhah benar-benar berlebih-lebihan (1) dalam urusan taqiyyah; mereka mewajibkannya dan menempatkannya pada kedudukan setara shalat dalam agama—yakni, siapa yang meninggalkan taqiyyah dianggap kafir sebagaimana kafirnya orang yang meninggalkan shalat—dan ini adalah ucapan para imam mereka.
Al-Qummi, yakni Ali bin Ibrahim al-Qummi (w. 307 H), berkata: “Taqiyyah itu wajib; siapa yang meninggalkannya sama kedudukannya dengan orang yang meninggalkan shalat.” (2)
Demikian pula pendapat Ibn Babawaih—yaitu Abu Ja‘far Muhammad bin Ali bin al-Husain bin Musa bin Babawaih al-Qummi yang masyhur dengan Syaikh ash-Shaduq (w. 381 H)—di dalam kitabnya al-I‘tiqadat. (3)
Al-Shadiq berkata: “Seandainya aku mengatakan bahwa orang yang meninggalkan taqiyyah itu seperti orang yang meninggalkan shalat, niscaya aku benar.” (4)
Al-Qummi juga berlebihan dengan ucapannya: “Taqiyyah itu wajib, tidak boleh dicabut hingga keluarnya al-Qa’im (5). Siapa yang meninggalkannya sebelum ia keluar berarti telah keluar dari agama Allah Ta‘ala, keluar dari agama Imamiyah, serta menyalahi Allah, Rasul-Nya, dan para imam.” (6)
Menurut mereka, siapa yang menyembunyikan taqiyyah akan dimuliakan Allah, dan siapa yang menyiarkannya akan dihinakan Allah. Al-Kulaini meriwayatkan dalam al-Kafi, Bab “al-Kitman”, dari Sulaiman bin Khalid: Abu ‘Abdillah berkata, “Wahai Sulaiman, sesungguhnya kalian berada di atas suatu agama; siapa yang menyembunyikannya, Allah memuliakannya; dan siapa yang menyiarkannya, Allah menghinakannya.” (7)
Berlebih-lebihannya mereka dalam taqiyyah sampai menjadikan meninggalkannya setara dengan syirik dalam hal tidak diampuni. Mereka meriwayatkan dari Ali bin al-Husain—imam keempat—bahwa ia berkata: “Allah mengampuni setiap dosa seorang mukmin dan membersihkannya darinya di dunia dan akhirat, kecuali dua dosa: meninggalkan taqiyyah dan meninggalkan hak-hak persaudaraan.” (8)
Inilah uraian tentang taqiyyah menurut salah seorang tokoh kontemporer Rafidhah—yang dikhawatirkan jangan-jangan itu sendiri pun merupakan taqiyyah: Dr. Musa al-Musawi berkata, “Sebagian ulama kami—rahimahumullah—berusaha membela taqiyyah. Namun taqiyyah yang dibicarakan para ulama Syiah dan yang dipaksakan oleh sebagian pimpinan mereka sama sekali bukan dalam makna itu. Ia berarti engkau mengatakan sesuatu tetapi menyembunyikan hal lain, atau engkau melakukan suatu amalan ibadah di hadapan kelompok lain padahal engkau tidak meyakininya, lalu engkau kerjakan sesuai keyakinanmu sendiri di rumah.” (9)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H) rahimahullah berkata: “Rafidhah adalah kelompok yang paling bodoh, paling dusta, dan paling jauh dari pengetahuan riwayat maupun akal; mereka menjadikan taqiyyah sebagai salah satu pokok agama mereka.”
(1) Kata “ghālâ fî al-amr” berarti berlebih-lebihan atau melampaui batas. Lihat: Mu‘jam al-Ma‘ānī al-Jāmi‘.
(2) al-Syī‘ah wa al-Sunnah, hlm. 157.
(3) al-I‘tiqādāt, hlm. 114; karya Abu Ja‘far Muhammad bin ‘Ali bin al-Husain bin Babawaih al-Qummi (Syaikh ash-Shaduq, w. 381 H), tahqiq: Muassasah al-Imam al-Hadi.
(4) Jāmi‘ al-Akhbār, hlm. 110; Bihār al-Anwār, 75/412, 414.
(5) “Al-Qa’im dari keluarga Muhammad” adalah gelar di kalangan Syiah Itsna ‘Asyariyyah untuk “Muhammad bin al-Hasan al-‘Askari—al-Mahdi—”, imam kedua belas menurut keyakinan mereka. Diyakini bahwa ia akan kembali di akhir zaman dari “sirdab” (konon tempat persembunyian). Dalam sebagian riwayat ekstrem, ia akan membunuh selain Syiah, menyalib Abu Bakar dan ‘Umar di atas pohon basah, serta menegakkan hukuman atas ‘Aisyah. Lihat: al-Masā’il al-Nāsiriyyah karya al-Murtadha; Haq al-Yaqīn karya al-Majlisi.
(6) al-Syī‘ah wa al-Sunnah, hlm. 157.
(7) al-Kāfī karya al-Kulaini, 2/222; lihat juga: Wasā’il al-Syī‘ah karya al-Hurr al-‘Amili, 1/252.
(8) al-Syī‘ah wa al-Sunnah, hlm. 158.
(9) al-Syī‘ah wa at-Tashhīh, hlm. 52.