Loading...

Maktabah Reza Ervani

15%

Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000



Judul Kitab : At-Taqiyyah Asasu Din asy-Syi'ah al-Imamiyah - Detail Buku
Halaman Ke : 15
Jumlah yang dimuat : 32
« Sebelumnya Halaman 15 dari 32 Berikutnya » Daftar Isi
Tabel terjemah Inggris belum dibuat.
Bahasa Indonesia Translation

Mereka berdusta atas nama Ahlul Bait dengan kedustaan yang tidak terhitung kecuali oleh Allah, hingga mereka meriwayatkan dari Ja‘far ash-Shadiq bahwa ia berkata: “Taqiyyah adalah agamaku dan agama para leluhurku.” Padahal taqiyyah itu adalah syiar kemunafikan; hakikatnya menurut mereka adalah mengucapkan dengan lisan apa yang tidak ada dalam hati, dan itu adalah hakikat kemunafikan. (1)

Kita tidak heran dengan ucapan Syaikhul Islam, sebab sebelum berdusta atas nama para imam mereka, mereka sudah berdusta atas Rabb seluruh makhluk dan atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau rahimahullah juga berkata: “Adapun Rafidhah, asal bid‘ah mereka adalah dari zindiq dan ilhad (kekafiran), serta kebiasaan berdusta yang sangat banyak pada mereka. Mereka sendiri mengakui hal itu, karena mereka mengatakan: ‘Agama kami adalah taqiyyah.’ Maksudnya, salah seorang dari mereka berkata dengan lisannya sesuatu yang berbeda dengan isi hatinya—dan inilah kedustaan dan kemunafikan. Meski demikian, mereka mengaku hanya merekalah orang-orang beriman, bukan selain mereka dari kalangan umat Islam. Mereka menuduh generasi sahabat terdahulu dengan riddah dan nifaq. Maka mereka dalam hal itu seperti pepatah: ‘Dia menuduhku dengan aib yang justru ada pada dirinya, lalu ia lari.’ (2) Sesungguhnya tidak ada kelompok yang menampakkan Islam yang lebih dekat kepada kemunafikan dan riddah daripada mereka, dan tidak ada kaum yang lebih banyak di dalamnya para murtad dan munafik daripada kalangan mereka.” (3)

Beliau rahimahullah juga berkata: “Kami telah melihat dalam kitab-kitab mereka berisi kedustaan dan kebohongan atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan kerabatnya, lebih banyak daripada kedustaan yang kami lihat dalam kitab-kitab Ahlul Kitab berupa Taurat dan Injil.” (4)

Beliau rahimahullah juga berkata: “Rafidhah itu tidak lain kecuali munafik atau bodoh. Maka tidak ada seorang Rafidhi ataupun Jahmi kecuali ia seorang munafik atau orang bodoh terhadap apa yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (5)

Dan sangat bagus bait syair yang digubah untuk menggambarkan kemunafikan mereka:
Wahai orang yang tertipu dengan taqiyyah dan nifaq … Engkau serahkan urusanmu kepada musuh perampok
Sesungguhnya kaum Rafidhah berdusta dengan ucapan mereka … Sedang perbuatan mereka menunjukkan kefasikan
Seluruh keburukan ada pada pengokohan mereka … Wahai Musta‘shim, bukankah engkau tahu? Adakah orang yang bisa mengobatimu? (6)

Sub-Pembahasan Kelima: Penggunaan Taqiyyah oleh Rafidhah terhadap Ahlus Sunnah Secara Khusus

Setelah jelas bagi kita betapa penting dan utamanya kedudukan taqiyyah di sisi Rafidhah secara umum, dan bahwa ia merupakan inti serta asas agama mereka, maka tepat kiranya di sini dibahas bagaimana mereka menggunakan taqiyyah terhadap Ahlus Sunnah secara khusus. Ucapan-ucapan mereka yang paling menonjol tentang kewajiban menerapkan taqiyyah terhadap Ahlus Sunnah: harus diketahui lebih dahulu bahwa mayoritas Ahlus Sunnah menurut mereka termasuk golongan kafir. Negara kaum Ahlus Sunnah mereka sebut dengan istilah “Daulah azh-Zhalimin (Negara Para Penzalim)”, juga mereka sebut “Daulah al-Bathil (Negara Kebatilan)”. Negeri-negeri kaum Ahlus Sunnah mereka namakan “Diyār at-Taqiyyah (Negeri Taqiyyah)”. Mereka juga menyebut kaum Ahlus Sunnah dengan istilah “Sufalah ar-Ra‘iyyah (sampah masyarakat)”. Adapun pengkafiran mereka terhadap mayoritas kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah, karena mereka tidak beriman kepada dua belas imam. Tentang hal ini Ibn Babawaih al-Qummi (w. 329 H) berkata: “Keyakinan kami terhadap orang yang mengingkari imamah Amirul Mukminin dan para imam setelahnya adalah sama seperti orang yang mengingkari kenabian para nabi. Keyakinan kami terhadap orang yang …”


Catatan Kaki

(1) Majmū‘ al-Fatāwā (13/263), karya Taqiyuddin Abu al-‘Abbas Ahmad bin ‘Abd al-Halim bin Taimiyah al-Harrani (w. 728 H), tahqiq: ‘Abd al-Rahman bin Muhammad bin Qasim, diterbitkan oleh Mujamma‘ Malik Fahd li Thiba‘at al-Mushhaf asy-Syarif, Madinah, 1416 H/1995 M.

(2) Abu ‘Ubaid berkata: “Diriwayatkan dari al-Mufadhal bahwa ia berkata: peribahasa ini pertama kali diucapkan oleh Rahm binti al-Khazraj dari kabilah Kalb, istri Sa‘d bin Zayd Manat bin Tamim. Ia memiliki madunya. Suatu hari madunya mencela dirinya dengan suatu aib yang justru ada pada si madu itu sendiri. Maka Rahm berkata: ‘Engkau menuduhku dengan aibmu sendiri lalu engkau lari.’ Sejak itu ia menjadi peribahasa.” Pepatah ini digunakan untuk orang yang mencela orang lain dengan aib yang justru ada pada dirinya. Lihat: al-Amtsāl karya Ibn Sallām, hlm. 73.

(3) Minhāj as-Sunnah an-Nabawiyyah, 1/30.

(4) Majmū‘ al-Fatāwā, 28/481.

(5) Minhāj as-Sunnah, 5/160-161.

(6) Kitab Kalimāt wa Asy‘ār fī Dzamm ar-Rāfidhah al-Kuffār al-Fujjār, karya Jafjaf Ibrahim, bait ke-32–34, jilid 10/1.


Beberapa bagian dari Terjemahan di-generate menggunakan Artificial Intelligence secara otomatis, dan belum melalui proses pengeditan

Untuk Teks dari Buku Berbahasa Indonesia atau Inggris, banyak bagian yang merupakan hasil OCR dan belum diedit


Belum ada terjemahan untuk halaman ini atau ada terjemahan yang kurang tepat ?

« Sebelumnya Halaman 15 dari 32 Berikutnya » Daftar Isi