Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
Dikatakan:
"Jika engkau berada di dalam keadaan beribadah, maka engkau mulia dan derajatmu luas,
maka katakanlah: Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in."
"Tetapi jika engkau berada di luar keadaan beribadah, maka janganlah engkau berkata 'kami' atau 'kami telah melakukan',
sekalipun engkau berada dalam kerumunan seratus ribu orang atau sejuta orang,
karena seluruh mereka tetap butuh kepada Allah 'Azza wa Jalla dan dalam keadaan fakir (bergantung) kepada-Nya."
Sebagian dari mereka berkata:
"Iyyaka na'budu" lebih halus dalam makna tawadhu' dibandingkan dengan "iyyaka 'abadna"
karena dalam ucapan kedua terkandung unsur mengagungkan diri, yaitu menjadikan dirinya sendiri layak untuk beribadah kepada Allah Ta'ala,
padahal tidak ada seorang pun yang mampu beribadah kepada-Nya dengan hak yang layak bagi-Nya,
dan tidak pula mampu memuji-Nya sebagaimana yang layak untuk-Nya.
Adapun al 'ibadah adalah maqam (kedudukan) yang agung,
yang menjadi kemuliaan bagi seorang hamba karena nisbatnya kepada Dzat Allah Ta'ala,
sebagaimana dikatakan oleh sebagian penyair:
(Bahr Sari')
"Janganlah engkau memanggilku kecuali dengan sebutan 'hamba-Nya',
karena itu adalah nama yang paling mulia bagiku."
Allah Ta'ala pun menamai Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wa sallam dengan sebutan "hamba-Nya" dalam maqam-maqam yang paling mulia,
sebagaimana firman-Nya:
"Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya al Kitab." (al Kahfi: 1)
Dan firman-Nya:
"Dan sesungguhnya ketika hamba Allah berdiri menyeru-Nya." (al Jin: 19)
Dan firman-Nya:
"Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam." (al Isra: 1)
Maka Allah menamainya "hamba" ketika menurunkan wahyu kepadanya,
ketika ia berdiri menyeru manusia kepada Allah,
dan ketika Allah memperjalankannya dalam Isra'.
Allah pun membimbingnya untuk tetap teguh beribadah kepada-Nya,
terutama di saat dada beliau terasa sempit akibat pendustaan orang-orang yang menentang,
sebagaimana firman-Nya:
"Dan sungguh Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka katakan.
Maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu, dan jadilah engkau termasuk orang-orang yang bersujud.
Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yakin (kematian)." (al Hijr: 97-99)
Ar Razi dalam tafsirnya meriwayatkan dari sebagian mereka bahwa:
"Maqam 'ubudiyyah (penghambaan) lebih mulia daripada maqam risalah (kenabian),"
karena ibadah itu keluar dari makhluk menuju kepada al Haqq (Allah),
sedangkan risalah itu keluar dari al Haqq menuju kepada makhluk.
Mereka juga berkata:
"Karena Allah mengurus kebutuhan hamba-Nya,
sedangkan rasul mengurus kebutuhan umatnya."
Namun pendapat ini adalah keliru dan argumen tersebut juga lemah dan tidak berarti.
Ar Razi sendiri tidak secara eksplisit membantah atau melemahkan pendapat tersebut.
Sebagian sufi berkata:
"Ibadah itu ada kalanya untuk meraih pahala atau untuk menolak siksa."
Mereka berkata:
"Ini bukan tujuan yang tinggi, karena tujuannya hanyalah meraih manfaat bagi dirinya sendiri."
Ada pula yang berkata:
"Ibadah itu adalah untuk memuliakan diri dengan taklif (pembebanan syariat) dari Allah Ta'ala."
Namun ini juga menurut mereka dianggap lemah.
Yang tinggi menurut mereka adalah:
"Seorang hamba beribadah kepada Allah karena Dzat-Nya yang suci dan bersifat sempurna."
Mereka berkata:
"Karena itulah seseorang yang shalat berkata: 'Aku shalat karena Allah,'
seandainya tujuannya hanya untuk mendapatkan pahala atau menolak siksa, niscaya shalatnya menjadi batal."
Namun pendapat ini dibantah oleh pihak lain yang berkata:
"Bahwa beribadah kepada Allah 'Azza wa Jalla tidak menafikan permintaan pahala atau perlindungan dari siksa,
sebagaimana pernyataan seorang Arab badui yang berkata:
'Aku tidak pandai berdendang seperti kalian atau berdendang seperti Mu'adz,
aku hanya meminta kepada Allah surga dan berlindung kepada-Nya dari neraka.'
Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Di seputar hal itulah kami semua berdendang."
Surah al Fatihah (1) : Ayat 6
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ (6)
Mayoritas qari' membaca dengan ص (shad) pada kata ash shirath.
Ada juga yang membaca as sirath (dengan sin),
dan ada yang membacanya az zirath (dengan zay).
Al Farra' berkata:
"Ini adalah bahasa Bani 'Udzrah dan Bani Kalb."
Setelah sebelumnya memuji Allah Tabaraka wa Ta'ala,
maka layak untuk dilanjutkan dengan permintaan (doa),
sebagaimana sabda Allah dalam hadits qudsi:
"Setengahnya untuk-Ku dan setengahnya untuk hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku apa yang ia minta."
Ini adalah keadaan terbaik bagi seorang peminta:
ia memuji pihak yang dimintai, lalu baru mengajukan permintaannya dan permintaan bagi saudara-saudaranya sesama mukmin,
dengan mengatakan:
"Ihdinas shirathal mustaqim."
Karena ini lebih membantu untuk meraih kebutuhan dan lebih cepat dikabulkan.
Oleh sebab itu, Allah mengajarkan kepada kita susunan doa seperti ini, karena ia lebih sempurna.
Adakalanya seseorang memohon kepada Allah dengan cara memberitahukan keadaan dirinya dan kebutuhan mendesaknya,
sebagaimana ucapan Musa 'alaihis salam:
"Ya Rabbku, sesungguhnya aku sangat membutuhkan kebaikan apa pun yang Engkau turunkan kepadaku." (al Qashash: 24)