Progress Donasi Kebutuhan Server — Your Donation Urgently Needed — هذا الموقع بحاجة ماسة إلى تبرعاتكم
Rp 1.500.000 dari target Rp 10.000.000
The historical question of why the vast majority of Palestinians left their homes in 1948 is not only relevant as a problem of history, but has been given added significance by the protagonists involved. Rightly or wrongly, both Palestinian and Israeli spokesmen and adherents have sought to link the events of 1948 with their claims to the land today. In order to do this, each has come up with a different version of events and drawn its conclusions accordingly.
It is not the purpose of this paper to do anything more than examine the conflicting explanations of the exodus and attempt to offer a coherent analysis. It is not my aim to try to extrapolate from this analysis an evaluation of Palestinian rights. Indeed, if the fundamental question in the Palestine conflict is the Zionist presence in that country, this episode can at most be seen as an expression, in part, of Zionist thinking, and not the be all and end all that it is frequently touted as. For unless Israel can come to terms with the region in which she exists and be accepted by the native inhabitants, especially the Palestinian people, no settlement of the conflict is imaginable. Thus it is futile to hope that one episode in the seventy-year collision between Zionism and Palestinian nationalism can explain or justify arguments about the entire problem.
This paper will begin with an introduction discussing some of the works on the subject and the fundamental problems of dealing with historians who are overtly biased. It will also offer some other observations on the topic which must be kept in mind when considering these events.
The main body of this paper will seek to identify certain elements which are crucial in determining how useful a particular historical work is. Although some of these criteria will be taken from simple "good sense" historical writing, others will admittedly be more subjective and it will be left to the reader to decide on their relevance.
Finally I shall attempt to draw some conclusions, while remaining cognizant of the danger of concluding too much. I will offer further observations in order to put this historical problem in context. As I have already alluded, care must be taken to prevent too much of the present from colouring our view of the past.
Although this paper has required the use of many sources and interpretations, it cannot claim to be exhaustive either in context or scope. Only the most salient criteria will be used in analysing the works. Moreover, while I will take into account such diverse factors as time, geography, class and motivations, it would be beyond the capacity of this paper to analyse in depth every factor in the exodus, even if information about all these factors, direct and indirect, were readily available.
Much of the material on the Palestinian exodus has not been written to examine the historical problem per se, but rather to strengthen Palestinian or Zionist claims, as the case may be, to the land of Palestine. Accordingly, many of these secondary sources start from a biased orientation and seek to discuss only those points which lend credence to their arguments. Evidence which contradicts these arguments is either ignored or dismissed as essentially irrelevant.
According to Zionist historians, the Arabs in Palestine were asked to stay and live as citizens in the Jewish state. Instead, they chose to leave, either because they were unwilling to live with the Jews, or because they expected an Arab military victory which would annihilate the Zionists. They thought they could leave temporarily and return at their leisure. Later, an additional claim was put forth, namely that the Palestinians were ordered to leave, with radio broadcasts instructing them to quit their homes. The implications of these arguments are obvious; despite the best intentions of the Zionists, the Arabs chose to leave, thus they forfeited their rights to the land, and must bear responsibility for the solution to their plight. [1]
The Arab view of history has maintained that the Palestinians did not leave their homes voluntarily, were expelled by Zionist aggression, and, as they were expelled, maintain their right to return. Sources sympathetic to the Arab viewpoint have seen in the events of 1948 the fulfilment of a long dreamed-of Zionist plan to rid Palestine of its Arab population, thus forcibly transforming Palestine into a Jewish state. [2]
1 Zionist historians who have written on the 1948 exodus include Joseph Schectman, Leo Kohn, Jon Kimche and Maria Syrkin.
2 Authors who maintain this position include Nafez Nazzal, Erskine Childers, Walid Khalidi and Fayez Sayegh.
Pertanyaan historis mengenai mengapa mayoritas besar rakyat Palestina meninggalkan rumah mereka pada tahun 1948 bukan hanya relevan sebagai persoalan sejarah, tetapi juga mendapat makna tambahan karena keterlibatan para pihak yang berkonflik. Baik juru bicara maupun pendukung Palestina dan Israel, dengan benar atau salah, berusaha mengaitkan peristiwa 1948 dengan klaim mereka atas tanah hingga hari ini. Untuk itu, masing-masing pihak membangun versi ceritanya sendiri dan menarik kesimpulan sesuai kepentingan mereka.
Tulisan ini tidak bertujuan lebih dari sekadar menelaah penjelasan yang saling bertentangan mengenai eksodus Palestina serta mencoba menawarkan analisis yang runtut. Tidak dimaksudkan pula untuk menilai hak-hak bangsa Palestina dari analisis ini. Bila persoalan mendasar dalam konflik Palestina adalah keberadaan Zionisme di wilayah tersebut, maka peristiwa ini paling jauh hanya bisa dipandang sebagai cerminan sebagian dari pola pikir Zionis, bukan sebagai faktor penentu utama sebagaimana kerap dipropagandakan. Selama Israel belum dapat berdamai dengan lingkungan regionalnya dan diterima oleh penduduk asli, khususnya rakyat Palestina, penyelesaian konflik tidak mungkin terwujud. Karena itu, sia-sia berharap bahwa satu episode dalam benturan tujuh puluh tahun antara Zionisme dan nasionalisme Palestina dapat menjelaskan atau membenarkan seluruh persoalan.
Tulisan ini akan dimulai dengan pengantar mengenai sejumlah karya yang membahas tema ini serta persoalan mendasar dalam menghadapi sejarawan yang secara terbuka memihak. Juga akan diberikan beberapa catatan lain yang perlu diingat ketika menelaah peristiwa ini.
Bagian utama tulisan akan mencoba mengidentifikasi unsur-unsur penting yang menentukan sejauh mana suatu karya sejarah dapat dianggap bermanfaat. Beberapa kriteria diambil dari prinsip umum penulisan sejarah yang baik, sementara yang lain lebih bersifat subjektif, sehingga pembaca sendiri yang memutuskan relevansinya.
Akhirnya, saya akan mencoba menarik beberapa kesimpulan, dengan tetap menyadari bahaya membuat simpulan yang berlebihan. Beberapa pengamatan tambahan juga akan disampaikan untuk menempatkan persoalan historis ini dalam konteksnya. Sebagaimana telah disebutkan, perlu kehati-hatian agar kondisi masa kini tidak terlalu mewarnai cara kita memandang masa lalu.
Meski tulisan ini memerlukan penggunaan banyak sumber dan interpretasi, tidak berarti mencakup seluruh konteks maupun ruang lingkup persoalan. Hanya kriteria yang paling penting yang akan dipakai dalam menganalisis karya-karya tersebut. Selain itu, meskipun faktor-faktor seperti waktu, geografi, kelas sosial, dan motivasi diperhitungkan, tulisan ini tidak memiliki kapasitas untuk membahas secara mendalam setiap faktor, bahkan jika seluruh data tersedia.
Masalah Bias
Sebagian besar bahan mengenai eksodus Palestina tidak ditulis untuk menelaah persoalan historis itu sendiri, melainkan untuk memperkuat klaim Palestina atau Zionis atas tanah Palestina. Karena itu, banyak sumber sekunder berangkat dari orientasi yang bias, hanya membahas poin-poin yang mendukung argumen mereka, dan mengabaikan atau menyingkirkan bukti yang berlawanan.
Menurut sejarawan Zionis, orang Arab di Palestina sebenarnya diminta untuk tetap tinggal dan hidup sebagai warga negara dalam negara Yahudi. Namun, mereka memilih pergi, entah karena tidak mau hidup berdampingan dengan orang Yahudi, atau karena mereka berharap pada kemenangan militer Arab yang akan menyingkirkan Zionis. Mereka berpikir dapat pergi sementara dan kembali kapan saja. Kemudian, klaim tambahan muncul, yakni bahwa orang Palestina diperintahkan untuk meninggalkan rumah mereka melalui siaran radio. Implikasi dari argumen ini jelas: meskipun Zionis berniat baik, orang Arab memilih pergi, sehingga mereka kehilangan hak atas tanah itu dan harus menanggung sendiri akibat dari nasib mereka. [1]
Sebaliknya, pandangan sejarah Arab menyatakan bahwa orang Palestina tidak meninggalkan rumah mereka secara sukarela, melainkan diusir oleh agresi Zionis. Karena mereka diusir, mereka berhak untuk kembali. Sumber-sumber yang bersimpati pada pandangan Arab melihat peristiwa 1948 sebagai wujud dari rencana lama Zionis untuk mengosongkan Palestina dari penduduk Arab, sehingga secara paksa mengubahnya menjadi negara Yahudi. [2]
[1] Sejarawan Zionis yang menulis tentang eksodus 1948 antara lain Joseph Schectman, Leo Kohn, Jon Kimche, dan Maria Syrkin.
[2] Penulis yang mendukung posisi ini antara lain Nafez Nazzal, Erskine Childers, Walid Khalidi, dan Fayez Sayegh.
id) oleh admin pada 20 September 2025 - 05:06:11.Pertanyaan historis mengenai mengapa mayoritas besar rakyat Palestina meninggalkan rumah mereka pada tahun 1948 bukan hanya relevan sebagai persoalan sejarah, tetapi juga mendapat makna tambahan karena keterlibatan para pihak yang berkonflik. Baik juru bicara maupun pendukung Palestina dan Israel, dengan benar atau salah, berusaha mengaitkan peristiwa 1948 dengan klaim mereka atas tanah hingga hari ini. Untuk itu, masing-masing pihak membangun versi ceritanya sendiri dan menarik kesimpulan sesuai kepentingan mereka.
Tulisan ini tidak bertujuan lebih dari sekadar menelaah penjelasan yang saling bertentangan mengenai eksodus Palestina serta mencoba menawarkan analisis yang runtut. Tidak dimaksudkan pula untuk menilai hak-hak bangsa Palestina dari analisis ini. Bila persoalan mendasar dalam konflik Palestina adalah keberadaan Zionisme di wilayah tersebut, maka peristiwa ini paling jauh hanya bisa dipandang sebagai cerminan sebagian dari pola pikir Zionis, bukan sebagai faktor penentu utama sebagaimana kerap dipropagandakan. Selama Israel belum dapat berdamai dengan lingkungan regionalnya dan diterima oleh penduduk asli, khususnya rakyat Palestina, penyelesaian konflik tidak mungkin terwujud. Karena itu, sia-sia berharap bahwa satu episode dalam benturan tujuh puluh tahun antara Zionisme dan nasionalisme Palestina dapat menjelaskan atau membenarkan seluruh persoalan.
Tulisan ini akan dimulai dengan pengantar mengenai sejumlah karya yang membahas tema ini serta persoalan mendasar dalam menghadapi sejarawan yang secara terbuka memihak. Juga akan diberikan beberapa catatan lain yang perlu diingat ketika menelaah peristiwa ini.
Bagian utama tulisan akan mencoba mengidentifikasi unsur-unsur penting yang menentukan sejauh mana suatu karya sejarah dapat dianggap bermanfaat. Beberapa kriteria diambil dari prinsip umum penulisan sejarah yang baik, sementara yang lain lebih bersifat subjektif, sehingga pembaca sendiri yang memutuskan relevansinya.
Akhirnya, saya akan mencoba menarik beberapa kesimpulan, dengan tetap menyadari bahaya membuat simpulan yang berlebihan. Beberapa pengamatan tambahan juga akan disampaikan untuk menempatkan persoalan historis ini dalam konteksnya. Sebagaimana telah disebutkan, perlu kehati-hatian agar kondisi masa kini tidak terlalu mewarnai cara kita memandang masa lalu.
Meski tulisan ini memerlukan penggunaan banyak sumber dan interpretasi, tidak berarti mencakup seluruh konteks maupun ruang lingkup persoalan. Hanya kriteria yang paling penting yang akan dipakai dalam menganalisis karya-karya tersebut. Selain itu, meskipun faktor-faktor seperti waktu, geografi, kelas sosial, dan motivasi diperhitungkan, tulisan ini tidak memiliki kapasitas untuk membahas secara mendalam setiap faktor, bahkan jika seluruh data tersedia.
Masalah Bias
Sebagian besar bahan mengenai eksodus Palestina tidak ditulis untuk menelaah persoalan historis itu sendiri, melainkan untuk memperkuat klaim Palestina atau Zionis atas tanah Palestina. Karena itu, banyak sumber sekunder berangkat dari orientasi yang bias, hanya membahas poin-poin yang mendukung argumen mereka, dan mengabaikan atau menyingkirkan bukti yang berlawanan.
Menurut sejarawan Zionis, orang Arab di Palestina sebenarnya diminta untuk tetap tinggal dan hidup sebagai warga negara dalam negara Yahudi. Namun, mereka memilih pergi, entah karena tidak mau hidup berdampingan dengan orang Yahudi, atau karena mereka berharap pada kemenangan militer Arab yang akan menyingkirkan Zionis. Mereka berpikir dapat pergi sementara dan kembali kapan saja. Kemudian, klaim tambahan muncul, yakni bahwa orang Palestina diperintahkan untuk meninggalkan rumah mereka melalui siaran radio. Implikasi dari argumen ini jelas: meskipun Zionis berniat baik, orang Arab memilih pergi, sehingga mereka kehilangan hak atas tanah itu dan harus menanggung sendiri akibat dari nasib mereka. [1]
Sebaliknya, pandangan sejarah Arab menyatakan bahwa orang Palestina tidak meninggalkan rumah mereka secara sukarela, melainkan diusir oleh agresi Zionis. Karena mereka diusir, mereka berhak untuk kembali. Sumber-sumber yang bersimpati pada pandangan Arab melihat peristiwa 1948 sebagai wujud dari rencana lama Zionis untuk mengosongkan Palestina dari penduduk Arab, sehingga secara paksa mengubahnya menjadi negara Yahudi. [2]
[1] Sejarawan Zionis yang menulis tentang eksodus 1948 antara lain Joseph Schectman, Leo Kohn, Jon Kimche, dan Maria Syrkin.
[2] Penulis yang mendukung posisi ini antara lain Nafez Nazzal, Erskine Childers, Walid Khalidi, dan Fayez Sayegh.
| ID | Waktu | Bahasa | Penerjemah | Status | Aksi |
|---|---|---|---|---|---|
| #1 | 20 Sep 2025, 05:06:11 | id | admin | Tervalidasi | — |
Pertanyaan historis mengenai mengapa mayoritas besar rakyat Palestina meninggalkan rumah mereka pada tahun 1948 bukan hanya relevan sebagai persoalan sejarah, tetapi juga mendapat makna tambahan karena keterlibatan para pihak yang berkonflik. Baik juru bicara maupun pendukung Palestina dan Israel, dengan benar atau salah, berusaha mengaitkan peristiwa 1948 dengan klaim mereka atas tanah hingga hari ini. Untuk itu, masing-masing pihak membangun versi ceritanya sendiri dan menarik kesimpulan sesuai kepentingan mereka. Tulisan ini tidak bertujuan lebih dari sekadar menelaah penjelasan yang saling bertentangan mengenai eksodus Palestina serta mencoba menawarkan analisis yang runtut. Tidak dimaksudkan pula untuk menilai hak-hak bangsa Palestina dari analisis ini. Bila persoalan mendasar dalam konflik Palestina adalah keberadaan Zionisme di wilayah tersebut, maka peristiwa ini paling jauh hanya bisa dipandang sebagai cerminan sebagian dari pola pikir Zionis, bukan sebagai faktor penentu utama sebagaimana kerap dipropagandakan. Selama Israel belum dapat berdamai dengan lingkungan regionalnya dan diterima oleh penduduk asli, khususnya rakyat Palestina, penyelesaian konflik tidak mungkin terwujud. Karena itu, sia-sia berharap bahwa satu episode dalam benturan tujuh puluh tahun antara Zionisme dan nasionalisme Palestina dapat menjelaskan atau membenarkan seluruh persoalan. Tulisan ini akan dimulai dengan pengantar mengenai sejumlah karya yang membahas tema ini serta persoalan mendasar dalam menghadapi sejarawan yang secara terbuka memihak. Juga akan diberikan beberapa catatan lain yang perlu diingat ketika menelaah peristiwa ini. Bagian utama tulisan akan mencoba mengidentifikasi unsur-unsur penting yang menentukan sejauh mana suatu karya sejarah dapat dianggap bermanfaat. Beberapa kriteria diambil dari prinsip umum penulisan sejarah yang baik, sementara yang lain lebih bersifat subjektif, sehingga pembaca sendiri yang memutuskan relevansinya. Akhirnya, saya akan mencoba menarik beberapa kesimpulan, dengan tetap menyadari bahaya membuat simpulan yang berlebihan. Beberapa pengamatan tambahan juga akan disampaikan untuk menempatkan persoalan historis ini dalam konteksnya. Sebagaimana telah disebutkan, perlu kehati-hatian agar kondisi masa kini tidak terlalu mewarnai cara kita memandang masa lalu. Meski tulisan ini memerlukan penggunaan banyak sumber dan interpretasi, tidak berarti mencakup seluruh konteks maupun ruang lingkup persoalan. Hanya kriteria yang paling penting yang akan dipakai dalam menganalisis karya-karya tersebut. Selain itu, meskipun faktor-faktor seperti waktu, geografi, kelas sosial, dan motivasi diperhitungkan, tulisan ini tidak memiliki kapasitas untuk membahas secara mendalam setiap faktor, bahkan jika seluruh data tersedia. Masalah Bias Menurut sejarawan Zionis, orang Arab di Palestina sebenarnya diminta untuk tetap tinggal dan hidup sebagai warga negara dalam negara Yahudi. Namun, mereka memilih pergi, entah karena tidak mau hidup berdampingan dengan orang Yahudi, atau karena mereka berharap pada kemenangan militer Arab yang akan menyingkirkan Zionis. Mereka berpikir dapat pergi sementara dan kembali kapan saja. Kemudian, klaim tambahan muncul, yakni bahwa orang Palestina diperintahkan untuk meninggalkan rumah mereka melalui siaran radio. Implikasi dari argumen ini jelas: meskipun Zionis berniat baik, orang Arab memilih pergi, sehingga mereka kehilangan hak atas tanah itu dan harus menanggung sendiri akibat dari nasib mereka. [1] Sebaliknya, pandangan sejarah Arab menyatakan bahwa orang Palestina tidak meninggalkan rumah mereka secara sukarela, melainkan diusir oleh agresi Zionis. Karena mereka diusir, mereka berhak untuk kembali. Sumber-sumber yang bersimpati pada pandangan Arab melihat peristiwa 1948 sebagai wujud dari rencana lama Zionis untuk mengosongkan Palestina dari penduduk Arab, sehingga secara paksa mengubahnya menjadi negara Yahudi. [2] [1] Sejarawan Zionis yang menulis tentang eksodus 1948 antara lain Joseph Schectman, Leo Kohn, Jon Kimche, dan Maria Syrkin. | |||||