(Bukan) Catatan Politik

Catatan Ringan Oleh : Reza Ervani bin Asmanu

Bismilahirrahmanirrahiim

Setiap musim politik datang, saya sering membayangkan, seorang guru SD yang terdidik dan memiliki kompetensi, bisa juga mencalonkan diri atau dicalonkan masyarakat sebagai kandidat Presiden.

Tapi sepertinya bayangan itu masih jauh dari keterwujudan, karena sistem politik Indonesia saat ini masihlah merupakan sistem terpenjara, termasuk oleh partai-partai politik. Hampir tidak mungkin seorang rakyat biasa yang resah akan kondisi negeri muncul ke panggung tanpa restu para punggawa dan sutradara politik negeri.

Masih terkenang di ingatan, saat Ustadz Didin Hafidhudin dicalonkan sebagai Presiden pada Pemilu 1999 oleh Partai Keadilan. Nama yang tidak familiar bagi sebagian besar orang di Indonesia. Tidak seperti Amien Rais atau Yusril Ihza Mahendra yang sudah malang melintang di media massa kala itu.

Meski demikian, kompetensi Sang Ustadz tidak bisa diragukan, karena sudah lama dikenal sebagai salah satu praktisi ekonomi Islam dan pakar Zakat. Beliau pun seorang akademisi bergelar Doktor. Saya sendiri mengenal beliau pertama kali lewat tulisan-tulisannya di Koran Republika pada rentang 1993 - 1997. Saat dicalonkan-pun usia beliau masih 48 (Empat Puluh Delapan) Tahun, rentang usia manusia yang matang secara fisik dan mental. Dan hebatnya beliau bukanlah politisi. Ketika tidak berhasil menang, maka kegiatan beliau kembali mengajar dan membina ummat, jauh dari hingar bingar negeri.

Tapi setelah masa itu, kita tidak lagi mendengar nama-nama baru yang muncul ke permukaan. Semua yang berperan di panggung sandiwara politik hanya orang-orang lama yang mendadak bisa berganti peran dari antagonis ke protagonis atau sebaliknya. Padahal jujur saja, kompetensi para politisi itu sebagian besar sangat memprihatinkan, tak berbanding lurus dengan beragam gelar akademik yang menempel panjang pada nama mereka.

Semua partai politik menargetkan kemenangan dan lolos electoral threshold, agar lima tahun berikutnya masih bisa jadi sumber nafkah pegiatnya. Maka tokoh-tokoh yang dimunculkan adalah yang mereka anggap populer dan bisa mendulang suara. Memunculkan tokoh baru nan segar akan sangat beresiko bagi mereka, apatah lagi jika orang itu adalah guru SD dari antah berantah.

Jadi berharap perubahan di setiap musim pemilu teramat sangat boleh, tapi berharap Indonesia berubah banyak ? Mungkin belum saatnya kita bangun dari mimpi.

Allahul Musta'aan.

*) Penulis adalah seorang guru ngaji