الختان ؛ كيفيته وأحكامه
Khitan, Kaifiyah dan Hukumnya (Bagian 1 dari 2 Tulisan)
Kompilasi dan Alih Bahasa : Reza Ervani bin Asmanu
Khitan, Kaifiyah dan Hukumnya adalah salah satu pertanyaan yang banyak masuk ke redaksi rezaervani.com – Berikut ini bahasannya dalam kategori Fiqh Islam
لقد ألف ابن القيم رحمه الله كتاباً قيماً في أحكام المولود سماه : “تحفة المودود في أحكام المولود” ، وقد عقد في هذا الكتاب باباً واسعاً تكلم فيه عن الختان وأحكامه ،
Ibnu Qoyyim rahimahullah telah menulis kitab yang sangat bagus terkait dengan hukum-hukum berkaitan dengan bayi yang baru lahir yang diberikan judul ‘Tuhfatul Maudud Fi Ahkami Al-Maulud’. Terdapat pula dalam kitab ini bab khusus yang berbicara tentang khitan dan hukumnya.
وهذا ملخص منه ، مع بعض الزيادات عن غيره من أهل العلم .
Berikut ini adalah ringkasan dari kitab tersebut, dengan beberapa tambahan dari ahli ilmu.
١. معنى الختان :
A. Makna al Khitan
قال ابن القيم :
الختان : اسم لفعل الخاتن ، وهو مصدر كالنزال والقتال. ، ويسمى به موضع الختن أيضا ومنه الحديث
Ibnul Qayyim mengatakan :
Al Khitaan adalah nama (Ism) dari pekerjaan yang dilakukan oleh orang yang mengkhitan (Al Khaatin). al Khitaan adalah mashdar sebagaimana kata an Nizaal dan al Qitaal. Dinamakan demikian juga untuk menunjukkan tempat khitan . Diantaranya ada hadits Nabi yang berbunyi :
” إذا التقى الختانان وجب الغسل “
Ketika bertemu dua khitan (kemaluan – maksudnya jima’), maka dia harus mandi.
ويسمى في حق الأنثى خفضا يقال : ختنت الغلام ختنا ، وخفضت الجارية خفضا ،
Untuk wanita dinamakan Khifdhan. Sebagaimana perkataan : Khotantu al ghulam khitanan dan Khofidhtu al jariyah khifdhon (seorang anak laki-laki dikhitan dan seorang anak perempuan dikhitan)
ويسمى في الذكر إعذارا أيضا ، وغير المعذور يسمى أغلف وأقلف . ” تحفة المودود ” ( ١ / ١٥٢) .
Bagi laki-laki juga dinamakan I’dzaar. Orang yang belum berkhitan (ghair al Ma’dzur) disebut Aghlaf atau Aqlaf (Tuhfatul Maudud, (1/152)
٢. الختان سنة إبراهيم والأنبياء من بعده :
B. Khitan adalah sunnahnya Nabi Ibrahim dan para nabi setelahnya.
روى البخاري (٦٢٩٨) ومسلم (٢٣٧٠) عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :
Telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari (6298) dan Imam Muslim (2370) dari Abu Hurairah radhiyallahu ’anhu, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shalallahu ’alaihi wa sallam bersabda:
اخْتَتَنَ إِبْرَاهِيمُ عليه السلام بَعْدَ ثَمَانِينَ سَنَةً ، وَاخْتَتَنَ بِالْقَدُومِ .
“Ibrahim alaihis salam berkhitan setelah berumur delapan puluh tahun dan beliau berkhitan dengan kapak.”
و (الْقَدُوم) هو آلة النجار . وقيل : هو مكان بالشام .
Kata ‘Al-Qodum’ dalam hadits tersebut maknanyaa adalah alat yang biasa dipakai tukang kayu, pendapat lain mengatakan bahwa ia adalah nama tempat di Syam.
قال الحافظ ابن حجر :
al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan :
وَالرَّاجِح أَنَّ الْمُرَاد فِي الْحَدِيث الآلَة , فَقَدْ رَوَى أَبُو يَعْلَى مِنْ طَرِيق عَلِيّ بْن رَبَاح قَالَ : “أُمِرَ إِبْرَاهِيم بِالْخِتَانِ , فَاخْتَتَنَ بِقَدُّوم فَاشْتَدَّ عَلَيْهِ , فَأَوْحَى اللَّه إِلَيْهِ أَنْ عَجِلْت قَبْل أَنْ نَأْمُرك بِآلَتِهِ , فَقَالَ : يَا رَبّ كَرِهْت أَنْ أُؤَخِّر أَمْرك” اهـ
“Pendapat yang rajih adalah maksud kata tersebut adalah alat (sejenis kapak). Telah diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari jalur Ali bin Rabah, beliau mengatakan, “Ibrahim diperintahkan untuk berkhitan. Maka beliau berkhitan dengan kapak, sehingga merasakan kesakitan. Maka Allah mewahyukan kepadanya bahwa beliau terburu-buru sebelum Allah Ta’ala memerintahkan (menyebutkan) alat untuk melakukan khitan. Maka beliau menjawab, “Wahai Robbku, saya tidak suka mengakhirkan perintahMu.
— Selesai Kutipan dari Ibnu Hajar —
وقال ابن القيم :
Ibnul Qayyim mengatakan :
والختان كان من الخصال التي ابتلى الله سبحانه بها إبراهيم خليله فأتمهن وأكملهن فجعله إماماً للناس ، وقد روي أنه أول من اختتن كما تقدم ، والذي في الصحيح اختتن إبراهيم وهو ابن ثمانين سنة ، واستمر الختان بعده في الرسل وأتباعهم حتى في المسيح فإنه اختتن والنصارى تقر بذلك ولا تجحده كما تقر بأنه حرَّم لحم الخنزير …” تحفة المودود ” ( ص ١٥٨ – ١٥٩ ) .
Khitan termasuk perkara yang Allah Subhanahu wa Ta’ala ujikan kepada Ibrahim kekasih-Nya. Dan Nabi Ibrahim melaksanakan dan menyempurnakannya sehingga beliau dijadikan sebagai Imam untuk seluruh manusia. Telah diriwayatkan bahwa beliau yang pertama kali berkhitan seperti yang telah disebutkan. Yang ada dalam as Shahih, Nabi Ibrahim berkhitan ketika berumur delapan puluh tahun. Dan khitan kemudian berlanjut pada para rasul dan para pengikutnya. Hingga al Masih (Isa) juga berkhitan. Dan orang Nashara mengakui hal tersebut dan tidak menolaknya. Sebagaimana mereka juga mengakui keharaman daging babi. (Tuhfatul Maudud 158 – 159)
هذا ، وقد اختلف العلماء رحمهم الله في حكم الختان
Dari sini ulama berbeda pendapat tentang hukum Al Khitan
قال الشيخ ابن عثيمين رحمه الله :
asy Syaikh Utsaimin rahimahullah mengatakan :
وأقرب الأقوال : أنه واجب في حق الرجال ، سنة في حق النساء ،
Pendapat yang terdekat adalah khitan wajib bagi lelaki dan sunnah bagi para wanita.
ووجه التفريق بينهما : أنه في حق الرجال فيه مصلحة تعود إلى شرط من شروط الصلاة وهي الطهارة ، لأنه إذا بقيت هذه الجلدة : فإن البول إذا خرج من ثقب الحشفة بقي وتجمع ، وصار سبباً في الاحتراق والالتهاب كلما تحرك ، أو عصر هذه الجلدة خرج البول وتنجس بذلك .
Sisi pembeda diantara keduanya adalah : Bagi lelaki ada maslahat (kebaikan) yang terdapat diantara syarat-syarat shalat yaitu bersuci. Karena jikalau kulit kemaluan (kulup) ini masih ada, maka air seni yang keluar dari lubang kulup masih tetap ada dan berkumpul. Hal ini dapat menyebabkan iritasi dan pembengkakan setiap kali air seni tersebut mengalir. Jika ditekan hingga keluar maka hal itu akan menjadikannya najis.
وأما في حق المرأة : فغاية فائدته : أنه يقلل من غلمتها ، أي : شهوتها ، وهذا طلب كمال ، وليس من باب إزالة الأذى .” الشرح الممتع ” ( ١ / ١٣٣ ، ١٣٤ ) .
Sementara bagi wanita, faidah yang paling utama adalah mengurangi syahwatnya. Hal tersebut ditujukan untuk kesempurnaan bukan dalam rangka menghilangkan rasa sakit (sebagaimana iritasi yang dapat terjadi pada laki-laki -pent) [as Syarh al Mumti’ Jilid 1 Halaman 133 134]
وهذا هو مذهب الإمام أحمد رحمه الله . قال ابن قدامة في المغني (١/١١٥) : فأما الختان فواجب على الرجال ، ومَكْرُمَة في حق النساء ، وليس بواجب عليهن اهـ
Pendapat ini adalah madzhab Imam Ahmad rahimahullah. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan dalam ‘Al-Mughni (1/115): “Khitan itu wajib bagi lelaki. Sementara bagi perempuan khitan adalah suatu kehormatan, khitan tidak wajib baginya. “
Bersambung (pada bagian berikutnya in sya Allah akan dibahas : Tempat Khitan, Hikmah Khitan dan Hukum Bayaran Tukang Khitan)
Allahu Ta’ala ‘A’lam
Leave a Reply